(19) 2. Bersama dan Sama-Sama Hingga Terbiasa 4

"Farrel."

Esy merengek. Memegang tangan cowok itu dan mengguncangnya berulang kali.

"Ayo. Mau ya mau?" tanya Esy penuh harap. "Kak Abid mau tuh tukarin kelompok kita."

Farrel terpaksa menghentikan langkah kakinya. Padahal ia sudah berniat untuk segera menuju Laboratorium Ilmu Tanah.

"Sy, jangan buat ulah. Kalau berulah sama aku aja, nggak apa-apa. Tapi, ini kan nggak enak sama Dira dan Radit," kata Farrel seraya melihat pada Dira dan Radit bergantian.

Esy mengerucutkan mulutnya. Beralih pula pada dua orang teman mereka. Wajah mereka tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Masa perkara praktikum aja buat heboh?"

Esy masih cemberut. "Mau gimana lagi? Kan aku mau bareng kamu."

"Kan kita masih satu shift," ujar Farrel. "Cuma beda kelompok. Lagipula praktikum yang lain-lain kita juga beda kelompok."

"Emang sih."

Setidaknya praktikum Biologi dan Fisika semester satu kemarin adalah bukti nyata. Mereka beda kelompok dan Esy tidak mempermasalahkannya. Itulah yang Farrel pikirkan. Lantas apa yang Esy pikirkan?

"Tapi, praktikum itu kan rame-rame."

Esy melirik pada Dira. Lalu kembali pada Farrel. Dan ia merengek kembali.

"Yang ini cuma berdua!"

Sudahlah. Farrel mencoba menebalkan muka ketika kekehan-kekehan itu mendarat di indra pendengarannya.

"Terserah kamu deh, Sy," tukas Farrel pada akhirnya. "Aku mau ke leb Tanah aja. Mau daftar praktikum buat DDIT."

Tuntas mengatakan itu, Farrel beranjak. Meninggalkan Esy yang uring-uringan. Dan tentu saja, hal tersebut membuat dirinya kesal akan seseorang.

"Kak Abid!"

Esy menghampiri Abid yang sedari tadi heboh sendiri dengan Ryan. Cowok berambut pirang itu geleng-geleng melihat Abid.

"Kamu ini emang nggak peka banget, Bid. Udah tau dia suka Farrel, eh malah kamu pisahin lagi kelompoknya."

Abid menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Aku kan spontan aja buat kelompok tuh. Cuma berdasarkan urutan absen."

"Ckckck," decak Ryan sambil menunjuk Abid berulang kali. "Pantas banget kamu masih jomlo. Nggak peka sama sekali."

Abid melotot. "Sembarangan ngomongin aku jomlo. Kamu nggak sadar? Bukan cuma aku seorang yang jomlo di sini."

"Hehehehehe."

"Aku jomlo. Kamu jomlo," tukas Abid lagi. "Dan dia juga jomlo."

Mengatakan itu, Abid menunjuk pada Esy yang tiba menghampirinya. Sontak saja membuat cemberut Esy semakin menjadi-jadi.

"Kak Abid tega amat. Kakak kan tau aku suka Farrel, tapi kenapa Kakak buat Farrel sekelompok sama cewek lain?"

Ryan tertawa tanpa suara. "Mampus lo mampus."

"Kak Abid tega. Padahal dulu Kak Abid doakan biar aku bisa jadian sama Farrel," rengek Esy. "Lihat sekarang? Farrel sama cewek lain."

Lama-lama Abid merasa tidak enak juga. Tapi, apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa dilakukan selain memberikan pugas sesuai selera.

"Maaf, Sy. Tapi, aku tadi beneran spontan," ujar Abid merasa bersalah.

Ryan melirik Abid. Rasa-rasanya tak tega juga melihat temannya disalahkan seperti itu. Maka sebagai teman yang baik, ia pun mencoba untuk membela.

"Udahlah, Sy. Lagian kan tadi Abid udah ngasih pengecualian."

Esy berpaling pada Ryan.

"Kalian diperbolehkan buat tukar pasangan. Eh!"

Ryan buru-buru menutup mulutnya. Lalu segera meralat ketika bola mata Esy membesar.

"Maksudnya tukar kelompok," ujar Ryan sambil cengar-cengir. "Farrel aja yang nggak mau."

Yang dikatakan Ryan memang benar. Tapi, tetap saja Esy kesal.

"Dia nggak mau. Pasti karena dia nggak enak sama Dira dan Radit. Padahal untuk apa coba peduliin mereka?"

Abid dan Ryan tak bisa berkata apa-apa lagi.

