(20) 2. Bersama dan Sama-Sama Hingga Terbiasa 5
"Farrel."
Farrel mengerjap. Ia menoleh dan bukan Esy yang memanggilnya. Alih-alih Dira.
Kala itu mereka sudah berada di Lahan Percobaan Terpadu Kampus. Tempat diadakan praktikum Dasar-Dasar Agronomi. Mahasiswa, asisten dosen, dan dosen sudah berkumpul.
Dosen membuka praktikum lapangan tersebut dengan penjelasan singkat. Lalu praktikum pun dimulai. Praktikan dipersilakan untuk segera mengolah tanah dan menanan komoditi yang sudah ditentukan. Di bawah pengawasan asisten dosen, tentunya.
"Ya?" tanya Farrel ketika Dira menghampirinya. Cewek itu tampak mengenakan topi dan ia memegang arit.
Dira menunjuk lahan berukuran 3 x 3 meter yang baru saja ia siangi. Rumput yang tadinya memenuhi lahan itu, tersingkir sudah.
"Segini cukup?" balik bertanya Dira pada Farrel. Ia menunjuk hasil kerjanya.
Farrel mengangguk. "Sudah. Sekarang biar aku yang lanjutin."
"Oke."
Farrel beranjak seraya membawa cangkul. Berniat untuk segera memulai tugasnya, ada celetukan terdengar di sebelahnya.
"Coba kamu kayak Dira. Ini malah jijik megang tanah."
Langkah Farrel terhenti. Ia berpaling dan tidak heran menemukan Radit yang ngomel-ngomel.
"Aku nggak mau kayak Dira. Soalnya cantikan aku," balas Esy. "Ih! Ini kok tanahnya bau ya?"
Farrel geleng-geleng kepala melihat Esy beranjak keluar dari lahan kelompoknya. Tidak berniat untuk melihat keributan kelompok 8 itu, ia justru mendapati beberapa orang temannya menimpali pertengkaran Esy dan Radit.
"Nasib kamu dapat kelompok, Dit," tukas Deni tergelak.
"Tapi, bukannya kalian cocok ya? Satu tukang ngaku ganteng, satu lagi tukang ngaku cantik," tambah Ica.
Esy cemberut. "Aku nggak tukang ngaku cantik, tapi emang cantik."
Tawa pun meledak. Apalagi ketika Esy menuding Radit.
"Kalau dia emang tukang ngaku-ngaku. Ganteng aja nggak."
Radit melepas cangkul yang ia pegang sedari tadi. Cowok itu melangkah menuju Esy. Tampak menyugar rambutnya dengan satu tangan ketika tangan lainnya justru berkacak di pinggang.
"Wah! Kamu bilang aku tukang ngaku-ngaku?"
Radit berdecak sekali. Lalu ia menatap Esy. Sedikit menundukkan wajah seolah ingin menunjukkan ketampanan yang ia miliki.
"Kamu nggak lihat aku cakep gini?"
Esy mengerjap. Tersentak dan spontan melangkah mundur ketika wajah Radit tepat berada di depan wajahnya. Satu tangannya yang kotor naik.
"Nggak. Tapi, kalau pake tanah ini mungkin kamu bisa kelihatan cakep."
Radit buru-buru menarik wajahnya sebelum tanah itu benar-benar mendarat di wajahnya. Cukup saja sepatu tabung yang membuat penampilannya kacau sore itu. Tidak perlu dengan tambahan yang lain.
"Intinya ..."
Radit kembali bicara. Sekali, ia mengamati penampilan Esy. Yang bisa dibilang nyaris sama dengan dirinya.
"... aku nggak mau kerja sendirian," ujar Radit seraya meraih tangan Esy. "Sini."
Esy melotot kaget ketika Radit menggenggam tangannya. Ingin melepaskan diri, tapi cowok itu sudah menariknya.
"Sini kamu sini. Bersihin ini."
Radit membawa Esy kembali ke lahannya. Pun menyerahkan kembali arit ke tangan cewek. Memastikan Esy untuk memegangnya dengan benar.
"Lahan ini masa depan kita, Sy. Kalau kita nggak bener ngurus lahan ini, auto ngulang kita tahun depan."
Esy bergidik. Demi satu kata itu, ia spontan melihat pada Farrel. Dan di waktu yang tepat, cowok itu berpaling. Kembali melanjutkan pekerjaannya.
Nggak. Aku nggak boleh ngulang. Karena Farrel tentu aja nggak bakal ngulang.
Maka seketika saja tekad dan semangat itu membara di dada Esy. Berkobar-kobar. Ia mengangguk.
"Oke, Dit."
Radit memang ingin Esy turut bekerja dalam praktikum tersebut. Tapi, mendapati Esy yang serta merta menerima perkataan sedikit membuat Radit tak yakin pula.
