19. Tetap Bersamaku
Arguby melajukan mobilnya dengan kencang. Berhenti tepat di pelataran apartemen Alova. Gadis yang akan ditemuinya sudah menunggu di depan pintu lobi utama.
"Masuk!" perintahnya dengan hanya menurunkan kaca mobil. Tanpa ba-bi-bu Alova masuk dan mengambil posisi duduk di kursi penumpang yang berada di depan.
"Ada apa sebenernya?" Alova penasaran.
"Kak Attar pergi dari rumah." Jawaban Arguby langsung mengagetkan Alova.
"Apa? Sejak kapan?"
"Kalo gue tau, ya nggak bakal gue ijinin lah," jawab Arguby ketus.
"Ish," desis Alova.
Arguby menelusuri jalanan kota sore itu. Matanya tak hanya fokus pada jalanan di depannya, namun di sepanjang trotoar.
"Tapi, nggak mungkin dia jalanan kaki." Tiba-tiba Arguby membawa mobilnya ke samping kiri.
"Biasanya dia di mana?" tanya Alova penasaran.
"Gue tau." Arguby memutar mobilnya, menuju gerbang tol kota.
"Kita mau kemana?" Alova bingung.
"Kakak pasti di villa," tebak Arguby pasti.
"Villa? Tapi___" Alova mencoba mencegah, namun Arguby dengan kencangnya melajukan mobil miliknya.
Langit jingga kini telah berubah menjadi gelap. Jalanan menanjak, menurun bahkan menikung sudah dilalui oleh Arguby. Alova sudah tertidur di tempatnya. Arguby yakin kalau Attar akan berada di villa milik orang tuannya.
Tepat pukul 22.00 WIB, keduanya telah sampai di puncak. Pelataran sebuah villa besar menandakan tak ada penghuni di dalamnya, walaupun beberapa lampu menyala sebagai penerangan.
"Tuan Arguby," sapa seorang laki-laki paruh baya yang tiba-tiba datang diantara kedua remaja itu.
"Mang Ujang." Alova bernapas lega, karena Arguby mengenalinya. Ujang adalah penjaga villa orang tua Arguby.
"Tumben sekali Tuan teh ke sini?" Logat sunda Ujang sangat kentara.
"Iya," jawab Arguby sopan. "Apa Kak Attar ke sini?"
"Tuan Attar?" Ujang sedikit berpikir. "Tidak Tuan," jawabnya pasti.
"Mang yakin?" Arguby memastikan. Ujang hanya datang di malam hari. Siang harinya dia berkebun.
"Yakin," jawab Ujang pasti.
Arguby menatap Alova.
"Tuan, silakan masuk." Ujang memandu keduanya berjalan menuju pintu utama villa itu.
"Tapi, mohon maaf Tuan, saya teh harus pulang. Si bungsu lagi sakit, nanti saya minta si Deden ke sini." Deden adalah anak pertama Ujang yang biasa menggantikan ayahnya berjaga di villa.
Sesampainya di dalam, Ujang membuatkan minuman untuk tuan mudanya. Arguby dan Alova menunggunya di ruang tamu.
"Jadi, gimana? Kita langsung balik aja?" tanya Alova memastikan.
"Aduh, jangan pulang malam-malam Tuan, lagi rawan banget di jalanna teh. Banyak begal, yang nyamar minta tumpangan."
Alova dan Arguby saling bertatapan. "Gimana?" Arguby berucap hanya menggerakkan bibirnya.
Alova hanya mengedikkan bahu tak mengerti. Ujang meletakkan dua gelas teh manis dan disajikannya di depan Alova dan Arguby.
"Iya, mending besok pagi-pagi aja balikna, bahaya pisan." Ujang memberi saran.
"Oke, malam ini kita di sini dulu, besok pagi-pagi banget kita balik ke Jakarta." Biru memberi pernyataan.
"Kamarnya sudah rapi, saya bisa pulang sekarang?"
Arguby mengangguk. "Ah, Deden nggak perlu ke sini Mang," ucap Arguby.
"Oh begitu? Baik Tuan." Ujang pun permisi pergi.
Alova menghela napas. Rasa lelahnya terbayar ketika dia terbebas duduk di sofa yang sangat empuk dan nyaman.
"Kak Attar dimana, sih?" Arguby merebahkan tubuhnya di sofa yang sama untuk Alova duduk.
"Kenapa lo yakin banget, dia bakal ke sini?" Pertanyaan Alova berhasil membuat Arguby menoleh.
"Dia selalu ke sini, setiap ada masalah." Arguby menerawang.
Alova diam, ia mengerti.
"Apa perkataan Mr. Hans semuanya benar?" tanya Arguby secara tiba-tiba.
"Heh." Alova menoleh.
Tanpa menoleh, Arguby kembali berbicara. "Tentang Audy."
Alova menghela napas lirih. Ia mengikuti Arguby dengan bersandar di sofa itu.
"Benar," jawab Alova membenarkan. "Ada sebuah peraturan di dunia kita. Jika, seorang manusia ingin bahagia sebelum hari kematiannya, malaikat berhak mengabulkannya. Namun, jika hari yang sudah dijanjikan tiba, bagaimanapun caranya agar manusia itu meninggal, walaupun dengan cara yang tragis." Alova menjelaskan.
"Jadi." Arguby mencoba mencerna ucapan Alova.
"Audy memilih jalan itu, dia ingin bahagia bersama orang-orang yang disayanginya, dia ingin hidup lebih lama dengan mereka. Tapi, manusia tak boleh serakah hanya karena cinta."
Suara air hujan tiba-tiba menyapa keduanya. Alova segera mengubah posisinya. Melihat tangan Arguby yang sudah mengepal dan juga bergetar. Gadis itu meraih tangan besar milik Arguby, memegangnya erat.
"Lo harus sembuh," ujar Alova lirih.
Suara guntur menyambut kedatangan keduanya di kota Bogor. Arguby menepis tangan Alova. Ia menggunakan tangannya untuk menutupi kedua telinga, menelungkup kan kepala di sela-sela kakinya yang sudah ditekuk.
"Arguby, ada gue." Alova mencoba menyadarkan Arguby.
"Kenapa? Kenapa lo ninggalin gue!" gumam Arguby lirih. "Gue nggak seharusnya ninggalin lo."
"Arguby!" Alova mencoba menyadarkan cowok itu. "Arguby!" teriak Alova kencang. "Lihat gue!" Dengan kekuatannya Alova berhasil mengubah posisi Arguby, air mata cowok itu sudah membasahi pipi.
"Lihat gue." Alova memegang kedua lengan Arguby dengan erat. "Bukan salah lo," ujarnya lirih. "Ini pilihan hidup dia. Lo harus sadar."
Arguby menggelengkan kepala, tenaganya hampir habis. Ia terlihat sangat lemah. "Semuanya salah gue."
Alova menggeleng. "Bukan," jawabnya tegas.
"Ini semua salah gue." Arguby terus merutuki dirinya sendiri.
"Arguby! Sadar!" Alova berteriak. Cowok itu terdiam, lagi-lagi air matanya jatuh tanpa persetujuan. Alova memeluknya erat.
"Gue bakal buat lo sembuh, gue janji!" Alova bertekad.
Napas Arguby memburu. Ia mencoba mengatur napasnya. Memeluk Alova sangat erat.
"Tetap di sini, tetep sama gue di sini," ucap Arguby lirih.
Alova mengangguk dalam dekapannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top