(27) 2. Bersama dan Sama-Sama Hingga Terbiasa 12

"Farrel."

Esy menggeser duduknya. Setelah celingak-celinguk demi memastikan kelas masih sepi, ia pun makin mendekati Farrel.

"Apa?"

Bertanya singkat, Farrel tidak memindahkan fokus matanya dari materi Aplikasi Komputer. Mempersiapkan diri untuk kuis yang akan diadakan nanti. Satu rutinitas yang kerap dilakukan dosen ketika mendekati akhir semester.

"Aku mau nanya sesuatu sama kamu."

Farrel tetap fokus. "Nanya apa?" tanyanya lagi. "Bukannya tadi kamu ngomong kalau kamu udah belajar sampe jam dua malam?"

Mata Esy membesar, tapi mulutnya mengatup rapat. Kedua tangannya naik dan mengepal dalam ekspresi geregetan.

"Ih, Farrel. Aku bukan mau nanya materi AK sama kamu."

"Terus?"

"Aku mau nanya soal Dira."

Fokus Farrel terjeda. Matanya mengerjap sekali dan sedetik kemudian ia berpaling, melihat pada Esy.

"Dira?"

Esy mengangguk. "Iya."

"Kenapa sama Dira?"

Esy kembali mencoba untuk menggeser kursinya. Tapi, percayalah. Kursi mereka sudah benar-benar mentok. Tidak ada sedikit jarak pun lagi.

"Kamu ngerasa nggak kalau akhir-akhir ini dia suka deketin kamu?"

Dahi Farrel mengerut. "Deketin aku?"

Kembali, Esy mengangguk. Ekspresi wajahnya tampak serius. Sorot matanya menajam.

"Iya," ujar Esy. "Kayaknya dia suka kamu deh."

Farrel diam. Tidak mengomentari perkataan Esy, ia malah tampak mengerjap beberapa kali. Lalu bola matanya berputar. Dan akhirnya ia berdecak.

"Kamu punya banyak waktu luang? Kalau iya," kata Farrel seraya menarik napas. "Lebih baik kamu pakai untuk belajar Statistika. Terakhir kali tugas kamu baru dapat lima puluh."

Esy cemberut. "Kok malah ngomongin Statistika sih?" gerutunya. "Aku tuh serius, Rel."

"Aku juga serius, Sy," balas Farrel. "Untuk apa kamu mikirin itu? Lebih baik kamu pikirkan nilai semester ini. Memangnya kamu mau kalau IP kamu anjlok?"

"Omongan kamu ini kadang-kadang nyakitin hati," gerutu Esy lagi.

Tuntas mengatakan itu, Esy sedikit menarik diri. Farrel yang melihatnya memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa lagi. Tapi, sejurus kemudian Esy justru kembali bersuara. Tepat ketika Farrel ingin lanjut belajar.

"Tapi, jujur ke aku, Rel. Kamu suka Dira nggak?"

Wah!

Farrel melotot. Wajahnya seketika terasa kaku.

"Kamu suka dia?" tanya Esy panik. "Iya?"

"Kamu ini kenapa sih, Sy? Apa belajar sampe jam dua malam buat kamu agak eror?"

Esy merengek. "Jawab pertanyaan aku, Rel. Jangan mindahin topik ke mana-mana. Aku cuma mau tau itu aja."

Farrel melihat ke ambang pintu sekilas. Dalam waktu dekat, teman-temannya pasti akan berdatangan. Tentunya akan menjadi hal memalukan bila Esy masih merengek dan bertanya yang aneh-aneh.

"Nggak."

Rengekan Esy berhenti. Ia diam sejenak. Seolah sedang mencerna baik-baik satu kata itu.

Esy menyipitkan mata. "Nggak suka? Atau ... nggak salah lagi?"

"Ya Tuhan," kesiap Farrel. Kesabarannya mulai terusik. Akhirnya Farrel menutup buku Aplikasi Komputernya. Dan dengan buku itu ia memukul dahi Esy. "Besok kamu jangan belajar sampe jam dua malam. Belajar sampe jam tiga malam aja."

Esy terkekeh. Mengusap dahinya dengan ekspresi geli.

"Jangan marah, Rel. Kan aku cuma mau tau aja."

"Sekarang udah tau kan?" tanya Farrel tanpa menunggu jawaban Esy. "Kalau gitu aku mau lanjut baca lagi."

Farrel membuka kembali bukunya. Berniat untuk kembali belajar, tapi Esy memegang tangannya. Seraya bersuara lagi.

"Ada satu lagi, Rel."

Farrel menarik udara dalam-dalam. "Apa lagi?"

"Kalau kamu nggak suka Dira ... terus gimana kalau sama aku?" tanya Esy sambil tersenyum lebar.

