(18) 2. Bersama dan Sama-Sama Hingga Terbiasa 3

"Farrel."

Tidak seperti hari biasanya di mana akan selalu ada senyum lebar nan penuh semangat yang bertengger di wajah Esy, kali ini Farrel mendapati hal sebaliknya. Ketika ia berbalik dan cewek itu dengan serta merta mendaratkan wajahnya di atas meja. Ia tampak lemas dan wah!

Bola mata Farrel membesar. Tanpa dibuat-buat sama sekali, ia sungguh dibuat ngeri dengan kantung mata Esy.

"Ya Tuhan, Esy," lirih Farrel horor. "Kamu tidur jam berapa?"

Mata Esy berkedip dengan amat perlahan. Lalu ia melirik. Meringis ketika menjawab.

"Tidur? Tidur itu apa? Apa semacam jajanan yang sering kita beli dulu pas hari Minggu? Yang dibuat dari singkong?"

"Itu tiwul," tandas Farrel.

Esy merengek. "Aku mau tiwul, Rel."

"Ckckck."

"Eh, maksudnya mau tidur," ralat Esy kemudian.

Mengabaikan perkara tidur dan tiwul, pada kenyataanya Farrel bisa menebak. Tentu adalah tugas Kimia, Dasar-Dasar Ilmu Tanah, dan Manajemen Nurseri yang menjadi penyebab membesarnya kantung mata Esy.

"Kenapa hari ini harus ada 3 mata kuliah? Dan kenapa semuanya ada tugas?" tanya Esy dengan ekspresi tersiksa.

Farrel merasa iba. "Kan sudah aku bilangin. 25 SKS itu padat banget, Sy. Dan kamu nggak percaya."

"Ini bukan waktunya buat nyalahin aku, Rel," rengek Esy. "Harusnya kamu ngasih aku semangat."

"Ah. Oke," ujar Farrel seraya mengangguk. "Semangat, Sy."

Tentu saja Esy bisa merasakan ketidakseriusan Farrel ketika menyemangatinya. Maka rengekannya pun semakin menjadi-jadi. Membuat Farrel tersenyum geli hingga kemudian samar terdengar kekehannya.

"Ngomong-ngomong soal tiwul ..."

Rengekan Esy berhenti. Tapi, ia melihat Farrel dengan malas.

"... kamu udah sarapan?" tanya Farrel. "Biasanya kalau begadang, kamu bakal buru-buru ke kampus dan cuma makan roti."

Esy membuang napas panjang seraya mengangkat wajahnya dari meja. Berusaha menegapkan punggungnya dengan sisa-sisa tenaga yang masih ia miliki.

"Sekarang aku udah ada peningkatan, Rel."

Farrel mengerutkan dahi. Menebak. "Apa? Sarapan kamu bukan roti, tapi nasi uduk?"

"Nggak," geleng Esy. "Peningkatan aku adalah aku bisa ke kampus tanpa sarapan."

Farrel melongo ketika pundak Esy jatuh lemas.

"Aku bahkan sekarang nggak tau rasa badan aku kayak gimana. Lapar, capek, dan ngantuk kayaknya bercampur jadi satu."

Mau tak mau, Farrel merasa kasihan juga. Apalagi kalau ia mendengar doa Esy selanjutnya.

"Semoga aja Kimia hari ini nggak belajar. Siapa tau Pak Chozin mendadak diare kan?"

Doa yang tentu saja tidak menjadi kenyataan. Karena Chozin Baharudin justru datang sekitar sepuluh menit kemudian. Harapan Esy untuk mendapatkan kelas kosong hari itu hilang sudah.

Berusaha untuk tetap fokus pada rumus molekul senyawa yang memenuhi papan tulis, Esy berulang kali menyentak kepalanya. Mencoba untuk tetap sadar ketika kantung mata terasa makin memberat.

Diam-diam, Farrel yang duduk di sebelah Esy memperhatikannya. Merasa kasihan. Tapi, ia tidak berbuat apa-apa.

Sebenarnya Farrel ingin menyuruh Esy untuk membuang beberapa mata kuliah. Mengingat masih ada seminggu untuk masa perubahan KRS, seharusnya masalah Esy bisa selesai. Tapi, Farrel tidak akan membuang waktu dan tenaga untuk hal yang percuma.

Aku kenal Esy tuh bukan setahun atau dua tahun. Seumur hidup malah. Nyuruh dia mundur, jelas banget nggak guna.

Ketimbang melakukan hal yang jelas tidak berguna, Farrel justru mengingatkan diri untuk tidak lupa mengajak Esy pergi. Nanti setelah kelas Kimia yang dimulai pukul delapan itu berakhir.

Ada waktu sekitar dua puluh menit sebelum jadwal berikutnya dimulai di pukul sepuluh. Farrel berkata pada Esy.

