(2) Di satu hari yang cerah. Di satu sekolah dasar negeri.

"Farrel!"

Esy berdiri di depan pagar rumah Farrel. Itu adalah pagi yang terasa hangat. Matahari bersinar terang dan langit biru tampak bersih tanpa ada awan sedikit pun.

"Far--- cim!"

Namun, sepertinya Esy tidak secerah pagi itu. Dengan jaket tebal yang membungkus tubuhnya, ia tampak kedinginan.

"Farrel!"

Esy mengucek hidungnya yang terasa gatal hingga memerah. Ingin bersin kembali, tapi tak jadi. Rasa kesal membuat ia berdecak.

"Esy, kamu beneran masih mau sekolah?"

Satu pertanyaan membuat Esy menoleh. Bertepatan dengan desakan bersin yang lagi-lagi datang.

"Haciiim!"

"Astaga, Sy. Kamu itu benar-benar sakit. Lebih baik kamu nggak sekolah dulu. Biar Mama datang ke sekolah. Mama bilang ke guru kalau kamu sakit."

Mengeluarkan sehelai tisu dan mengelap pilek di hidung Esy, adalah wajar bila Dhian Wiyanti selaku orang tua khawatir dengan keinginan putrinya. Rajin sekolah memang bagus. Tapi, tidak bila Esy sedang dalam keadaan sakit.

"N-nggak, Ma. Aku harus sekolah."

Esy memejamkan mata saat Dhian membersihkan pileknya. Sejurus kemudian ia merasa lega ketika tak ada lagi pilek di hidungnya.

"Tapi, kamu sakit, Sy."

Esy bergeming dengan keinginannya. "Aku mau sekolah."

Membuang napas panjang, Dhian tampak putus asa. Mau sekeras apa ia berusaha membujuk Esy, tapi putrinya itu benar-benar keras kepala.

"Farrel!"

Esy kembali berteriak di saat Dhian memutar otak. Apakah ada cara untuk melarang Esy sekolah?

"Esy?"

Dhian berpaling. Suara seorang wanita paruh baya yang seumuran dengannya menarik perhatiannya.

"Kamu mau sekolah, Sy?"

Dhian tampak putus asa. Antara kesal dan kasihan dengan keadaan putrinya kala itu, pada akhirnya ia mengeluh pada tetangganya tersebut.

"Itulah, Jeng. Aku sudah melarang dia untuk sekolah. Tapi, aku tinggal sebentar aja ke dapur untuk buatkan dia susu, eh dia sudah hilang dari kamar. Nggak taunya dia sudah di sini lengkap dengan pakaian sekolah dan dia manggil-manggil Farrel."

Itu adalah Linda Arisandi. Tetangga beda lima rumah dan sekaligus adalah ibu Farrel. Yang ketika mendengar penjelasan Dhian maka ia hanya tersenyum kaku.

"Ma."

Suara Esy membuat Dhian dan Linda sama-sama melihat padanya. Keadaan Esy benar-benar menyedihkan. Dengan jaket tebal, rambut yang diikat acak-acakan, wajah tampak memerah dan dipenuhi beberapa rintik keringat.

"Farrel mana? Dia sudah selesai sarapan?"

Linda meringis. Melihat pada Dhian dengan sorot tak berdaya. Ketika ia kembali menatap Esy, ia merasa tak enak.

"F-Farrel sudah pergi ke sekolah, Sy."

Wajah memerah Esy berubah seketika menjadi pucat. "F-Farrel sudah pergi sekolah?"

Linda mengangguk kaku. Lalu ia dengan cepat berkata.

"F-Farrel pikir kamu hari ini nggak sekolah. Kamu kan sakit, Sy. Jadi lebih baik kamu istirahat di rumah dulu. Kalau sudah sembuh, baru kamu sekolah lagi."

Esy mengerjapkan matanya berulang kali. Sekarang bukan hanya tubuhnya yang terasa panas. Alih-alih matanya pun demikian.

"F-Farrel pergi sekolah nggak sama aku."

Baik Dhian maupun Linda terdiam dengan kompak. Agaknya mereka bisa menebak akhir dari itu semua.

"K-kalau begitu ... aku harus pergi sekarang."

Tebakan Dhian dan Linda tidak salah sama sekali. Tentu saja itulah yang akan Esy lakukan.

"Sayang," cegah Dhian buru-buru. "Kamu nggak usah sekolah ya? Kamu di rumah saja."

Esy menggeleng. "Nggak mau, Ma. Farrel sekolah. Jadi aku juga harus sekolah."

"Tapi, Farrel nggak sakit, Sy. Kalau kamu kan sedang sakit."

Linda turut bicara. Membantu Dhian dan berharap mereka bisa membujuk putri keras kepala itu.

