(14) 1. Tidak Ada Yang Lebih Menakutkan Ketimbang Tidak Bersama 9

"Farrel."

Farrel menoleh dan mendapati Esy yang sudah mengisi kursi kosong di sebelahnya. Di tangan cewek itu ada lembar kerja praktikum Biologi. Ia menunjukkan lembar kerjanya pada Farrel.

"Ini mana yang stoma dan mana yang sel penutup?" tanya Esy seraya menunjuk tepat di gambar stomata daun kopi. "Aku mau nanya sama Kak Ryan, tapi kamu lihat deh. Yang lain pada lagi ngerumuni dia kayak semut ngerubungi gula."

Farrel melihat ke seberang sana. Di mana asisten praktikum yang bertugas untuk membantu praktikan berada. Dan seperti yang Esy katakan. Ada banyak praktikan yang mengelilingi senior setahun di atas mereka itu.

"Dan aku mau nanya sama Pak Nathan, eh ... Pak Nathan malah keluar bentar."

Farrel membuang napas panjang. Akhirnya ia mengambil alih lembar kerja Esy. Lalu melihat gambar stomata daun kopi itu.

"Ini namanya stoma," tunjuk Farrel. "Yang bentuknya seperti mulut atau kayak goa ini yang namanya stoma."

Esy mengangguk. "Oh."

"Terus yang namanya sel penutup itu yang mirip kayak bibir ini. Gimana? Ngerti?"

Esy mengangguk. "Ngerti."

"Jadi udara masuk lewat stoma ini. Yang mirip kayak mulut. Nah, sel penutup ini berhubungan dengan ketersediaan air di sel-sel pelindung. Kalau sel-sel pelindung kehilangan air, mereka bakal menyusut, dan stoma bakal menutup."

Farrel melihat gambar Esy. Lalu menemukan satu contohnya.

"Nah. Ini stoma lagi menutup. Nggak ada mulutnya kan?"

Esy melihat pada gambar yang ditunjuk oleh Farrel. "Wah! Aku tadi mikir kalau preparat praktikum kami eror. Aku heran kok ada yang kelihatan besar, tapi ada yang kecil."

"Itu bukan besar atau kecil. Tapi, membuka atau menutup."

"Oke oke."

Mengangguk berulang kali, Esy lantas mengambil kembali lembar kerja praktikum Biologinya. Menulis keterangan pada gambar tersebut sesuai dengan penjelasan Farrel.

Tuntas dengan preparat daun kopi, Esy berpindah pada preparat lainnya. Untuk trikoma daun durian, ia bisa mengerjakannya dengan mudah. Sekarang yang tersisa hanya parenkim pada kulit pisang dan daun enceng gondong.

"Kamu udah dapat parenkim kulit pisang?" tanya Esy kemudian. "Kelompok kami belum dapat."

Idealnya dalam satu kelas praktikum tidak lebih dari dua puluh mahasiswa yang dipecah menjadi empat kelompok. Hal tersebut bertujuan agar mempermudah kegiatan praktikum dan keadaan praktikum bisa lebih kondusif. Dan walaupun Esy tidak satu kelompok dengan Farrel, setidaknya cewek itu cukup bersyukur. Mereka masih satu kelas praktikum.

"Kelompok kami juga belum dapat," ujar Farrel seraya melihat pada lembar kerja praktikum miliknya sendiri. "Susah dapetinnya."

Esy mengangguk. Di benaknya berpikir. Kalau Farrel saja kesulitan mendapatkan gambar parenkim kulit pisang di bawah mikroskop, apalagi dirinya?

"Guys!"

Satu suara membuat Esy berpaling. Begitu pula dengan Farrel. Mereka sama melihat ke depan.

Itu adalah Ryan. Yang tampak mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang laboratorium. Di depannya ada mikroskop.

"Kalian ada yang berhasil dapatin parenkim kulit pisang?"

Pertanyaan itu kompak mendapatkan satu jawaban.

"Nggak, Kak."

Ryan memegang mikroskopnya. "Ini aku udah dapat. Coba perwakilan tiap kelompok datang ke sini. Foto dan aku jelasin dikit."

