(23) 2. Bersama dan Sama-Sama Hingga Terbiasa 8
"Farrel."
Pundak Esy jatuh. Ia menatap putus asa pada buku Statistika yang membuka di hadapannya.
Farrel menghentikan penjelasannya. Ia berpaling dan melihat Esy yang membuang napas panjang.
"Aku nggak ngerti."
Farrel diam. Begitu pula dengan Esy. Yang berulang kali hanya menarik udara dalam-dalam dan mengembuskannya panjang.
"Semua masih baik-baik saja," desah Esy.
Mata Farrel melirik. Tapi, ia masih diam.
"Semua angka-angka ini masih baik-baik saja. Sebelum akhirnya x dan y muncul," lanjut Esy dengan teramat lesu.
Esy rasanya benar-benar tidak bertenaga. Semenjak ia melihat angka nol itu di lembar tugas Statistikanya, energi yang ia peroleh dari sebungkus nasi uduk mendadak saja hilang.
Sungguh Esy tidak percaya bahwa seumur hidupnya ia akan mendapat nilai nol. Terlebih lagi itu di Statistika. Mata kuliah yang diajar oleh dosen pembimbing akademiknya sendiri.
"Otak aku benar-benar capek."
Kali ini Farrel yang mengambil napas dalam. "Nggak seburuk itu, Sy. Kamu cuma perlu---"
"Kita istirahat bentar yuk, Rel?" pinta Esy tak berdaya. "Aku beneran nggak sanggup mikir lagi."
Farrel tidak bisa berbuat apa-apa. Ia pun mengangguk. Mungkin sedikit jeda memang dibutuhkan Esy. Terlebih lagi karena sejurus kemudian ada seseorang yang mendatangi mereka.
"Rel."
Bukan hanya Farrel yang menoleh, alih-alih Esy pula. Ternyata adalah Dira yang datang. Dengan beberapa buku yang ia peluk di dada.
"Eh, Dira," ujar Farrel. Ia melirik buku yang dibawa cewek itu. "Abis minjam buku?"
Dira mengangguk. "Kebetulan di Perpus banyak buku materi yang bagus-bagus."
Dira menaruh buku-buku yang ia pinjam di atas meja. Lantas menarik satu kursi kosong, duduk bergabung dengan Esy dan Farrel.
Kala itu suasana Perpustakaan memang tergolong sepi. Jadi percakapan mereka tidak akan mengganggu pengunjung lainnya.
"Ini buku yang dibilangin Bu Fatma kapan hari," ujar Dira memamerkan satu buku pada Farrel. "Morfologi Tumbuhan karya Gembong Tjitrosoepomo."
"Ah! Buku yang jadi sumber rujukan materi Botani?" tanya Farrel tertarik. Ia mengambil alih buku tersebut dan Dira memberikannya dengan suka hati.
"Iya. Tadi aku sempat buku sekilas dan isinya memang lengkap banget."
Farrel membuka buku tersebut. Langsung membacanya.
"Bener kan?" tanya Dira kemudian.
Farrel mengangguk. "Semua materinya emang diambil dari sini. Pantas Bu Fatma nyuruh buat baca buku ini kalau ada materi yang nggak kita paham."
"Iya. Dan yang aku tahu katanya Prof Gembong itu emang spesialisnya untuk ilmu Botani. Jadi buku ini benar-benar rujukan semua orang untuk Botani."
Farrel mendengarkan penjelasan Dira dengan penuh minat. Dan hal tersebut tentu saja membuat Dira semakin bersemangat menjelaskan hal yang ia tahu. Tapi, ironisnya Esy tidak begitu.
Esy diam. Lama-lama cemberut ketika melihat interaksi Farrel dan Dira. Karena tak butuh waktu lama untuk mereka terlibat diskusi mengenai materi Botani.
"Selengkap itu ya? Apa aja isinya?"
Akhirnya Esy tidak bisa diam saja. Entahlah. Apa pun ia tanyakan asal bisa ikut bergabung dalam pembicaraan itu.
Percakapan Farrel dan Dira terjeda. Mau tak mau mereka melihat pada Esy yang tersenyum.
"Namanya buku Morfologi Tumbuhan," jawab Farrel acuh tak acuh. "Ya tentu saja isinya tentang morfologi tumbuhan, Sy."
Pertanyaan bodoh memang. Tapi, Esy santai saja.
"Di sini dijelaskan semuanya, Sy," kata Dira kemudian. Ia tersenyum dan menunjukkan pula buku tersebut pada Esy. "Sangat rinci. Bahkan untuk materi daun aja bisa satu bab tebal. Pokoknya detail banget. Apalagi juga dicantumkan gambar."
