(1) Di satu hari yang cerah. Di satu taman kanak-kanak.
Halo, semuanya. Setelah dua bulan hiatus, akhirnya kita berjumpa lagi di cerita Miss V. Yang penuh rasa, yang buat nagih.
Btw. Ini jadwal aku selama bulan September 2022. Please, baca semua cerita yang aku tulis ya. Sebelum aku ngambek dan hiatus lagi. Hahahaha.
1. Farrel! "Setiap hari"
2. Tuan Vampir dan Darah Kesayangannya "Setiap hari"
3. [Masih] Sekantor Tapi Menikah "Senin-Jum'at"
4. SEXY LOVE "Senin-Rabu"
Keempat cerita itu bakal update di Wattpad setiap pkl 12.00 WIB. Dan ada satu cerita yang aku update di KaryaKarsa:
1. Pernikahan Warisan "Senin, Rabu, & Jum'at"
Untuk di KaryaKarsa bakal gratis kok ya. Berbayarnya ntar pas udah tamat. Jadi sekarang, selamat membaca cerita Esy dan Farrel :)
*
"Farrel!"
Satu seruan pecah di udara. Berasal dari ambang pintu. Di mana ada seorang bocah perempuan berkuncir dua berdiri dan melambaikan tangannya.
"E-Esy?"
Semua mata memandang pada titik yang sama. Bocah perempuan itu tersenyum lebar dan melangkah masuk tanpa ada keragu-raguan sama sekali.
"Ibu, permisi. Aku boleh makan sama Farrel kan?"
Bocah perempuan itu tidak langsung menuju meja yang ia tuju. Alih-alih ia menghampiri guru yang ada di sana terlebih dahulu.
"Aku nggak nakal. Aku sudah cuci tangan. Coba deh Ibu cium."
Sang guru tersenyum kaku ketika mendapati tangan mungil itu terulur ke depan hidungnya. Tak urung membuat ia mengendus aroma di sana. Wangi segar lemon menyeruak di indra penciumannya.
"Esy pintar. Selalu cuci tangan sebelum makan."
"Jadi aku boleh makan sama Farrel kan, Bu?"
Sang guru melihat ke ambang pintu. Ada rekan kerjanya yang tampak menatap Esy tak berdaya. Ia sudah berusaha untuk melarang Esy pergi, tapi bocah perempuan itu selalu punya cara untuk kabur.
"Tapi, ini kan bukan kelas Esy, Sayang. Setiap murid harus makan di kelasnya masing-masing."
Sang guru mencoba untuk membujuk. Mungkin saja kali ini mereka bisa memberikan pengertian untuk Esy. Karena jelas ini bukanlah kali pertama Esy melakukan hal yang serupa.
Bernama lengkap Esy Handayani, semua guru di TK Mentari Bunda mengenalnya dengan baik. Terlepas dari wajah imut, rambut keriting menggemaskan, dan keceriaan yang ia miliki, ada satu sifat yang membuat mereka geleng-geleng kepala. Yaitu, Esy selalu ingin makan bersama dengan Farrel.
"Kalau begitu," ujar Esy dengan wajah polos. "Apa aku pindah kelas, Bu?"
Guru Esy akhirnya masuk. Seraya menarik udara dalam-dalam, guru yang bernama Arina Puspita itu menghampiri Esy. Dengan sengaja merendahkan tubuh sehingga ia dan Esy berada dalam tinggi yang sejajar.
"Esy nggak bisa pindah kelas, Sayang. Kelas ini kan sudah penuh."
Bibir Esy mengerucut. Tampak menggemaskan, tapi bocah itu terlihat sedikit kesal. Cemberut dan berkata.
"Kalau begitu pindahkan satu murid di sini ke kelas A, Bu. Biar aku bisa pindah ke kelas B."
Bukan hanya Arina yang lantas memejamkan matanya dengan dramatis. Alih-alih guru kelas B yang bernama Sasi Saraswati itu pun refleks melakukan hal yang serupa.
Tidak mengherankan bagi kedua orang guru itu. Mereka memang menyadari bahwa Esy adalah bocah yang tergolong pintar. Hingga kerap kali membuat mereka kehabisan kata-kata untuk membujuknya.
"Jadi bagaimana, Bu? Aku boleh pindah ke kelas B atau aku boleh makan sama Farrel?"
Arina dan Sasi saling pandang. Hanya bisa membuang napas panjang ketika Esy memberikan pilihan yang sudah bisa mereka tebak.
"Tapi, jangan ganggu teman-teman yang lain ya, Sy?"
Esy tersenyum cerah. Mengangguk dan memeluk erat bekalnya dengan riang gembira.
"Aku nggak ganggu teman-teman, Bu. Aku cuma mau makan dengan Farrel," kata Esy cepat. "Terima kasih, Bu."
Untuk yang kesekian kalinya, Arina dan Sasi menyerah lagi pada bujukan dan kecerdikan Esy. Tak bisa melakukan apa-apa ketika Esy langsung bergegas meninggalkan meja guru.