Mendengar hal tersebut, Farrel langsung bangkit dari duduknya. Dan Esy pun buru-buru mengikuti Farrel ketika cowok itu beranjak. Bersama-sama, mereka ke depan.

Harus mengantre, Farrel lebih dahulu mendapatkan gilirannya. Mewakili kelompok tiga, ia pun melihat objek preparat di mikroskop.

"Ini pakai perbesaran objektif 40 x," jelas Ryan. "Kamu lihat kan? Bentuknya nggak beraturan. Semacam oval, lonjong, atau apalah itu."

Mendengar penjelasan itu seraya melihat penampakan preparat melalui lensa okuler, Farrel mengangguk samar. Ia bisa melihat penampakan preparat yang tidak beraturan di sana.

"Di dalamnya ada butir-butir. Itu yang namanya amilum. Yang aku tunjuk di mikroskop."

Farrel memfokuskan matanya pada jarum mikroskop yang menunjuk bagian penting di sana. Tampak jelas ada butir-butir halus yang dimaksud oleh Ryan.

"Gimana? Paham?"

Farrel menarik diri dari mikroskop. Ia mengangguk. "Paham, Kak."

"Oke. Sekarang foto."

Farrel mengeluarkan ponselnya. Memfokuskan lensa kameranya di lensa okuler dan memotret gambar tersebut. Setelahnya ia beranjak tanpa lupa mengucapkan terima kasih.

"Selanjutnya," ujar Ryan.

Esy mengangkat tangan. "Aku, Kak."

"Sini."

Esy langsung mendekat. Melihat pada mikroskop dan mendengarkan penjelasan Ryan.

"Paham?" tanya Ryan kemudian. "Ada yang nggak ngerti?"

Esy menggeleng. "Paham, Kak."

Ryan pun lantas menyuruh Esy untuk memotret penampakan parenkim kulit pisang itu. Tapi, ia sedikit kesulitan. Beberapa kali lensa kameranya tidak bisa fokus sehingga menyebabkan hasil fotonya tidak jelas.

"Sini. Coba aku."

Ryan mengambil alih ponsel Esy. Berhati-hati ketika memfokuskan kameranya, ia berhasil mendapatkan foto yang fokus di percobaan yang ketiga.

"Ini."

Esy semringah. "Makasih, Kak," ujarnya seraya mengambil alih ponselnya. "Kakak dan Kak Abid emang sama-sama baik."

"Abid?" tanya Ryan seraya mengerutkan dahi. "Kamu kenal sama Abid?"

Praktikum masih menyisakan waktu sekitar tiga puluh menit lagi. Dan mungkin karena itulah Esy tidak langsung kembali ke mejanya. Foto parenkim kulit pisang sudah ia kirim di grup dan menggambarnya tidak akan butuh waktu lama.

"Kenal. Waktu di OSPEK dulu."

Ryan mengangguk. "Oh. Dia pasti tebar pesona pas OSPEK kemaren. Ckckck. Kasihan yang jomlo."

Satu kata itu membuat Esy tertarik. Sepertinya ia tidak akan kembali ke mejanya dalam waktu dekat. Ada hal menarik di sini.

"Emangnya Kakak nggak jomlo?"

Ryan tersenyum. Menyugar rambut pirangnya dan menggerling sekali.

"Ya jomlo juga sih."

Esy tertawa sementara Ryan hanya cengar-cengir.

"Bener ya kata orang. Temen itu cerminan diri," ujar Esy. "Kakak dan Kak Abid sama-sama bocor."

"Mau gimana lagi? Soalnya terakhir kali kami minum diapet, eh malah diapetnya ikutan bocor."

Esy kembali tertawa. Hingga kemudian Ryan berkata.

"Kerjakan dulu parenkim kulit pisang. Bentar lagi praktikum selesai loh."

Tawa Esy berubah menjadi senyum geli. Ia mengangguk. "Baik, Kak. Aku kerjain dulu. Btw, makasih."

Ryan hanya mengangguk. Ketika Esy kembali ke mejanya dan berkumpul dengan kelompoknya, Ryan berdiri pula.

