(16) 2. Bersama dan Sama-Sama Hingga Terbiasa 1
"Farrel."
Saat itu Farrel sedang berada di lorong Gedung Jurusan. Hari masih pagi dan ia sedang menunggu teman-temannya. Sesuai rencana, mereka akan menghadap Fatma jam delapan.
"Kamu mau ngadap Pak Zidan?"
Esy duduk di sebelah Farrel. Ia mengangguk. "By the way," lirihnya kemudian dengan penuh irama. "Aku mau nunjukin sesuatu ke kamu, Rel."
Antara minat dan tidak, Farrel menoleh. Ia dapati Esy yang tersenyum lebar. Sama seperti hari-hari biasanya. Dan sepertinya Farrel bisa menebak.
"IP kamu?"
Esy buru-buru menutup mulutnya. Demi menyembunyikan senyum geli yang terbit. Tapi, ia mengangguk.
"Tadaaa!"
Dengan penuh kebanggaan, Esy menunjukkan ponselnya pada Farrel. Di mana ada tampilan halaman portal akademiknya dan ia memamerkan angka yang ada di sana. Yaitu, 3,1.
Farrel melihatnya sedetik. Lalu mengangguk.
"Selamat."
Esy mendekap ponsel itu di dadanya. Masih dengan tersenyum, ia berkata.
"Itu artinya ... semester dua ini kita bisa full sekelas lagi deh."
Tentu saja. Mungkin itulah yang membuat Farrel membuang napas panjang. Dengan IP 3,1 tentu saja Esy bisa mengambil semua mata kuliah yang ditawarkan di semester dua. Bahkan ia bisa mengambil mata kuliah semester empat pula. Mengingat total SKS semester dua hanya 20. Itu artinya Esy memiliki 4 SKS yang tersisa.
"Yeyeyeye!"
Tidak terkira betapa senangnya Esy. Hingga rasa letih dan lelah yang sempat ia rasakan ketika begadang tanpa henti selama UTS dan UAS seolah tak pernah ia rasakan.
Mata Esy berbinar-binar. Dengan tangan yang masih mendekap ponselnya, ia berkata dengan suara penuh perasaan.
"Inilah yang disebut the power of love."
Farrel memejamkan mata dengan dramatis. Memutuskan untuk mengabaikan Esy.
"Eh, Rel. Ngomong-ngomong ... berapa IP kamu?" tanya Esy sejurus kemudian. "Aku mau lihat."
Esy celingak-celinguk. Mencari keberadaan ponsel Farrel dan cowok itu menyodorkannya.
Esy dengan segera membuka portal akademik Farrel. Ia begitu penuh semangat. Dan sangat senang ketika melihat satu angka itu.
"Wah! IP kamu 4!"
Farrel menoleh dan mengambil kembali ponselnya. "Norak, Sy. Biasa aja. Malu dilihat orang-orang."
Namun, bagi Esy itu tidak norak sama sekali. Alih-alih sebaliknya.
"Emang nggak heran sih. Dari awal aku udah yakin kalau kamu bisa dapat IP 4. Dan aku yakin. Ntar IPK kamu juga bisa 4. Kayak Kak Ryan."
"Kak Ryan?" tanya Farrel.
"Iya. Kak Ryan," angguk Esy. "Asdos Biologi kita. Yang rambut pirang dan suka pake jaket kulit warna hitam."
Farrel meringis. "Tau. Aku tau yang namanya Kak Ryan. Nggak mungkin aku lupa asdos aku sendiri. Padahal belum ada dua bulan selesai praktikum."
"Hehehehe. Bener."
Esy cengar-cengir. Tapi, rasa senang dan bangga itu tidak bisa ia singkirkan dalam waktu dekat.
"Kamu tau nggak? Anak-anak pada banyak yang idolain Kak Ryan. Katanya udah cakep, eh pintar lagi. Mana Kak Ryan bukan senior yang suka ngintimidasi junior. Dan yang pasti mereka heboh karena IPK Kak Ryan 4 dan baru aja dapat beasiswa."
"Terus?" tanya Farrel acuh tak acuh.
"Kemaren mereka nyuruh aku deketin Kak Ryan loh."
Farrel mengerutkan dahi. "Deketin?"
"Iya," angguk Esy. "Mereka bilang kasihan lihat aku ditolak mulu sama kamu. Jadi nyuruh aku nyoba deketin Kak Ryan."
Tuntas mengatakan itu, Esy terkikik. Sementara Farrel hanya melongo. Melihat cewek itu dengan sorot aneh. Seaneh sikap Esy di mata Farrel.
"Tapi, kamu tau nggak, Rel?" tanya Esy tanpa menunggu jawaban Farrel. "Kak Ryan itu suka ketawa sendiri loh."
Esy kembali terkikik. Dan Farrel hanya geleng-geleng kepala. Harusnya ia tidak mendengarkan celotehan Esy.
"Ya walau Kak Ryan cakep dan pintar, cuma dia rada-rada sih. Jadi mending aku sama kamu kan? Udah cakep, pintar, dan nggak rada-rada."
"Ck. Apaan sih."