Esy berjalan cepat. Menuju satu meja di mana ada seorang bocah laki-laki yang melihat tanpa daya padanya.
"Farrel!"
Esy menaruh bekalnya di meja. Ia tersenyum senang ketika wajah di depannya itu justru menampilkan ekspresi sebaliknya.
"Farrel!"
Sang pemilik nama menatap malas pada Esy. Mengabaikannya, ia membuka kotak bekalnya. Bersiap untuk makan ketika namanya kembali diserukan dengan cara yang sama.
"Farrel!"
"Apa, Sy?"
Pada akhirnya bocah laki-laki yang bernama Farrel Anantara itu menyerah. Daripada ia harus mendengar Esy terus-menerus menyerukan namanya, ia memutuskan untuk menanggapinya.
Esy tersenyum dengan lebih lebar lagi. "Aku mau duduk."
Wajah Farrel tampak manyun. Tapi, ia tetap berkata.
"Kalau mau duduk, ya duduk saja. Tapi, jangan teriak-teriak. Katanya kamu nggak ganggu teman-teman."
Mata Esy mengerjap berulang kali. Ia melihat seisi kelas.
"Teman-teman, aku minta maaf."
Farrel memejamkan mata. Merasa malu. Tapi, Esy menepuk pundaknya sekali.
"Apa?"
"Geser."
Cemberut di wajah Farrel semakin menjadi-jadi. Tapi, ia tidak bisa berbuat apa-apa selain menggeser duduknya. Memberikan tempat seadanya agar Esy bisa duduk di sebelahnya.
"Makasih," kata Esy seraya melihat Farrel. "Kamu memang selalu baik sama aku."
Farrel diam saja. Alih-alih membalas perkataan Esy, ia memilih untuk mulai menikmati makanannya.
"Wah! Hari ini kamu bawa ayam goreng? Mama masak ayam goreng?"
Baru saja Farrel akan menikmati suapan pertamanya, tapi suara Esy kembali terdengar. Ia bahkan mencondongkan tubuh demi bisa melihat isi kotak bekal Farrel.
"Aku boleh minta, Rel?"
Apa Farrel bisa melarang? Bahkan belum sedetik permintaan itu Esy ucapkan, tapi tangannya sudah mengambil paha goreng itu. Dengan suka cita memindahkannya pada kotak bekalnya sendiri.
Farrel melongo. Melihat nasi di kotak bekalnya yang sekarang hanya ditemani oleh brokoli, wortel, dan kacang polong.
"Karena aku minta ayam goreng kamu, jadi ini untuk kamu."
Posisi kosong di kotak bekal Farrel segera terisi dengan beberapa ekor udang goreng. Dalam jumlah yang banyak hingga nyaris menutupi semua permukaan kotak bekalnya.
"Pagi tadi Mama masak sebelum ke kantor. Kamu coba. Enak loh," kata Esy. "Rasanya pasti sama enak dengan ayam goreng Mama."
Farrel berpaling. Ia diam saja ketika kata-kata Esy membuat ia bingung.
Mama. Mama. Entah Mama yang mana yang Esy maksud. Itu karena Esy pun memanggil ibu Farrel dengan sebutan yang sama. Tak tahu sejak kapan, tapi hal itu sudah menjadi kebiasaan Esy.
Sesuatu yang sebenarnya cukup mengganggu Farrel. Tapi, apa boleh buat. Ibu Farrel tidak keberatan sama sekali dipanggil dengan seakrab itu oleh Esy.
"Selamat makan, Rel."
Farrel hanya mengangguk sekilas. Membalas perkataan itu walau dengan manyun dan suara lirih.
"Selamat makan."
Balasan itu membuat Esy mengulum senyum. Ia mulai menikmati makannya seraya sekali-kali melirik Farrel.
"Farrel!"
Farrel tidak menoleh. Hanya mendehem singkat.
"Ehm?"
"Abis makan ... gimana kalau kita mau ayun-ayunan?"
"Nggak mau."
Esy mengerucutkan bibirnya. "Kenapa?"
"Abis makan nggak boleh langsung main. Nanti perut kita sakit."
Cemberut Esy menghilang. Ia mengangguk. "Jadi ... abis makan kita mau ngapain?"
Farrel mengerutkan dahi. Ia berpaling dan melihat pipi Esy yang menggembung berisi nasi.
"Apa kita menggambar? Apa kita belajar menulis?"
Untuk sejenak, Farrel tidak langsung menjawab pertanyaan bernada tawaran itu. Alih-alih ia hanya membuang napas panjang.
"Abis makan ... bukannya kamu harus kembali ke kelas kamu ya?"
Pundak Esy jatuh. Wajahnya tampak lemas ketika ia nyaris menghabiskan isi bekalnya.
"Farrel," lirih Esy kemudian. "Bagaimana kalau kamu saja yang pindah ke kelas aku?"
*
bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top