(13) 1. Tidak Ada Yang Lebih Menakutkan Ketimbang Tidak Bersama 8

"Farrel?"

Esy mengerjapkan matanya yang terasa panas. Dan ketika ia membuka mata kembali, itu hanyalah celah kecil. Ia menyipitkan mata. Sedikit merasa tak tahan dengan silau cahaya matahari di luar sana.

"Kamu, Rel?"

Rasa-rasanya Esy tidak percaya dengan apa yang dilihat matanya kala itu. Tapi, wajah itu memang adalah wajah Farrel.

"Iya."

Pun dengan suara itu. Esy tidak mungkin salah mengenalinya. Itu benar-benar adalah Farrel.

Esy terburu-buru membuka pintu kos. Bertahan dan berpegang pada pintu, ia berusaha tersenyum ketika rasa pusing melanda kepalanya.

"Kamu jengukin aku, Rel?"

Lihatlah. Bahkan ketika demam tengah melanda dirinya, Esy akan berusaha sekuat tenaga menyambut Farrel. Tak peduli bagaimana kakinya yang mulai goyah dari waktu ke waktu.

"Gimana keadaan kamu?"

Melayangkan pertanyaan tanpa merasa perlu menjawab pertanyaan Esy, mata Farrel dengan cepat meneliti keadaan cewek itu. Esy tampak pucat dan berantakan. Rambutnya yang biasa tertata rapi, berantakan. Pun dirinya yang biasa memadupadankan atasan dan rok dengan amat apik, kali ini hanya berbalutkan piyama.

"Udah mendingan," jawab Esy lemah tanpa memudarkan senyum di wajahnya. "Cuma masih pusing aja."

"Udah makan?"

Esy mengangguk. "Tadi makan roti."

"Kamu jadi kapan sih hobinya makan roti?"

Tidak diduga oleh Esy, Farrel menukas. Dalam satu pertanyaan yang membuat ia berpikir.

"Bener juga ya? Sejak kapan aku jadi hobi makan roti?"

Farrel hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak berniat memperpanjang topik tersebut, ia menyerahkan sesuatu pada Esy.

"Ini. Nasi uduk depan gang kos aku. Sama tahu isi."

Satu kantung plastik bewarna hitam melayang tepat di depan wajah Esy. Tepat dengan angin bertiup. Membawa aroma lezat itu untuk menggoda indra penciuman Esy.

"Wah!"

Kantung plastik itu langsung berpindah tangan. Esy melihat isinya. Dan benar saja. Yang dikatakan oleh Farrel memang benar. Ada nasi uduk dan empat potong tahu isi di dalam sana.

"Farrel," lirih Esy dengan penuh semringah. Seakan lupa dengan pusingnya, ia tersenyum dengan amat lebar. "Makasih. Kamu baik banget."

Farrel hanya mendeham singkat. Pun mengangguk singkat pula.

"Aku langsung cabut ya? Mau balik ke kampus. Anak-anak udah nungguin buat ngerjain tugas kelompok soalnya."

Esy tertegun. Semringah itu terjeda ketika ia menyadari sesuatu.

"Kamu bela-belain ke sini buat ngantarin aku makanan?" tanya Esy pelan. "Padahal kamu mau ngerjain tugas kelompok."

Farrel jelas tau arah pikiran Esy. "Nggak usah mikir ke mana-mana. Aku nggak bakal ke sini kalau chat aku dibalas."

Esy mengerjap. Dan itu membuat Farrel menebak.

"Hp kamu mati?"

Esy cengar-cengir. "Kayaknya iya. Tenang. Ntar aku charge kok."

"Jangan keseringan lupa nge-charge hp, Sy. Ntar kalau keluarga kamu mau ngubungin gimana? Mereka bisa panik."

Farrel tidak akan lupa. Beberapa bulan yang lalu Bara menghubunginya cuma karena ingin mengetahui kabar sang adik. Berkat kebiasaan buruk itu, Esy sampai tidak menyadari bahwa ponselnya tidak aktif.

"Iya, Rel, iya."

Melihat Esy mengangguk-angguk patuh seperti seekor anak anjing yang imut, Farrel hanya bisa membuang napas panjang. Dalam hati ia hanya berharap agar Esy benar-benar mengingatk hal tersebut.

"Kamu istirahat. Makan dan minum obat. Nanti kalau kamu butuh apa-apa, kamu chat aku."

Sepertinya Esy memang butuh berpegangan pada pintu. Karena kalau tidak, ia bisa saja jatuh meleleh berkat pesan yang Farrel berikan.

"Iya, Rel. Ntar aku chat kamu."

