3. Apa yang Terjadi
"Ada yang salah dari otak gue, ngapain gue mikirin dia."
- Ralion Arguby Permana-
💕💕
Arguby berjalan berdua dengan Daniel. Sekolah sudah sangat sepi. Lima belas menit yang lalu, bel pulang sekolah sudah berbunyi, tanpa menunggu waktu lama siswa berhambur keluar saat sang guru mengakhiri kelasnya. Berbeda dengan Arguby, yang memilih tetap di kelas hanya untuk melihat halaman belakang sekolahnya, yang terlihat jelas dari lantai dua gedung itu.
Langkah Arguby terhenti ketika kupingnya mendengar samar-samar suara orang yang tengah bercakap dan lebih ke arah berdebat. Bahkan disela-sela ocehan dari Daniel, Arguby sangat jelas mendengarnya.
"Apa? Dia suka sama lo? Lo gila?" ucap Daniel mengakhiri ocehannya.
Ia menyadari bahwa Arguby menghentikan langkahnya, sehingga tertinggal sekitar satu meter di belakang. Cowok berambut ikal itu menoleh, mendapati sahabatnya yang sedang berdiri dan diam.
"Ngapain?" tanya Daniel bingung.
"Lo duluan deh," perintah Arguby.
"Ada masalah?" Indra pendengarannya kini sudah mendengar suara seorang cewek sedang berbicara. Tetapi, dia sama sekali tak mengindahkannya.
Arguby menggeleng, tanpa menoleh ke arah sahabatnya, kedua telinganya seperti sedang bekerja mencari sumber suara yang mengganggu alat pendengarannya itu.
"Buruan! Gue harus jemput Adik gue. Lo tau kan, kalo sampe telat semenit aja, bakal ngomel kayak ibu-ibu kontrakan."
"Iya, lo duluan." Arguby seperti lebih tertarik dengan percakapan yang kini terdengar semakin jelas di telinganya. Mungkin Daniel mendengarnya, tetapi tak mempermasalahkannya.
Bagi Arguby suara aneh, perdebatan bahkan suara semut pun bisa Ia dengar karena alat pendengarannya sangat sensitif.
"Oke." Daniel mengalah, meninggalkan sahabatnya yang masih berdiri di tempatnya.
Setelah punggung Daniel benar-benar hilang di belokan koridor arah lapangan parkir, perlahan langkah kaki Arguby bergerak. Mencari sumber suara yang didengarnya.
°°°
"Lova, aku nggak mau kamu cari masalah di sini," ucap laki-laki berambut kelimis, dengan balutan kemeja warna hijau tosca.
"Aku nggak cari masalah. Dia, dia yang cari masalah duluan, salah? Kalo aku mempermalukan orang seperti dia?" Siswa di depannya terlihat membela diri.
Laki-laki yang ternyata Mr. Hans menghela napas. memijat keningnya dengan penuh tenaga. Seperti memikirkan cara supaya gadis di depannya mendengar perkataan darinya.
"Dan juga, Arguby. Kamu harus menjauhinya, karena dia bakal bisa sangat berbahaya buat kamu," ujar Mr. Hans
"Arguby? Ah, cowok yang dingin itu? Kenapa?"
Mr. Hans menggelengkan kepala pelan.
"Yang paling penting untuk sekarang, kamu hanya harus sekolah sampai lulus lagi. Mengerti?"
Alova mengangguk paham. Ia sedikit berpikir dengan apa yang diucapkan Mr. Hans. Arguby mendengar semua percakapan itu dari balik tembok koridor yang hanya berjarak kurang dari lima meter sampai area belakang gedung sekolah.
"Kita berbeda dari mereka. Mereka hanya manusia lemah, yang selalu mencari masalah. Sedangkan kita, harus menyelesaikan misi agar bisa kembali ke sana," ucap Mr. Hans lagi.
Benar-benar ucapan yang membingungkan Arguby. cowok itu bermaksud mencerna semua ucapan guru Bahasa Inggrisnya, namun gagal.
💕💕💕
Arguby menjatuhkan tubuhnya tepat di atas tempat tidur. Kamar bernuansa biru tua itu terlihat sangat rapi, mungkin karena setiap hari asisten rumah tangga selalu merapikannya.
Tempat ternyaman di dunia adalah Kamar. Bagi Arguby, kamar yang berada di lantai dua rumahnya adalah tempat ter-aman untuk dirinya dari segala hiruk pikuk kota Jakarta.
