(10) 1. Tidak Ada Yang Lebih Menakutkan Ketimbang Tidak Bersama 5
"Farrel!"
Kelas Pancasila baru saja berakhir. Farrel dengan segera merapikan bukunya dan bangkit. Duduk di sebelahnya, ada Esy yang turut berdiri. Tapi, ada seorang cowok yang menghampirinya ketika ia akan menyusul Farrel yang sudah beranjak dari sana.
"Esy Handayani kan?"
Esy mengangguk acuh tak acuh menjawab pertanyaan itu. Dengan mata yang tetap fokus pada Farrel, ia melangkah. Ingin menyusul Farrel, tapi dua tangan yang membentang di hadapannya membuat langkahnya terhenti.
Mau tak mau, perhatian Esy sekarang berpindah. Ia melihat sosok di hadapannya.
"Kamu ..."
Esy mencoba untuk mengingat. Sepertinya ia kenal cowok tinggi berwajah tampan di depannya itu.
"... Candra?"
Cowok itu tersenyum. Menampilkan satu lesung pipi di pipi kirinya. Ia mengangguk dan melengkapi perkataan Esy.
"Candra Raditya. Panggil aja Radit. Cewek-cewek biasa manggil aku Radit."
Ada sesuatu yang membuat Esy mengerutkan dahi. Matanya sontak menyipit dalam sorot meneliti Radit. Cowok tampan berpenampilan modis yang menguarkan aura santai dan bersahabat.
"Cewek-cewek?" tanya Esy dengan ekspresi penuh antisipasi. "Ehm ... kalau cowok?"
Ada kilat jahil terpancar dari mata Radit. Ia menjawab enteng.
"Radit juga."
Lalu Radit tertawa sementara Esy mencibir. Sekilas berdecak dan Esy memutuskan untuk beranjak dari sana. Menganggap Radit adalah hal yang amat tidak penting. Terlebih lagi bila dibandingkan dengan makan siang bersama Farrel.
Benar. Farrel.
"Farrel!"
Sekali kaki Esy melangkah. Tapi, tangan Radit sudah menahannya kembali. Kali ini dengan menggenggamnya.
Mata Esy melotot. Kesiap meluncur dari bibirnya.
"Maaf."
Radit segera melepaskan genggamannya dan tampak salah tingkah. Mengusap kedua tangannya berulang kali. Sekilas mendeham demi mencairkan kembali suasana.
"Kita satu PA, by the way."
Di hari kelima perkuliahan itu, Esy mungkin harus diingkatkan. Bahwa ia belum bertemu dengan dosen pembimbing akademiknya. Bahkan ia belum tau siapa saja teman-temannya yang satu pembimbing akademik dengan dirinya.
"Pak Zidan?" tanya Esy demi memastikan.
Radit mengangguk. "Iya. Dosen matematika, statistik, dan rancangan percobaan," ujarnya bergidik. "Ih! Aku nggak suka matematika dan malah dapat dosen PA Pak Zidan."
Untuk hal yang satu itu, Esy tidak berkomentar. Bukannya apa. Tapi, Esy pun tidak terlalu membanggakan untuk urusan hitung menghitung.
"Kamu suka matematika?" tanya Radit.
Bahu Esy naik sekilas. "Entah. Yang pasti aku suka Farrel."
Radit melongo.
"Jadi kita mau ketemu Pak Zidan sekarang?"
"Rencananya. Anak-anak yang lain juga udah oke."
Esy menarik napas dan mengembuskannya seolah ia punya beban berat. Dengan pandangan mata ke pintu, ia tampak manyun.
"Gagal lagi deh makan siang bareng Farrel."
Radit yang tentu saja sama seperti mahasiswa baru lainnya, hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak mengira bahwa ada cewek seperti Esy. Bagaimana bisa begitu terang-terangan seperti itu dalam menyukai seseorang?
*
Pukul 2 siang, adalah Ruang 6 yang menjadi kelas berikutnya. Dan itu merupakan satu dari beberapa hal baru yang harus diadaptasi oleh Esy. Karena sistem pembelajaran yang berbeda dari sekolah menyebabkan perkuliahan bisa dilakukan di ruangan yang berbeda untuk setiap mata kuliah.
Di awal-awal perkuliahan, Esy dibuat kebingungan karena harus mengecek jadwal. Melihat ruang mana yang akan menjadi kelas selanjutnya. Sedikit keberuntungan untuknya, ia hanya perlu melihat di mana Farrel berada.