Farrel sudah akan beranjak dari sana. Tepat setelah Esy bicara, ia memutar tubuh. Tapi, langkah pertamanya tertahan.

Farrel ragu. Tapi, ia berpikir singkat. Ini bukan hanya demi dirinya. Alih-alih demi Esy pula.

"Rel? Kenapa?"

Esy yang melihat tidak ada tanda-tanda Farrel akan pergi, bertanya. Tampak bingung. Terlebih lagi karena sedetik kemudian Farrel justru kembali menghampiri dirinya.

"Sy, ada yang mau aku omongin."

Ekspresi, cara bicara, dan tatapan Farrel membuat Esy meneguk ludah. Jantungnya berdebar parah. Esy yakin. Ini bukan pengaruh demam.

"M-mau ngomong apa?"

Sejenak, Farrel menatap Esy. Terlepas dari dirinya yang merasa risih karena harus diikuti Esy sepanjang waktu dan sekarang justru harus menjaganya pula, Farrel memang merasa kasihan pada cewek itu.

"Sekarang belum terlambat, Sy."

Esy membeku. "T-terlambat? Terlambat apa maksud kamu, Rel?"

Mata Farrel memancarkan sorot simpatik. Tampak kasihan melihat keadaan Esy kala itu. Pucat dan tak bertenaga.

"Terlambat buat pindah Fakultas," pungkas Farrel. "Abis semester satu ini kamu pisah pindah Fakultas. Karena mata kuliah yang ditawarkan juga masih mata kuliah wajib kampus. Jadi masih gampang buat kamu pindah Fakultas. Dan kamu nggak ketinggalan mata kuliah apa pun."

Itu memang salah satu kebijakan kampus. Ketika mahasiswa ingin pindah fakultas atau program studi, satu pertimbangannya adalah mata kuliah yang telah diambil dan sudah berapa semester yang terlewati. IPK yang tinggi tentunya menjadi prioritas pula.

Sementara itu perpindahan antar fakultas atau program studi yang dilakukan setelah semester satu cenderung dipermudah. Karena mata kuliah pada semester ini mayoritas adalah mata kuliah wajib kampus. Pun bila ada mata kuliah wajib fakultas, maka biasanya hanya satu. Lebih mudah untuk diambil di semester selanjutnya.

Namun, bukan itu yang penting saat itu. Karena apakah Farrel bisa melihat bahwa pucat di wajah Esy semakin memutih?

"Farrel."

"Aku udah bilang. Kuliah di Pertanian itu berat. Apalagi kita di prodi Agroekoteknologi. Bakal banyak praktikum lapangannya, Sy. Dan kamu juga nggak bisa kerja berat kan?"

Perkataan Farrel menohok Esy. Membungkam mulutnya. Kata-kata yang sempat mengantre di ujung lidahnya, mendadak lenyap.

"Kali ini aku ngomong bukan karena aku mau ngindarin kamu atau apa. Tapi, kali ini aku ngomong karena aku benar-benar kasihan sama kamu."

Jari-jari Esy yang bertahan pada pintu, menguat. Ia menghirup udara dalam-dalam. Dan walau wajahnya kian memucat, tapi ia tetap mencoba tersenyum.

"Ternyata kamu masuk Pertanian karena mau ngindarin aku?"

Bola mata Farrel membesar. Tampak salah tingkah. Jelas ia baru menyadari bahwa dirinya terlepas bicara. Dan ketika ia ingin membela diri, suara Esy terdengar kembali.

"Aku udah nebak gitu sih. Tapi, aku nggak ngira kalau kamu bakal jujur."

Farrel merasa bersalah. "Esy, aku–"

"Nggak apa-apa," potong Esy cepat. "Ngomong-ngomong ... makasih untuk makanannya. Kamu hati-hati di jalan."

Farrel tidak bisa berbuat apa-apa ketika Esy lantas masuk dan langsung menutup pintu kos. Suara kunci yang berputar membuat Farrel membuang napas.

Merutuki dirinya sendiri, Farrel tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan langkah berat, akhirnya ia memutuskan untuk beranjak dari sana. Tanpa ia ketahui bahwa sepasang mata Esy mengintip di balik tirai jendela.

Esy melihat kepergian Farrel dengan mata berkabut. Buliran air mata yang terasa membakar telah memenuhi matanya.

Dan ketika Farrel benar-benar telah meninggalkan kosnya dengan mengendarai sepeda motornya, Esy pun tak bisa membendung air matanya. Tangisnya pecah ketika buliran pertama itu terjatuh di pipi.

Esy terduduk di lantai. Mendekap makanan yang Farrel beri dan ia terisak.

"Farrel."

*

bersambung ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top