"Kita cari makan dulu gimana? Jam sepuluh ini praktikum Dasar-Dasar Agronomi. Aku khawatir kamu pingsan."

Dua kalimat pertama yang Farrel ucapkan sukses membuat Esy semringah. Tapi, ketika Farrel menuntaskan perkataannya, sontak saja semringah itu menghilang. Ia cemberut walau jelas tidak tersinggung sama sekali.

"Aku nggak selemah itu, Rel."

Mungkin memang tidak selemah itu. Tapi, ketika praktikum Dasar-Dasar Agronomi dimulai maka sepertinya Esy harus berterima kasih pada Farrel.

"Jadi ..."

Di depan sana ada dosen yang bernama Purwoko Teguh Santoso. Dosen pembimbing praktikum yang tengah menjelaskan rencana praktikum.

"... Sabtu besok kita kumpul semua di lahan percobaan. Buat yang belum tau tempatnya, tanya sama asdos."

Teguh berpaling. Pada dua orang mahasiswa yang menjadi asisten dosennya. Dan mereka kompak mengangguk.

"Baik, Pak."

"Siap."

Teguh kembali melihat pada dua puluh orang mahasiswa yang mengisi ruang praktikum.

"Kalian sudah harus kumpul jam tiga sore. Nanti koordinasikan sama asdos untuk peralatannya yang akan kalian pakai. Dan yang pasti sesuaikan pakaian kalian, oke? Kalau perlu, bawa topi dan pake sunscreen dulu."

Tubuh Esy seketika bergidik. Dan itu tidak lepas dari mata Farrel. Ia bisa menebak ketakutan apa yang sekarang mengisi benak cewek itu.

"Saya rasa itu saja untuk pertemuan hari ini. Untuk kelompok, nanti biar asdos yang buat. Saya permisi duluan."

Teguh menutup penjelasannya. Lantaran ada rapat penting di rektorat yang harus ia hadiri sehingga ia tidak bisa membimbing praktikum hari itu secara penuh. Tapi, setidaknya Teguh bisa bersyukur. Lantaran ia didampingi oleh dua orang mahasiswa yang bisa ia percaya.

"Abid dan Ryan," kata Teguh memanggil asisten dosennya. "Saya tinggal."

Setelah Teguh meninggalkan ruang praktikum, Abid dan Ryan pun mengambil tempat di tepat. Di tangan Abid ada absensi sementara Ryan memegang spidol.

"Jadi sekarang kita bagi kelompok dulu," ujar Abid. "Dan satu kelompok terdiri dari dua orang."

Ketakutan Esy akan bayangan harus mencangkul seketika menghilang. Apa yang dikatakan oleh Abid membuat semangatnya mendadak timbul kembali.\

Nggak apa-apa. Timbang cuma megang cangkul kan? Nggak seberapa dibandingkan kebahagiaan karena sekelompok dengan Farrel.

Alih-alih terlihat lesu, sekarang Esy terlihat amat bersemangat. Dan seperti biasa. Farrel pun bisa menebak apa yang menjadi sumber semangat tersebut.

"Kelompok 1 Fajar dan Monica," kata Abid seraya melihat absensi.

Ketika Abid mengatakan itu maka Ryan pun menulis nama tersebut di papan tulis. Begitu seterusnya hingga satu persatu nama praktikan disebut.

"Kelompok 7 Farrel dan Dira."

Semangat di wajah Esy menghilang. Ia melongo. Sepertinya butuh waktu untuk meyakinkan diri bahwa telinganya tidak salah mendengar. Tapi, apa yang ditulis oleh Ryan di papan tulis membuat semua harapannya benar-benar runtuh seketika. Terlebih lagi karena sedetik kemudian Abid kembali berkata.

"Kelompok 8 Radit dan Esy."

Ya Tuhan.

Tubuh Esy sontak lemas lagi. Sepertinya seporsi nasi uduk benar-benar tidak mampu membangkitkan tenaga dalam cewek itu.

"Aku nggak sekelompok sama Farrel?" tanya Esy pada dirinya sendiri.

Karena bagi Esy yang tidak pernah memegang cangkul, mungkin satu-satunya hal yang membuat ia bersemangat untuk praktikum nanti adalah Farrel. Dan bayangan itu sudah memenuhi benaknya. Farrel mencangkul dan dirinya mencabut rumput.

Ih, romantis sekali.

Namun, semua imajinasi itu buyar seketika. Apalagi karena kemudian Radit segera menghampiri dirinya.

"Wah! Udah satu PA, eh sekarang kita satu kelompok juga."

Tak ingin, tapi Esy justru teringat sesuatu.

Astaga! Farrel dan Dira juga kan? Mereka satu PA dan sekarang satu kelompok juga?

Tidak bisa tidak. Esy dibuat uring-uringan karenanya!

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top