Untuk semester satu, setiap mahasiswa baru memang memiliki jadwal kuliah yang sama. Itu lantaran jumlah mata kuliah dan SKS yang mereka ambil pun sama. Nanti, ketika hasil studi semester satu sudah keluar maka semua pun akan berbeda.
IP yang didapat di semester satu akan menentukan berapa SKS yang bisa diambil di semester dua. Dan karena itu tidak akan mengherankan bila nantinya tidak semua mahasiswa bisa mengambil semua mata kuliah yang ditawarkan. Berkat itu pula mengapa pada akhirnya masa tamat setiap mahasiswa pun berbeda.
Namun, itu masih terlalu jauh untuk dipikirkan oleh Esy sekarang. Ketimbang memikirkan hal tersebut, lebih baik ia mencoba merayu Farrel. Mungkin saja cowok itu mau menemani dirinya mencari camilan sore nanti.
"Farrel."
Kali ini karena ruangan sudah penuh oleh mahasiswa, Esy menurunkan sedikit volume suaranya. Terlebih lagi karena Farrel tepat berada di sebelahnya.
"Ehm."
Dehaman itu membuat Esy tersenyum. Ia sedikit beringsut. Melirik sekilas pada buku Biologi yang Farrel keluarkan, ia berkata.
"Sore ntar kita pergi yuk? Temenin aku cari camilan."
Farrel melihat jam tangannya. Lima menit lagi perkuliahan akan dimulai. Tapi, belum terlihat tanda-tanda bahwa dosennya akan datang.
"Cari camilan?"
Farrel mengulang pertanyaan itu. Lantas ia membuang napas.
"Aku mau ngerjain tugas matematika sore ntar."
Mendengar nama mata kuliah itu, Esy seketika bergidik. Hal tersebut menarik perhatian Farrel. Karena ekspresi wajah Esy pun mendadak berubah.
"Kamu kenapa?"
Esy tampak manyun. Sedikit menarik diri dan menyandarkan punggung di kursi.
"Tadi aku sama anak-anak pergi ngadep Pak Zidan," ujar Esy membuka ceritanya. "Kamu tau kan? Pak Zidan dosen matematika."
Farrel mengangguk. Sedikit ragu, tapi ia merasa bahwa dosen yang bernama lengkap Razidan Syahreza itu adalah dosen pembimbing akademik Esy.
"Beliau dosen PA kamu kan?"
"Iya," jawab Esy lesu. "Dan kayaknya Pak Zidan benar-benar nakutin deh, Rel. Aku pikir dia cuma nakutin pas ngajar aja. Taunya pas bimbingan ... juga."
Farrel semula berniat membuka buku Biologi yang baru saja ia pinjam di perpusatakaan. Tapi, suara lemah Esy membuang ia mengurungkan niat. Bukan bermaksud berlebihan. Hanya saja bukankah Esy biasanya selalu bertenaga?
"Kenapa sama Pak Zidan?"
Bibir bawah Esy maju. "Tiap Pak Zidan ngomong, jantung aku berasa kayak dipentung. Memang nggak dibentak, cuma auranya buat aku ketakutan."
Farrel diam. Melihat dengan jelas bagaimana cemberut Esy semakin menjadi-jadi.
"Belum lagi Pak Zidan tadi bilang. Kami harus lulus matematika biar kemungkinan tamat cepat terbuka lebar. Nggak lulus matematika artinya nggak bisa ambil mata kuliah prasyarat ke atas."
Kali ini Farrel hanya bisa mengangguk. Membenarkan hal tersebut. Setidaknya ada mata kuliah statistika, rancangan percobaan, metodologi penelitian, penyajian ilmiah, dan skripsi yang bergantung pada mata kuliah matematika. Tidak lulus matematika maka mahasiswa tidak bisa mengambil mata kuliah selanjutnya.
Menakutkan. Tapi, memang begitulah mata kuliah yang menggunakan sistem prasyarat.
"Mana saking banyaknya nasehat yang Pak Zidan kasih, aku sampe nggak sempat makan siang. Cuma sempat makan roti aja," keluh Esy sambil memeluk perutnya sendiri. Matanya mengerjap. Seolah ingin menangis.
"Ck."
Farrel berdecak. Dan di waktu yang tepat, seorang dosen pria masuk ke dalam ruangan.