Kamar yang sudah dinobatkan sebagai tempat paling sakral dan rahasia ini sangat dilarang dimasuki oleh orang asing. Tidak berlaku untuk Daniel, cowok itu tanpa rasa takut, masuk dan mengacak-acak kamar berukuran besar itu. Bahkan Daniel sering menginap di rumah Arguby ketika orang tuanya sedang berada di luar kota untuk bekerja.
Arguby tak pernah mempermasalahkannya, selagi barang kesukaannya tak disentuh oleh si manusia astral seperti Daniel.
"Misi? Misi apaan? Antara anak baru sama Mr. Hans." Arguby menatap langit-langit kamar, otaknya memikirkan semua percakapan yang di dengarnya di sekolah tadi.
"Buat apa gue peduli." Tangan Arguby meraih bantal dan meletakkan di atas wajah tampannya, menutupi kepala.
Tak selang beberapa lama, ia kembali mengambil bantal dan membuangnya di sembarang tempat. Menghela napas berat, raut wajahnya seolah masih berpikir dengan hal yang mengganggunya.
"Aish," gerutunya kesal. "Kenapa gue mikirin itu, dia cuma anak baru."
Arguby mengubah posisinya menjadi duduk. Mengambil kembali bantal yang dilemparnya dan dijadikan tumpuan kedua tangannya.
"Cewek aneh, nggak mungkin gue tertarik hanya karena dia di atap tadi."
Atap adalah tempat terlarang untuk siswa lain. Hanya Arguby dan Daniel yang bebas menggunakan atap sebagai tempat peristirahatan. Tidak ada seorang siswa pun yang tertarik dengan tempat di atas gedung itu. Karena menurut mereka panas, dan angker karena di sana ada sebuah gudang kecil yang digunakan untuk menyimpan barang yang sudah tak terpakai. Tetapi, bagi Arguby atap sekolah adalah segalanya.
"Kenapa dia berpikir untuk menangis di atap? Apa nggak ada tempat lagi?" Arguby bertanya-tanya.
"Aish." Lagi-lagi Ia menggerutu.
"Ada yang salah dari otak gue, ngapain gue mikirin dia," gumamnya lirih.
Hujan turun tiba-tiba. Terlihat sangat jelas turun ke balkon kamar bernuansa biru tua itu melalui jendela dan pintu yang terbuat dari kaca. Karena memang gorden yang biasa menutupinya masih terbuka lebar. Raut wajah Arguby berubah. Terdapat rasa kekhawatiran di sana.
"Kenapa tiba-tiba ujan?" tanyanya lirih.
Arguby menatap kosong ke arah jendela. Meneliti air hujan yang kini semakin deras jatuh ke balkon kamarnya yang mungkin sudah basah. Bahkan angin bertiup masuk melalui celah pintu balkon yang sedikit terbuka. Suara petir kini bersenandung di langit abu-abu itu keluar bersama gemuruh angin, menyambut datangnya sore hari di kota Jakarta.
Seseorang membuka pintu kamarnya. Muncul seorang wanita tua, berumur sekitar enam puluh empat tahun. Rambutnya digelung membentuk sebuah konde. Wajahnya tampak sangat khawatir. Akan tetapi, seketika Ia menghela napas lega, saat mendapati Arguby masih di atas tempat tidurnya.
"Tuan muda ndak apa-apa?" tanyanya dengan logat jawa kental.
Arguby melempar pandangannya, kini menatap wanita tua yang merupakan asisten rumah tangganya. Sebut saja Mbok Tum, Arguby biasa memanggilnya dengan sebutan itu. orang yang paling Arguby percaya dibandingkan kedua orang tuanya dan juga kakak semata wayangnya.
Arguby menatapnya lekat. Seperti minta pertolongan kepada wanita yang kini sangat mengkhawatirkannya. Benar, dia adalah orang yang selalu datang pertama kali saat hujan turun, dengan raut wajah penuh kekhawatiran, dia yang menenangkan Arguby ketika tuan mudanya sedang ketakutan.
Arguby mengangguk pelan. Tetapi, tiba-tiba menenggelamkan kepala diantara kedua kaki yang sudah tertekuk. Tubuhnya bergetar hebat, kedua tangannya saling berpegangan erat.
Arguby menangis ...
Bersambung.....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top