"Gimana? Sudah selesai?" tanya Ryan.

"Belum, Kak."

"Bentar lagi."

"Oke," lirih Ryan. "Kalau ada yang nggak paham, boleh tanya ke saya."

Sementara itu di mejanya, Esy yang kebetulan satu kelompok pula dengan Mia dan Bella, langsung diserbu oleh dua cewek itu.

"Tadi ngomongin apa sama Kak Ryan?"

"Bener-bener. Kok sampe ketawa gitu?"

Esy menggambar di lembar kerja praktikumnya. Berikut dengan memberikan penjelasan singkat sesuai dengan yang diterangkan oleh Ryan tadi.

"Nggak ngomongin apa-apa sih. Cuma ngobrol biasa aja."

Tatapan Mia dan Bella tampak beda. Jelas saja mereka tidak percaya.

"Ngobrol biasa kok sampe ketawa gitu?" goda Bella. "Pasti lebih dari biasa. Orang kamu sama Farrel yang katanya suka aja nggak pernah ketawa kayak gitu."

Esy menuntaskan kegiatannya. Ia sudah mengisi lembar kerja praktikumnya.

"Eh? Kok bawa-bawa Farrel?"

Mia mencolek pipi Esy. "Soalnya kadang aku pikir Farrel itu tega juga sama kamu. Kamu sering dikacangin gitu."

Esy diam. Ia memang tidak menceritakan peristiwa tempo hari saat dirinya sakit pada siapa pun. Tapi, agaknya teman-temannya bisa melihat bagaimana sikap Farrel padanya selama ini.

"Mending kamu deketin aja Kak Ryan. Walau dia suka ketawa-ketawa sendiri, tapi kan dia baik."

Esy mengerucutkan mulutnya. "Kalian tau nggak? Kang Cimol yang sering lewat kosan aku tuh juga baik. Tapi, kan nggak mungkin aku deketin juga."

Mia dan Bella bergidik. Antara ngeri dan juga geli.

"Atau kalau sama Pak Nathan?" tanya Bella terkikik.

"Biar kayak novel-novel gitu," imbuh Mia. "Dosenku Kekasihku."

Esy ingin membalas godaan itu. Tapi, Nathan datang di waktu yang tepat. Dosen muda berkacamata itu berkata.

"Maaf, saya tadi ada urusan penting. Jadi bagaimana praktikumnya? Ada yang kurang dimengerti?"

"Nggak ada, Pak."

Nathan menyempatkan diri untuk memeriksa hasil pekerjaan praktikan. Mengoreksinya bila ada yang tidak tepat. Dan ketika sepuluh menit lagi jam menunjukkan pukul 2 siang, Nathan pun menyuruh praktikan untuk mengumpulkan lembar kerja praktikum pada Ryan.

"Praktikum akan diliburkan selama dua minggu ke depan karena UTS. Saya harap kalian belajar dengan tekun dan hasil ujian kalian bisa memuaskan."

Nathan menutup praktikum siang itu. Dan ketika praktikan mulai meninggalkan ruang laboratorium, Esy masih duduk di kursinya.

Entah mengapa, tapi kala itu Esy mendadak teringat perkataan Farrel. Saat cowok itu menjenguk dirinya dan justru mengatakan hal yang tidak ia duga.

"Sy."

Di luar dugaan, Esy mendapati Farrel menghampiri dirinya. Semula Esy pikir Farrel sudah keluar.

Tadinya memang begitu. Tapi, di ambang pintu Farrel melihat Esy yang bergeming. Khawatir cewek itu tiba-tiba sakit lagi sehingga membuat Farrel memutar arah.

"Kamu nggak apa-apa?" tanya Farrel. "Atau kamu sakit lagi?"

Esy tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Hingga akhirnya ia bangkit dari duduknya. Ia berdiri tepat di hadapan Farrel dan berkata.

"Kita udah sama-sama selama ini. Jadi aku pikir kayaknya udah telat kalau aku nyerah sekarang."

Farrel diam. Tidak mengatakan apa-apa ketika Esy lanjut bicara.

"Aku nggak akan pindah."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top