"Selamat siang. Maaf saya terlambat."
Kelas yang semula dipenuhi suara-suara mahasiswa seketika hening. Mereka langsung duduk dengan sikap sopan. Semua mata tertuju pada dosen muda yang mengenakan kacamata itu. Tak bisa dipungkiri. Beberapa mata mahasiswi tampak berbinar-binar melihat wajah itu.
"Selamat siang, Pak."
Menaruh tas laptop di atas meja, sang dosen mengedarkan pandangannya. Melihat seisi kelas dan berkata.
"Saya Nathan Hadiyaksa. Dosen yang akan mengajar mata kuliah Biolog sampai UTS nanti. Sekarang saya jelaskan dulu kontrak perkuliahan."
Itu adalah rutinitas yang selalu dilakukan ketika perkuliahan pertama kali dimulai. Dosen akan menjelaskan secara ringkas mengenai kontrak perkuliahan. Biasanya berkisar dengan sistem penilaian yang berlaku, toleransi keterlambatan, dan beberapa aturan lainnya.
Semua mahasiswa menyimak dengan serius. Pun termasuk Farrel. Tapi, tak urung juga ia mendengar keluhan Esy di sebelahnya.
"Walau nggak satu PA sama Farrel, kalau dosen PA aku Pak Nathan kayaknya masih mending. Udah cakep dan kayaknya baik hati. Nggak kayak Pak Zidan. Emang cakep, tapi mengerikan."
Esy membuang napas panjang. Membandingkan Zidan dan Nathan. Hanya untuk menyadari bahwa walau kedua dosen itu sama-sama masih muda, lajang, dan terlihat menarik, tapi jelas sifat mereka berbeda.
"Mengapa PA aku harus Pak Zidan?"
Farrel mengabaikan Esy. Walau tak urung juga setiap ucapan cewek itu selalu terdengar di telinganya. Sepanjang kuliah, praktis Farrel mendengar dua suara. Yaitu, penjelasan Nathan dan keluhan Esy.
"Ya ampun. Aku lapar."
Mata Farrel memejam. Ia berusaha untuk tetap tenang ketika pada akhirnya Nathan berkata di depan sana.
"Jadi tugas kalian merangkum perbedaan sel tumbuhan dan sel hewan. Kumpulkan hari Senin ke komti. Dan komti ..."
Nathan melihat pada seorang mahasiswa yang bernama Fajar Ghifari. Ia adalah komti untuk mata kuliah Bilogi.
"... langsung serahkan ke saya jam istirahat siang."
Fajar mengangguk. "Baik, Pak."
Tak lama kemudian, kelas Biologi pun berakhir. Nathan keluar dari ruangan. Begitu pula dengan para mahasiwa.
Kelas terakhir di hari Jum'at selesai pula. Bayangan akhir pekan membuat mayoritas dari mereka bersemangat untuk pulang.
Namun, sepertinya tidak dengan Esy. Cewek itu terlihat amat lesu ketika merapikan bukunya. Bahkan ketika Farrel telah berdiri dari duduknya, ia tampak tak tertarik seperti biasanya.
Farrel melihat Esy. Wajah cewek itu masih cemberut. Entah karena masih menyesali Zidan yang menjadi pembimbing akademiknya, takut tidak lulus matematika, atau rasa lapar.
Esy bangkit dari duduknya. Mengerjap sekali ketika mendapati Farrel yang masih berdiri di tempatnya.
Farrel tampak membuang napas panjang. "Kamu mau nyari cemilan di mana?"
Wajah Esy seketika semringah. Cepat, ia menjawab. "Di mana aja."
Farrel tidak mengatakan apa-apa. Melainkan beranjak dari sana. Dan tentunya Esy dengan cepat menyusul dirinya.
"Kamu bawa obat magh?"
Esy mengangguk. Mengimbangi langkah kaki Farrel ketika cowok itu menuju parkiran.
"Diminum dulu," ujar Farrel. "Kayaknya bakal macet."
Mengabaikan dirinya yang memang tidak bisa telat makan, Esy justru diam-diam berdoa di dalam hati.
Nggak apa-apa deh aku minum obat magh. Nggak apa-apa macet. Yang penting bisa lama berduaan sama Farrel.
Entah menyedihkan atau justru memalukan. Tapi, Esy menutup doanya dengan satu kalimat.
Buat macet yang lama ya, Tuhan.
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top