Esy memejamkan mata. Mendadak saja kepalanya pusing. Lantaran huruf di buku itu terkesan kecil dan rapat-rapat.
Ya Tuhan. Abis belajar Statistika, eh malah lihat materi Botani lagi.
Esy mendadak merasa mual. Tapi, tidak lucu kan kalau ia sampai muntah gara-gara materi kuliah?
"Btw ..."
Farrel mengabaikan Esy. Kembali bicara pada Dira.
"... tadi kamu pinjam di rak mana? Pertanian atau Biologi?"
Dira mendeham sejenak. "Kamu mau pinjam juga?"
Farrel mengangguk. Wajah Dira seketika berubah.
"Ini buku terakhir," jawab Dira dengan suara rendah. "Kayaknya udah dipinjam sama yang lain. Ini juga aku ketemunya di rak Biologi. Di rak Pertanian udah kosong."
Apa boleh buat. Untuk urusan buku, tentu saja mereka harus bergerak cepat. Terlambat sedikit, mahasiswa lainnya yang akan meminjam.
"Kamu mau pake untuk buat tugas kemaren?" tanya Dira kemudian.
Farrel menjawab pertanyaan itu dengan mengangguk sekali.
"Kalau gitu gimana kalau kamu ke kos aku aja ntar sore?" tawar Dira. "Kita bisa kerjain tugas bareng-bareng. Gimana?"
Mual Esy mendadak hilang. Entah mengapa, tapi tawaran Dira membuat perasaan Esy menjadi tidak enak.
"Oke."
Nahas! Farrel memberikan jawaban yang membuat perasaan tak enak Esy semakin menjadi-jadi.
"Kalau gitu aku tunggu kamu ntar jam empat di kos aku."
Farrel mengangguk dan Dira langsung merapikan buku-bukunya. Lalu ia berpamitan pada Esy dan Farrel.
"Aku duluan."
Sepeninggal Dira, Esy ingin mendebat rencana Farrel. Mengerjakan tugas di kos Dira? O ho! Esy tidak akan membiarkannya.
"Rel, ka---"
"Sore ntar kamu nggak ada kerjaan kan?"
Ketika Esy baru akan bicara, Farrel malah memotong ucapannya dengan satu pertanyaan. Esy mengerjap dan berpikir sejenak. Lalu ia menggeleng.
"Kenapa?"
Farrel membuang napas panjang. "Kamu ikut aku ke kos Dira."
Bola mata Esy membesar. Kaget. Ia bahkan menunjuk hidungnya.
"Kamu ngajak aku ke kos Dira?" tanya Esy tak percaya. "Buat ngerjain tugas Botani?"
Farrel mengangguk sekali. "Cukup tugas Statistika kamu aja dapat nol. Jangan sampe tugas Botani kamu juga dapat nol."
"Farrel."
"Jangan malas. Kamu nggak mau ngulang kan?"
Esy mengerucutkan mulutnya dengan imut. Mengerjap beberapa kali dan mengangguk.
"Siap laksanakan!"
Maka hilang sudah perasaan tak enak Esy. Setelah Farrel mengajak dirinya untuk ikut serta ke kos Dira, perasaannya justru berubah sangat enak.
Anggap aja study date sama Farrel.
Bagi Esy, belajar memang akan selalu menjadi momok yang menakutkan. Tapi, kalau ada Farrel, itu bisa diatur.
Demikianlah yang Esy pikir. Tapi, kenyataan tidak segampang itu. Ketika sore harinya ia sudah berada di kos Dira bersama Farrel, cobaan lainnya datang.
"Gimana, Rel? Udah bener gini? Menurut kamu ujung daun aku udah bener kan? Apa gambarnya kurang tumpul ya?"
"Menurut aku udah pas sih. Kalau kamu tumpulkan lagi ntar malah jadi kayak tipe membulat."
"Ah. Iya juga sih. Tapi, ngomong-ngomong ... ternyata kamu pinter gambar juga ya?"
"Nggak ah. Biasa aja."
Kebayang bagaimana perasaan Esy? Oh, rasanya seperti ada lahar panas yang mendadak membanjiri hatinya.
Membara. Hingga kepala Esy berasap.
Esy kesulitan bernapas. Bukan karena asma. Tapi, karena bukan lagi oksigen yang beda di sekeliling dirinya. Alih-alih atmosfer kecemburuan.
Dia sengaja mau deketin Farrel?!
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top