"Tapi, aku tetap harus sekolah, Ma. Kalau aku nggak sekolah, aku nanti nggak pintar."

Bersikeras dengan keinginannya, Esy sukses membuat dua orang wanita paruh baya itu menarik napas dalam-dalam berulang kali. Bagaimanapun mereka mencoba untuk membujuk, nyatanya Esy benar-benar tidak goyah.

"Nanti kalau aku nggak naik kelas bagaimana, Ma? Aku nggak bisa sekelas lagi sama Farrel. Aku nggak bisa main bareng Farrel lagi."

Esy menggeleng. Membuat rasa panas di matanya berubah menjadi tetes air mata. Mulai menangis dan membuat kepanikan Dhian semakin menjadi-jadi.

Jelas Dhian tahu bagaimana Esy yang tidak akan pernah goyah dengan keinginannya. Tapi, Dhian juga tahu bagaimana keadaan Esy kala itu benar-benar tidak memungkinkannya untuk sekolah.

Esy flu. Sudah dari sore kemarin. Dan karena itulah mengapa Dhian mengajukan cuti dadakan hari itu. Bermaksud untuk merawat putri bungsunya, tapi ia malah mendapati Esy yang tidak ingin dirawat.

"Mama."

Rengekan Esy membuat Dhian membuang napas panjang. Tangan kecil itu meraih jemarinya. Mengguncangnya dan membiarkan Dhian untuk dapat merasakan panas tubuhnya.

"Antar aku sekolah," pinta Esy. "Aku mau sekolah. Aku mau belajar sama Farrel."

Dhian menyerah. Ketika ia sedih melihat keadaan putrinya, wajah memelas Esy membuat ia tak bisa berbuat apa-apa.

Dengan berat hati akhirnya Dhian mengangguk. Memberikan apa yang Esy pinta. Mengantarkan putrinya itu ke sekolah.

Wajah pucat Esy seketika tampak cerah ketika tiba di kelas. Ia melepaskan tangan Dhian dan langsung menyalami gurunya dengan sopan. Barulah ia bergegas lari menuju ke mejanya. Ehm ... mejanya dan Farrel lebih tepatnya. Dan tidak aneh sama sekali kalau Farrel kaget mendapati kedatangan Esy.

"Farrel!"

Pun begitu pula dengan guru yang terheran-heran ketika melihat kehadiran Esy. Hingga ketika muridnya yang baru berusia delapan tahun itu menyalaminya maka ia hanya bisa melongo.

"Esy sekolah, Bu?" tanya guru yang bernama Jayanti itu pada Dhian dengan tatapan tak percaya. "Bukannya Esy sedang sakit? Tadi Farrel bilang kalau Esy sakit."

Dhian mengangguk lesu. "Esy memang sakit, Bu. Tapi, dia tetap mau sekolah. Katanya takut nggak naik kelas dan nggak bisa sekelas dengan Farrel lagi."

Untuk alasan yang satu itu, Jayanti kembali hanya bisa melongo. Tidak bisa berkata apa-apa. Ia berpaling dan melihat bagaimana Esy tampak tersenyum lebar di mejanya.

Wajah Esy memang terlihat memerah. Tampak menyedihkan. Tapi, anehnya ia juga terkesan senang.

"Saya mohon maaf karena harus merepotkan Ibu. Tapi, saya mohon Ibu memaklumi Esy."

Jayanti mengangguk. Karena selama dua tahun menjadi wali kelas Esy sudah membuatnya cukup mengerti sifat anak didiknya yang satu ini.

"Tentu, Bu. Ibu tenang saja."

Dhian mengembuskan napas lega. Merasa lebih tenang ketika ada seseorang yang justru merasakan sebaliknya.

Itu adalah Farrel. Yang mengerutkan dahi ketika Esy mengeluarkan buku pelajarannya.

"Kamu kan sakit, Sy. Kenapa kamu sekolah? Harusnya kamu istirahat di rumah."

Sebenarnya Esy merasakan dengan jelas bagaimana flu itu membuat dirinya mengantuk dan letih. Tapi, tidak. Esy menggeleng. Membuang pikiran itu dari benaknya dan ia tersenyum.

"Kalau kamu sekolah, aku juga harus sekolah. Kalau kamu nggak sekolah, aku juga nggak sekolah."

Farrel melongo. "Tapi, kamu itu sakit. Harusnya kamu nggak sekolah."

"Tapi, kamu sekolah."

"Kan aku nggak sakit."

"Apa aku tularkan sakit aku, Rel?" tanya Esy kemudian dengan mata yang berbinar-binar penuh harapan. "Jadi kita bisa sama-sama nggak sekolah."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top