(26) 2. Bersama dan Sama-Sama Hingga Terbiasa 11

"Farrel."

Esy menghentikan langkah kakinya. Baru saja ia ingin menuju ke meja praktikum Farrel, tapi seseorang mendahuluinya.

Itu adalah Dira. Yang turut membawa lembar kerja praktikum Botani. Agaknya tidak sulit untuk Esy menebak apa tujuan Dira.

Terbukti. Tak butuh waktu lama untuk Esy kemudian melihat Farrel dan Dira terlibat diskusi yang tampaknya menarik.

Lihat saja. Dira tersenyum lebar. Terkadang samar terkekeh dan mengangguk. Membuat Esy kesal sendiri.

Esy membuang napas panjang dan kembali ke mejanya. Bergabung lagi dengan anggota kelompoknya yang kebetulan sedang didatangi Ryan.

"Cek dulu hasil mikroskop kamu. Apa emang begini gambarnya?" tanya Ryan seraya menunjuk gambar penampang melintang gambar akar tumbuhan dikotil di lembar kerja milik Tiara.

Tiara mengangguk. Lantas kembali melihat foto mikroskop di ponselnya. Kala itu Ryan kembali berkata.

"Nah! Walau gambar kamu nggak bagus, tapi seenggaknya ini benar."

Esy mengerjap. Ia melihat Ryan yang mengomentari gambarnya.

"Kakak mau muji atau ngeledek sih?" tanya Esy manyun.

Ryan cengar-cengir. "Jelas-jelas aku muji," ujarnya seraya mengambil alih lembar kerja praktikum Botani Esy. Lalu ia menunjukkan gambar tersebut pada praktikan yang lain. "Gambar Esy memang nggak bagus, tapi gambarnya jelas dan benar."

Perkataan Ryan membuat anggota kelompok Esy berkumpul. Sama-sama menyimak ketika Ryan menjelaskan.

"Coba kalian lihat benar-benar foto hasil mikroskop kalian. Xilem dan floemnya terlihat jelas," ujar Ryan seraya menunjuk gambar. "Kalian lihat bulat-bulat besar yang kayak membentuk formasi tanda tambah? Nah itulah xilem. Sementara bulat kecil-kecil di antaranya itu adalah floem."

"Oh."

"Begitu."

Ryan mengembalikan lembar kerja praktikum Esy. Semula ia ingin beranjak ke kelompok selanjutnya. Tapi, cemberut Esy membuat ia menunda keinginannya sejenak. Dan tak sulit bagi Ryan untuk menebak asal muasal manyun tersebut.

Esy mengangguk. "Akhir-akhir ini aku sering lihat dia deketin Farrel, Kak," ujarnya jujur. "Menurut Kakak, dia suka Farrel nggak?"

"Ehm ...."

Ryan mengusap dagunya. Melihat pada meja praktikum sebelah. Di mana ada Emi yang sedang menjelaskan praktikum dengan kelompok lainnya. Demi memastikan bahwa dirinya akan aman untuk berghibah. Paling tidak untuk lima menit.

"Bisa jadi. Ehm ... itu benar-benar serangan terbuka."

Manyun Esy semakin menjadi-jadi. Tapi, anehnya ia mengangguk. Tidak mendebat pendapat Ryan seperti yang cowok itu duga.

"Dira itu cantik dan pintar. Beda banget kayak aku," lirih Esy lesu. "Kapan hari aja aku nggak bisa jawab pertanyaan Bu Emi sementara dia bisa."

"Tenang. Bukan cuma kamu seorang kok yang nggak bisa jawab pertanyaan Bu Emi."

Esy melirik Ryan. Tampak seniornya itu menunjuk sembunyi-sembunyi ke satu titik.

"Tuh. Ada enam orang senior yang juga nggak bisa jawab pertanyaan Bu Emi tahun kemaren," ujar Ryan merujuk pada mahasiswa senior yang mengulang Botani.

"Kakak ini."

Ryan mendehem. Menahan diri agar tawanya tidak meledak. Bisa mampus ia dimarah Emi kalau itu sampai terjadi.

"Ngomong-ngomong ..."

Suara Esy membuat Ryan melihat lagi pada cewek itu. Esy menatapnya dengan sorot penasaran.

"... kalau aku perhatikan ... Kakak ini ada di mana-mana ya? Kakak jadi asdos apa aja sih?"

Dahi Esy mengerut. Mencoba mengingat sebelum Ryan menjawab.

"Botani, DDA, DDIT, dan Konservasi juga. Iya kan? Cuma Aplikasi Komputer dan Kimia aja yang nggak."