Udara berkumpul di dada Farrel. Berhenti bergerak ketika Esy dengan mimik imut justru mengedip-ngedipkan mata.

"Kamu udah mulai suka sama aku belum?" tanya Esy. "Kita udah sembilan belas tahun bersama loh."

Akhirnya Farrel berhasil mengembuskan napasnya. Mata cowok itu berkedip sekali. Tidak menjawab pertanyaan Esy, alih-alih ia meraba dahi cewek itu.

"Kamu nggak sakit kan?"

Esy memang tidak mengharapkan pertanyaannya dijawab. Maka ketika Farrel melayangkan pertanyaan itu, ia hanya mencibir.

"Nggak apa-apa. Kalaupun kamu belum suka aku sekarang, siapa tau besok kan? Kita masih punya banyak waktu."

Seumur hidup mengenal Esy, Farrel memang tahu sifatnya yang satu itu. Esy memang cenderung penuh dengan pikiran positif. Walau terkadang tidak tepat pada tempatnya.

"Aku nggak akan berubah pikiran, Sy. Kamu itu cuma buang-buang waktu aja," ucap Farrel enteng.

Esy mengangguk dengan ekspresi santai. "Iya iya iya. Sekarang kamu belum berubah pikiran. Tapi, siapa tau besok kan?"

"Besok juga masih sama."

"Kalau gitu ... lusa?"

"Masih sama."

"Besoknya lusa?"

Farrel diam.

"Lusanya lusa?"

Farrel membuang napas sementara Esy terkekeh. Tapi, sikap Esy mau tak mau membuat Farrel penasaran. Hingga ia pun kembali menutup bukunya.

"Ngomong-ngomong ..."

Kekehan Esy berhenti. Dengan geli yang masih tersisa di wajahnya, ia melihat Farrel.

"... memangnya kamu nggak capek ya deketin aku selama ini? Ngekorin aku ke mana-mana? Kamu sadar kan, Sy? Kamu itu cantik. Pasti banyak yang suka sama kamu."

Esy melongo. "Ya Tuhan."

Kedua tangan Esy naik dan menangkup pipinya. Rasa panas itu benar-benar hadir. Dan Esy berani bertaruh. Pasti pipinya sudah bewarna merah.

"K-k-kamu ngomong apa, Rel?" tanya Esy terbata.

Farrel bingung. "Aku ngomong apa?"

"I-itu," ujar Esy megap-megap. "Kamu baru aja ngomong aku cantik."

Kali ini Farrel yang melongo. Mulutnya membuka, tapi tidak ada satu kata pun yang berhasil ia ucapkan.

"Wah!"

Esy terkesiap tak percaya. Sama persis dengan ekspresi Farrel. Tampaknya mereka berdua sama-sama tak percaya dengan apa yang Farrel katakan. Tentu, Farrel tidak percaya dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Tapi, setidaknya Farrel memiliki pembelaannya.

"Yang aku bilang memang benar kan?"

Esy buru-buru mengangguk. Ia begitu semringah. "Tentu saja benar. Aku cantik kan? Terus kamu nggak mau gitu punya cewek yang cantik?"

Farrel menyerah. Ia bisa menebak pembicaraan itu tidak akan selesai.

"Udah deh. Aku mau belajar aja. Terserah sama kamu," gerutu Farrel. "Yang capek juga kamu. Bukan aku."

Tuntas mengatakan itu, Farrel benar-benar fokus pada bukunya. Melanjutkan belajarnya dalam keheningan.

Tidak ada suara Esy. Cewek itu tidak membalas perkataan Farrel. Dan hal tersebut justru membuat Farrel merasa tidak nyaman.

Dan benar saja. Ketakutan Farrel terbukti. Ketika ia berpaling maka ia mendapati Esy yang bertopang dagu pada satu siku. Matanya menatap Farrel sedari tadi.

"Aku sebenarnya juga bertanya-tanya, Rel. Sama kayak pertanyaan kamu."

Kepala Esy tampak bergoyang-goyang samar. Layaknya ada musik yang tengah mengalun di benaknya. Mungkin lagu cinta yang bernuansa manis. Karena senyum yang mengembang di wajahnya tampak mencerminkan semuanya.

"Kok kamu juga nggak capek sih?" tanya Esy sejurus kemudian. "Selalu aja buat aku jatuh cinta."

Dan sama seperti Esy tadi, Farrel pun tidak menjawab.

*

bersambung ....

Btw. Jangan lupa pantengin sosmed aku ya. Dalam waktu dekat aku bakal adain GA TEST DRIVE. Setelahnya aku juga akan open PO TEST DRIVE.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top