(17) 2. Bersama dan Sama-Sama Hingga Terbiasa 2

"Farrel!"

Memanggil Farrel, Esy berusaha menembus lautan manusia yang akhir-akhir ini menjadi fenomena harian di Gedung Jurusan. Lantaran semester dua akan segera dimulai dan karenanya mahasiswa banyak yang melakukan bimbingan untuk mengisi KRS.

Di antara para mahasiswa yang sibuk, ada Esy yang turut memeriahkan keadaan. Dengan tergopoh-gopoh berusaha menghampiri Farrel yang kebingungan melihat dirinya.

"Farrel," ujar Esy dengan napas tersengal. "Ya ampun. Akhirnya ketemu juga."

Farrel mengerutkan dahi. Melihat Esy dengan kebingungan.

"Kamu ngapain, Sy?"

Tidak langsung menjawab pertanyaan itu, Esy butuh waktu beberapa detik demi mengatur kembali laju pernapasannya. Mungkin sekitar dua puluh detik kemudian barulah ia menjawab.

"K-kamu ngambil 25 SKS?"

Farrel membuang napas. Harusnya ia bisa menebak.

"Iya," angguk Farrel. "Aku ngambil 25 SKS."

Wajah Esy berubah horor. Layaknya ia sedang melihat hantu di pagi itu.

"Kok 25? Bukannya batas maksimal itu 24 SKS ya?" tanya Esy bingung. Sama bingung dengan dirinya yang tadi mendengar desas-desus itu. Ketika teman-temannya sedang membicarakan Farrel. Pada saat itulah Esy mengetahui bahwa Farrel mengambil 25 SKS.

Maka bukanlah hal yang aneh bila setelahnya Esy segera mencari Farrel. Ia harus menanyakan langsung hal tersebut pada Farrel.

"Memang sih. Batas maksimal itu 24 SKS," jawab Farrel seraya mengangguk samar sekali. "Tapi, karena aku ngambil Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang 3 SKS, makanya sisa SKS aku masih ada 1. Dan Bu Fatma bilang nggak apa-apa kalau aku mau ambil satu mata kuliah lain. Tapi, yang bobotnya 2 SKS."

Itu adalah kebijakan yang memang diterapkan di beberapa kampus. Di mana ada toleransi untuk SKS yang berlebih. Tapi, biasanya hanya ditoleransi sebesar 1 SKS saja.

"Jadi karena itu akhirnya aku ambil mata kuliah semester enam. Manajemen Nurseri," pungkas Farrel.

"Ya Tuhan."

Esy hanya bisa melirih horor ketika mendengar penjelasan Farrel. Kali ini wajahnya bukan hanya menyiratkan kengerian. Alih-alih telah memucat.

"Sy? Kamu kenapa?"

Esy meneguk ludah. Mengingatkan dirinya sendiri. Bahwa hal pertama yang harus ia lakukan adalah menenangkan diri.

"Nggak," geleng Esy. "Aku nggak apa-apa. Cuma aku ..."

Karena tentunya ada hal kedua yang harus Esy lakukan.

"... harus ketemu Pak Zidan sekarang."

Bola mata Farrel membesar. Tak sulit untuk dirinya menerka apa yang Esy pikirkan saat ini.

"Esy," kata Farrel seraya menahan tangan Esy. Tepat ketika cewek itu akan pergi. "Jangan bilang kalau kamu mau nambah SKS juga."

Itu bukan kalimat tanya kan? Jadi Esy pikir ia tidak perlu menjawab apa-apa.

"Ya ampun, Sy. 25 SKS itu bukannya dikit. Aku nggak mau kalau kamu keteteran dan sakit-sakitan."

Mulut Esy mengerucut. Sorot matanya sedikit berubah.

"Kamu mau ngindarin aku ya?" tanya Esy menuding.

Farrel memejamkan mata dengan dramatis. "Astaga."

Mungkin terkesan seperti itu. Dan sepertinya itu adalah motivasi tambahan untuk Farrel ketika memutuskan mengambil mata kuliah Manajemen Nurseri. Bahwa ada satu kesempatan agar dirinya tidak diikuti oleh Esy. Lumayan untuk menenangkan diri kan?

Namun, tidak. Terlepas dari hal tersebut. Farrel pun tidak berbohong ketika ia mengatakan bahwa ia khawatir Esy keteteran.

"Aku bukannya mau ngindarin kamu. Tapi, ini 25 SKS, Sy. Lagi semester satu yang cuma 21 SKS aja kamu udah begadang tiap malam. Apalagi ini?"

Yang dikatakan oleh Farrel memang benar.

"Dan kamu tau kan? Semester dua nanti praktikumnya makin banyak. Dari 9 mata kuliah yang kamu ambil, itu 6 di antaranya ada praktikum."