"Udah udah. Lagian kan kamu juga nggak pisah jauh dari Farrel. Dia kelompok 7 dan kamu kelompok 8," bujuk Ryan. "Tetanggaan kan?"

"Aku nggak mau tetanggaan, Kak. Aku maunya satu rumah," tolak Esy.

Ryan geleng-geleng kepala. "Sy, ini praktikum loh ya. Bukan main rumah-rumahan."

"Kakak sih," rengek Esy.

"Kok aku?" tanya Ryan sambil menunjuk hidungnya sendiri. "Bukan aku. Abid loh."

Esy dan Ryan sama-sama menoleh pada Abid. Menuding cowok itu dengan kompak.

"Gara-gara kamu."

"Gara-gara Kak Abid."

Abid rasanya ingin melompat saja dari lantai dua itu.

"Semoga aku dan Farrel pisah cuma di praktikum ini aja deh," lirih Esy pada dirinya sendiri. Dan lalu ia mendadak teringat sesuatu. "Farrel tadi bilang mau ke leb Tanah. Mau daftar praktikum DDIT."

Sial. Gara-gara sibuk memikirkan praktikum Dasar-Dasar Agronomi, Esy nyaris melupakan bahwa ada praktikum lain yang harus ia urus. Salah satunya adalah Dasar-Dasar Ilmu Tanah yang kebetulan dilakukan di gedung berbeda.

Biasanya pendaftaran jadwal praktikum memang dibuka setelah perkuliahan dimulai. Karena pengurus laboratorium harus mencocokkan jadwal praktikum dengan jadwal perkuliahan. Maka tidak aneh bila praktikum dimulai setelah perkuliahan berjalan beberapa minggu.

"Ya Tuhan."

Esy memegang kepala. Lalu berlari. Tapi, bukan keluar. Alih-alih ke jendela. Melihat ke bawah di mana parkiran berada.

Mata Esy dengan cepat mencari. Dan ia menemukannya.

"Farrel!"

Abid dan Ryan memejamkan mata dengan kompak. Pun mengernyit ketika mendengar seruan itu.

"Tungguin aku! Kita bareng ke leb Tanah."

Tuntas meneriakkan itu, Esy buru-buru berlari keluar. Tapi, ia menyempatkan diri untuk melambai pada Abid dan Ryan. Tanda pamit pada seniornya itu.

"Aku duluan, Kak."

Abid dan Ryan hanya menjawab seadanya. Lalu keduanya kompak membuang napas lega dan memutuskan untuk keluar pula dari sana.

*

Tidak pernah Esy duga kalau perjalanan hidupnya seperti ini. Bagaimana mungkin gadis imut yang tak pernah kotor-kotoran harus mencangkul?

Esy memandang tak yakin pada Abid. Asisten dosen berambut hitam dengan sedikit ikal itu memberikan cangkul dan arit pada dirinya dan Radit.

"Jangan rusak," ujar Abid memperingatkan mereka. "Rusak berarti mengganti."

Esy tidak memedulikan peringatan Abid. Yang dipedulikannya hanya satu. Nasib dirinya ke depan.

"Eh! Malah bengong!" sentak Abid seraya menjentikkan jarinya di depan wajah Esy.

Esy mengerjap. Menatap tanpa daya pada Abid. Dan cowok itu cengar-cengir.

"Kamu nggak pernah nyangkul?" tebak Abid geli.

Esy tidak menjawab. Tapi, tentu saja fakta terlihat jelas. Hingga membuat Radit yang berdiri di sebelah Esy bergumam seraya mengacak-acak rambut.

"Ah, alamat aku kerja sendirian ini mah."

Esy menatap Radit. "Kamu ada rencana buat nyuruh aku nyangkul?"

"Emansipasi wanita loh," ujar Radit. "Kita berada di level yang sama."

Bola mata Esy membesar. "Yang benar aja."

"Ya memang benar."

"Nggak mau. Aku nggak mau nyangkul."

"Harus mau. Ibu Kartini susah payah memperjuangkan kesetaraan wanita dan pria loh."

"Enak aja."

"Memang."

Belum apa-apa, Esy rasanya sudah ingin meledak. Bagaimana bisa ia mendapat kelompok seperti Adit?

Namun, berbeda dengan Esy yang uring-uringan, ternyata ada Abid dan Ryan yang justru terkekeh. Melihat pertengkaran itu dengan menahan geli.

"Ini bisa dinobatkan kelompok paling solid," tukas Ryan. "Lihat. Belum mulai aja udah ribut duluan."

Ada yang bertengkar. Ada yang tertawa menikmati pertengkaran itu. Tapi, ada pula yang membuang napas panjang seraya menatap iba.

Farrel bertanya di benaknya.

Dia bakal baik-baik aja kan?

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top