Farrel berdecak seraya bangkit dari duduknya. Dari kejauhan ia melihat ada teman-teman satu PA-nya yang datang. Ia lalu berkata pada Esy.
"Aku pergi dulu. Itu anak-anak udah sampe."
Esy mengangguk. Memberikan lambaian kecil ketika Farrel pergi meninggalkan dirinya. Dan tak lama kemudian, Esy pun turut beranjak dari lorong Gedung Jurusan. Bersama dengan teman-temannya, ia pun menghadap Zidan. Demi melakukan bimbingan sebelum memasuki semester dua.
"Kamu benar-benar harus berjuang untuk Statistika nanti, Sy."
Zidan membuang napas panjang. Melihat pada layar laptopnya. Di mana ia tengah mengamati nilai Esy.
"Matematika kamu dapat C dan itu bukan awal yang bagus."
Esy mengangguk. "Iya, Pak."
"Dan sejujurnya nilai C kamu kemarin itu benar-benar nilai yang mepet."
Esy menahan ringisannya. Dalam hati ia berkata.
Untuk kali ini, aku mohon. Nggak usah jujur, Pak.
Zidan tidak meneruskan perkataannya. Alih-alih kembali membuang napas.
"Sepertinya kamu lemah di hitung-hitungan," ujar Zidan kemudian. "Karena nggak cuma Matematika, tapi Fisika kamu juga dapat C."
"Dulu saya mikir kalau Agroekoteknologi itu nggak pakai hitung-hitungan, Pak. Saya pikir cuma belajar Biologi."
Zidan geleng-geleng. "Semua bidang tetap membutuhkan perhitungan. Walau itu sekadar menghitung data sensus."
"Iya, Pak."
"Tapi, setidaknya nilai Pengantar Ilmu Pertanian kamu dapat A. Itu bagus."
Wajah lesu Esy memudar walau samar. "Sayangnya cuma 2 SKS, Pak."
Itulah yang Esy sesalkan. Dari 3 mata kuliah yang mendapat nilai A, hanya Agama yang jumlah SKS-nya 3. Sementara Pancasila dan Pengantar Ilmu Pertanian berbobot 2 SKS. Sangat tidak membantu untuk menutupi C yang disumbangkan oleh Matematika dan Fisika. Mengingat dua mata kuliah itu memiliki bobot 3 SKS.
"Jadi bagaimana?"
Pertanyaan Zidan membuat Esy mengangkat wajah. Karena jujur saja, Esy merasa takut untuk melihat Zidan.
"Dengan IP 3,1 kamu bisa mengambil SKS full 24. Kalau kamu mau ambil mata kuliah atas, saya menyarankan Konservasi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Walau dia 3 SKS dan ada praktikum, tapi praktikumnya tidak melelahkan. Bahkan mungkin cenderung menyenangkan. Mahasiswa suka praktikum jalan-jalan."
Terdengar menarik untuk Esy. Hingga matanya pun berbinar-binar. Dengan satu imajinasi yang langsung membentang di benaknya.
Praktikum sambil jalan-jalan sama Farrel? Wah!
Esy buru-buru mengangguk. "Baik, Pak."
"Tapi ...."
Satu kata itu sukses menjeda semangat bergelora Esy. Kata 'tapi' memang tidak pernah memberikan sinyal yang bagus.
"Kamu harus ingat, Sy. Ini perkuliahan kamu. Jangan pernah mengambil SKS yang kamu rasa kamu nggak sanggup."
Esy diam. Sedikit rasa senangnya lenyap seketika tatkala mendapati keseriusan Zidan.
"Kuliah dengan 23 SKS itu bukan hal yang mudah. Apalagi dengan 6 mata kuliah yang ada praktikumnya. Apalagi di semester dua mata kuliah kamu akan semakin fokus ke Agroekoteknologi-nya," lanjut Zidan.
Esy mendengarkan penjelasan Zidan dengan saksama.
"Kalau di semester satu kamu cuma ketemu Pengantar Ilmu Pertanian, maka di semester dua kamu bakal bertemu Dasar-Dasar Agronomi, Dasar-Dasar Ilmu Tanah, dan Botani. Apa kamu sanggup?"
Esy menarik napas dalam-dalam. "Saya akan berusaha sekuat tenaga, Pak."
Jujur saja, sebenarnya Zidan ragu. Tapi, Zidan harus mengakui bahwa ia kagum untuk tekad yang berkobar di mata Esy.
"Dan satu hal yang perlu kamu ingat," kata Zidan lagi.
"Apa, Pak?"
Zidan menatap Esy dengan tajam. "Statistika."
Deg!
Jantung Esy rasanya tidak berdetak lagi. Kalau Matematika saja sudah sukses membuat ia kelimpungan maka bagaimana dengan Statistika?
"Jangan pernah bolos. Jangan pernah malas belajar. Kamu harus lulus Statistika," lanjut Zidan dengan penuh keseriusan. "Karena kamu tau kan?"
Esy tidak menjawab pertanyaan itu. Karena sumpah. Rasa dingin langsung menjalari sekujur tubuh Esy. Tepat ketika Zidan menuntaskan perkataannya.
"Statistika gagal maka kamu nggak akan pernah bisa tamat."
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top