Esy diam karena lagi-lagi apa yang Farrel katakan memang benar. Bila di semester satu hanya Biologi dan Fisika yang memiliki praktikum maka berbeda di semester dua. Ada Kimia, Botani, Aplikasi Komputer, Dasar-Dasar Agronomi, dan Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Itu saja sudah banyak dan berat, tapi Esy menambahnya dengan Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan pula?

Tak hanya itu. Bahkan sekarang Esy berniat menggenapkan mata kuliah yang ia ambil menjadi sepuluh?

Wah! Mau tak mau, Esy meneguk ludah pula karenanya.

Farrel bisa melihat kebimbangan di wajah Esy. Dan itu membuat ia berharap. Semoga Esy mengurungkan niatnya.

"Please, Sy. Kamu nggak usah maksa diri kayak gini. Kamu yang bakal kerepotan," kata Farrel kemudian dengan penuh harap.

Untuk sesaat, Esy tidak mengatakan apa-apa. Mungkin ia tengah berpikir. Tapi, untuk apa ia berpikir kalau pada akhirnya hanya ada satu ketetapan yang ia miliki? Bahwa ia harus bersama Farrel apa pun yang terjadi.

Esy sudah bertekad. Ia sudah mengambil keputusan.

Senyum mengembang di wajah Esy. Dan itu adalah sinyal yang buruk untuk Farrel. Terutama karena sejurus kemudian Esy melepas tangan Farrel yang menahannya.

"Tenang aja. Aku pasti bisa ngatasin semuanya."

Farrel tentu saja tidak bisa tenang. Bagaimana kalau Esy sakit lagi karena kerap begadang? Ia harus mengantar ke rumah sakit. Memastikan Esy makan dan meminum obat. Belum lagi ditambah kalau Esy minta dirinya menjelaskan materi.

Ya Tuhan. Sepertinya Farrel akan mendapatkan 6 SKS tambahan untuk mata kuliah yang bernama Esy.

"Oke. Kalau gitu aku ngadap Pak Zidan dulu, Rel."

Farrel ingin menahan. Tapi, Esy sudah keburu beranjak. Meninggalkan Farrel yang tak berdaya. Sekarang ia tidak bisa melakukan apa-apa. Ia hanya bisa pasrah melihat kepergian Esy. Yang langsung menuju ke ruangan Zidan.

Setidaknya Esy menunggu selama sepuluh menit sebelum akhirnya ia bisa bertemu Zidan. Duduk di hadapan sang dosen dan mengutarakan niatnya, Esy sukses membuat Zidan syok.

"25 SKS?"

Esy mengangguk mantap. "Iya, Pak. Saya mau ambil Manajemen Nurseri."

Zidan tercengang. Menatap Esy dengan sorot mata yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata.

"Kamu yakin mau ambil 25 SKS?" tanya Zidan memastikan. "10 mata kuliah?"

Esy tidak goyah sama sekali. "Yakin, Pak."

Maka Zidan tidak bisa melakukan apa-apa. Walau ia ragu dengan kemampuan Esy, pada akhirnya ia menyetujui perubahan KRS tersebut. Karena bagaimanapun juga Zidan tahu pasti posisinya.

Zidan adalah pembimbing akademik. Hanya sebatas pembimbing yang bertugas membimbing. Dan tentunya keputusan akhir tetaplah berada di tangan mahasiswa. Walau dalam hati ia tetap berharap bahwa Esy kembali memikirkan keputusannya. Mengingat masih ada beberapa hari tersisa untuk perubahan KRS.

Namun, goyah tidak pernah ada di dalam kamus Esy. Ia tetap pada keputusannya. Entah Farrel atau Zidan, tak ada yang bisa membuat ia mengubah tekadnya. Bahkan keluarganya pula.

"25 SKS?"

Dhian syok di seberang sana. Melalui panggilan video, Esy bisa dengan jelas melihat wajah pucat ibunya. Sama persis seperti ayahnya, Nadiem Pangalila.

"Kamu nggak serius kan, Sy?" tanya Nadiem pula.

"25 SKS dan 10 mata kuliah, itu cuma main-main kan?"

Esy beralih. Pada Bara yang juga bergabung dalam panggilan video tersebut. Sama seperti orang tuanya, sang kakak pun terlihat panik. Dan untuk itu Esy hanya terkekeh.

"Tenang tenang. Aku yakin aku bisa kok belajar 25 SKS."

Tentunya Dhian, Nadiem, dan Bara tidak bisa berbuat apa-apa. Sebagai anggota keluarga, mereka tahu dengan jelas betapa keras kepalanya Esy bila berkaitan dengan satu hal. Ehm ... satu nama tepatnya.

Yaitu, Farrel.

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top