"Tapi, ajarin aku dulu ya?"
Tuh kan. Tangan Radit naik. Seolah ingin menjitak Esy. Tapi, tentu saja tidak ia lakukan.
"Soalnya aku nggak pernah merumput."
Radit membalas Esy. "Kamu pikir aku pernah mencangkul? Cowok cakep kayak aku?"
Percakapan antara Esy dan Radit membuat teman-teman mereka tergelak. Menganggap hal tersebut sebagai hiburan, tak aneh bila mendengar celetukan-celetukan seperti.
"Mereka benar-benar jodoh. Berantakan deh itu lahan mereka."
"Hahahaha. Tapi, kasihan juga sih lihat Radit."
"Ya namanya Esy. Mana mungkin pernah merumput."
Farrel hanya diam mendengar perkataan teman-temannya. Lalu namanya dipanggil oleh Tegar.
"Rel."
Farrel menoleh. "Apa?"
"Seenggaknya kamu harus bersyukur. Karena kamu sekelompok sama Dira, bukannya sama Esy," jawab Tegar.
Deni membenarkan hal tersebut. "Dan kamu beruntung sekelompok sama Dira. Nggak penjijik dan mau kerja. Lihat aja. Di antara cewek yang lain, Dira yang paling cekatan."
Senyum tersimpul di bibir Dira.
"Biasa aja sih. Lagian aku memang sering bantu Oma ngurus taman bunganya," ujar Dira.
"Wah!" kesiap Monica. "Serius?"
Dira mengangguk. "Makanya aku udah biasa kayak gini."
Jawaban Dira semakin membuat teman-teman menganggap Farrel beruntung. Dan setidaknya memang itulah yang terlihat. Terutama di mata asisten dosen dan dosen.
Berjarak beberapa meter, Teguh bertanya pada Abid dan Ryan.
"Itu yang pakai topi pantai dan baju ke pesta itu praktikan shift kita?"
Abid dan Ryan tergelak. Tentu saja Teguh menanyakan Esy. Yang datang praktikum dengan mengenakan topi pantai lebar. Lengkap dengan satu pita besar di atasnya. Tapi, masalah sebenarnya terjadi pada pakaian Esy.
Kombinasi kaus bewarna pink dan lace, Esy bukannya mengenakan celana olahraga seperti yang lainnya. Alih-alih celana jeans. Hal bagusnya adalah ia tetap mengenakan sepatu tabung. Bukannya sepatu berhak tinggi.
"Namanya Esy, Pak," ujar Abid menjelaskan. "Bapak ingat nggak? Yang buat heboh pas OSPEK kemarin."
Teguh mengingat. Lalu ia meringis geli. "Ah, yang buat ketawa orang satu Fakultas itu?"
Abid tertawa. "Benar, Pak. Dia orangnya."
"Coba kalian lihat mereka. Awasi baik-baik. Jangan sampe kerjaan mereka nggak beres," ujar Teguh kemudian.
"Baik, Pak."
Maka Abid dan Ryan pun beranjak. Melewati tiap kelompok tanpa lupa memeriksa pekerjaan mereka. Mengingatkan dan membenarkan bila ada yang keliru.
"Gimana? Udah beres?"
Ryan langsung bertanya saat mereka tiba di kelompok 8. Ia dan Abid melihat lahan yang tengah diolah Esy dan Radit. Lalu keduanya geleng-geleng kepala.
"Dikit lagi, Kak," jawab Esy enteng.
Abid melihat Esy dengan sorot aneh. "Kayak gini dibilang dikit lagi? Wah! Kalian ini bener-bener deh ya."
"Kalian berdua nggak pernah merumput dan mencangkul sebelum ini?" tanya Ryan seraya turut bergabung di lahan tersebut.
Kompak, Radit dan Esy mengangguk.
"Nggak pernah."
Jawaban itu membuat Abid dan Ryan saling melihat satu sama lain. Mereka mengangguk dan menyingsingkan lengan baju.
"Oke. Seenggaknya kalian beruntung dapat asdos penuh tanggung jawab kayak kami," ujar Ryan.
"Anggap aja ini les private nyangkul dan merumput," tambah Abid.
"Dengan pengajaran kami dijamin kalian bisa mahir nyangkul dan merumput," lanjut Ryan. "Gagal? Uang kembali 100%."
Tawa pun meledak. Tapi, tidak dengan Esy dan Radit. Mereka saling menatap dan kompak meneguk ludah. Entah mengapa, perasaan mereka menjadi tidak enak.
*
bersambung ....
Karena ada info pemadaman listrik, jadinya aku update sekarang. Laptop yang ini soalnya udah ga pake batre lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top