Esy yakin ingatannya tidak keliru. Walau untuk praktikum Dasar-Dasar Ilmu Tanah dan Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan bukanlah Ryan yang menjadi asisten dosennya, tapi cowok itu memang asisten dosen untuk jadwal lain.

"Emang," ujar Ryan geli. "Honor jadi asdos lumayan loh."

"Serius?"

Ryan mengangguk. Lalu ia memberikan isyarat agar Esy mendekatinya. Ia berbisik pada cewek itu.

"Wah!"

Esy terkesiap sementara Ryan mengulum senyum.

"Ya ... walau sebenarnya jadi asdos itu capek loh."

Senyum Ryan hilang seketika. Ia menarik napas dan geleng-geleng kepala.

"Aku berasa kayak kuliah 40 SKS."

Kesiap kagum Esy hilang. Sekarang ia malah bergidik ngeri.

"Apalagi Botani ini," lanjut Ryan lagi. "Aku jadi asdos untuk empat jadwal praktikum. Jadwal kuliah aku dan antrean SPBU nggak ada bedanya sama sekali."

"Kenapa Kakak mau?" tanya Esy syok. "Apalagi kalau dosennya Bu Emi."

Ryan berdoa di dalam hati. Semoga saja angin tidak membawa suara Esy sampai ke telinga dosennya itu.

"Kamu ini kebanyakan dengar gosip aja," ujar Ryan seraya mendelik sekilas. "Bu Emi itu aslinya baik."

"Ah, baik? Ck. Omongan mahasiswa yang nilainya tinggi itu nggak bisa dipercaya."

Ryan balas berdecak. "Nilai Botani aku juga nggak tinggi-tinggi amat. Cuma B loh. Ya ..." Ia menggerling geli. "... walau emang yang dapat B satu angkatan itu cuma aku seorang sih."

Esy meneguk ludah. "Kayaknya aku harus persiapan buat ngulang tahun depan deh."

Ryan ingin meledek Esy. Tapi, di waktu yang bersamaan ada Emi yang memanggilnya.

"Ryan."

Berpaling, Ryan segera menyahut. "Ya, Bu?"

Mendapati Emi yang butuh bantuannya maka Ryan pun langsung meninggalkan Esy. Tanpa lupa berkata sebelumnya.

"Aku tinggal. Cek lagi kerjaan kamu. Siapa tau nilai praktikum bisa bantu nilai kuliah kamu ntar."

Esy hanya mengangguk. Tidak mengatakan apa-apa ketika dilihatnya Ryan beranjak dan menghampiri Emi.

"Mikroskop yang ini sepertinya mulai kabur," ujar Emi pada Ryan. "Nanti kamu hubungi laboran dan minta mereka untuk membersihkannya."

"Baik, Bu."

Sementara itu di meja lainnya, ada Dira yang baru saja menuntaskan diskusinya dengan Farrel. Tapi, ia masih sempat melihat kedekatan antara Esy dan Ryan tadi.

"Esy dan Kak Ryan kayaknya dekat ya?"

Farrel melihat pada Esy. Lalu berpindah pada Ryan. Seniornya itu sedang berbincang-bincang dengan Emi. Terlihat serius sambil mengatur mikroskop.

"Dia emang dekat ke semua orang," kata Farrel santai. Ia mengambil napas sekilas. "Esy memang begitu orangnya. Mudah akrab sama siapa aja."

Dira mengangguk-angguk. "Ah, begitu."

"Lagipula ..."

Farrel melihat lembar kerja praktikumnya. Memeriksa kembali hasil pekerjaannya. Khawatir bila ada yang terlewat.

"... bukan cuma sama Kak Ryan sih. Sama Kak Abid, Kak Kherly, Kak Sella, dan banyak lagi yang lainnya. Bahkan dari masih OSPEK aja mereka udah pada dekat."

Dira mendeham mendengar perkataan Farrel. Hingga kemudian ia berkata lagi.

"Oh, gitu. Aku pikir dia lagi deket gitu sama Kak Ryan. Soalnya ..." Dira melirik Farrel. "... kapan hari aku ada dengar katanya Esy mau deketin Kak Ryan."

Farrel mendengkus kecil. Sekelumit geli membuat sudut bibirnya terangkat. Tapi, matanya tetap fokus pada lembar kerja praktikumnya.

"Aku tau. Dia pernah cerita soal itu."

Bola mata Dira membesar. Syok. "Dia cerita sama kamu?"

"Iya. Dia cerita ke aku," angguk Farrel seraya menutup lembar kerja praktikumnya. Semua sudah ia periksa. Tidak ada yang terlewat. "Dia emang gitu orangnya."

Farrel menyisihkan bukunya. Tugasnya telah selesai. Ia bisa bersantai hingga waktu praktikum selesai.

"Apa pun bakal dia ceritain ke aku."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top