14. Kerja Sama
Mentari pagi begitu cerah hati itu. Alova tengah menikmatinya di atap, sejak pembicaraannya dengan
Arguby tempo hari. Hubungannya semakin menjauh. Berkali-kali Arguby menghindari Alova, saat di kelas maupun di luar kelas.
Alova menghirup udara pagi, memejamkan matanya, seraya tersenyum.
"Selalu suka sama udara pagi hari." Alova membuka matanya perlahan.
"Benar, hari ini gue harus buktiin ke Arguby. Dia nggak bisa terus-terusan menghindar dari gue."
Alova berniat kembali ke kelas, namun baru beberapa langkah, ia bertemu dengan Arguby.
"Guby," panggil Alova lirih.
Arguby terdiam, ia hanya menatap Alova datar.
"Jangan menghindar seperti itu," ucap Alova.
"Gue nggak menghindar, gue cuma nggak mau sama gilanya kayak lo."
"Oke, gue tunggu nanti jam istirahat di sini. Gue bakal buktiin semua ke lo hari ini."
Tak ada jawaban dari Arguby. Alova melangkah pergi.
Jam pelajaran dimulai. Arguby seperti biasa, tidur di dalam kelas. Pelajaran matematika berlangsung dengan rasa pusing karena rumus-rumus yang bertebaran di papan tulis. Sampai akhirnya jam istirahat berbunyi. Seakan semuanya ambyar dari pikiran siswa. Mereka berhambur keluar kelas untuk membuang kepenatan.
Alova segera meninggalkan mejanya.
"Alova, kita ke__" Suara Daniel mengecil ketika orang yang ditujunya tak menanggapi. "Aneh banget," ucap Daniel bingung.
Arguby menoleh ke arah sahabatnya.
"Jadi, kan? Traktir gue." Daniel memastikannya kepada Arguby.
Cowok itu memang berjanji akan mentraktir Arguby karena dia memenangkan pertandingan futsal tingkat SMA.
"Iya, gue traktir lo sampe kenyang." Arguby bangkit. Ia berjalan dengan diikuti Daniel di belakangnya.
Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Berjalan melewati koridor sekolah yang sudah sangat ramai oleh siswa-siswi yang menghabiskan waktu istirahat mereka dengan bergosip dan ada juga yang belajar di taman.
"Arguby." Seseorang memanggil nama itu, si pemilik otomatis langsung menoleh.
"Cewek lo lagi kenapa? Jalan buru-buru, ke atap bawa cutter." Dia adalah Nico anak kelas dua belas yang merupakan sohib Attar.
"Heh." Arguby kaget. Ia mengingat ucapan Alova yang akan membuktikannya hari ini.
"Bahaya, lho! Cewek cantik mainannya cutter."
Sepeninggalannya Nico, Arguby panik. Ia merogoh saku seragam OSIS dan menyodorkan uang seratus ribu kepada Daniel.
"Apaan, nih?" tanya Daniel bingung.
"Lo makan sendiri, gue nyusul." Arguby bergegas untuk pergi meninggalkan Daniel.
Langkah Arguby semakin cepat, ia melewati satu anak tangga untuk mencapai anak tangga berikutnya. Menuju atap dengan melewati beberapa pasang mata yang menatap dirinya bingung. Wajah Arguby terlihat sangat jelas bahwa ia sedang dalam rasa khawatir.
Arguby membuka pintu atap, dengan napas ngos-ngosan. Mendapati Alova yang membelakangi dirinya.
"Terserah lo mau bilang kalo lo bukan manusia, mau lo alien, mau lo malaikat, gue nggak peduli!" seru Arguby, mencoba mengatur napasnya yang sedikit memburu.
Alova menoleh, melihat Arguby sedang berjalan ke arahnya. "Arguby," ucapnya lirih.
"Jangan pernah bikin gue khawatir kayak gini. Mungkin gue udah gila, percaya kalo lo bukan manusia. Tapi, tolong jangan pernah sakiti diri lo, hanya cuma mau buktiin hal konyol kayak gitu."
"Tapi___" Suara Alova tercegat.
"Apa yang bakal lo lakuin dengan cutter ini? Hah!"
Alova membuka cutter di tangannya dengan menyeretnya ke atas.
"Lo gila!" teriak Arguby panik.
Alova menggoreskan cutter miliknya tepat di lengan kirinya. Darah muncul, Arguby segera menepis cutter itu sehingga terlempar ke bawah. Ia memeluk Alova erat.
"Gue bilang, jangan sakiti diri lo sendiri." Arguby memeluk Alova erat.
Alova tersenyum dalam pelukannya, mencoba melepas pelukan itu dan menyodorkan tangan tadi yang sudah dilukainya dengan cutter.
"Lihat," ujar Alova lirih.
Arguby terkejut, tak ada darah di sana, tak ada bekas luka dan juga kulitnya terlihat masih mulus. Jelas, baru saja ia melihat Alova melukai dirinya sendiri.
"Alova," ucap Arguby lirih.
"Lo percaya?"
Arguby memundurkan langkahnya, tubuhnya sedikit bergetar.
"Lo bener-bener bukan___"
Alova mengangguk.
Keduanya duduk menghadap arah yang sama. Terdiam, dan hanyut dengan perasaan masing-masing.
Arguby terlihat jelas tengah berpikir keras.
"Aishh," gerutunya memecah keheningan. "Kenapa lo dateng di hidup gue?" ujarnya kesal.
"Maaf," jawab Alova lirih.
"Kenapa lo, ada di dunia ini?"
Alova tak menjawab. Ia terdiam dan hanya menunduk.
"Kenapa lo ada di dunia ini? Dan kenapa harus di hidup gue?" Arguby menuntut meminta jawaban.
"Gue harus menyelesaikan satu misi terakhir gue, supaya bisa kembali ke dunia gue."
"Misi? Ah, misi terakhir?"
Alova mengangguk.
"Gue harus menemukan dan bersatu dengan cinta sejati gue. Pria yang benar-benar mencintai gue dengan tulus. Pria yang ikhlas melepas kepergian gue nanti."
Arguby tersenyum simpul. "Mana ada orang seperti itu," ujarnya.
"Benar, maka dari itu. Gue harus mencarinya, dalam waktu lima bulan ini."
"Lalu kalo lo nggak menemukan pria itu, apa lo akan tetap ada di sini."
Alova menggeleng pelan. "Gue bakal lenyap. Dari dunia ini maupun di kayangan."
"Apa?!" Arguby tak percaya.
"Itu hukumnya."
Arguby memejamkan matanya sekilas, lalu beralih menatap Alova yang tengah khawatir. Memainkan jemarinya untuk menutupi rasa khawatir itu. Perlahan Arguby menggenggam tangan Alova.
"Kasih gue satu permintaan buat gue kabulkan. Sisa permintaan yang lo punya buat gue."
Alova menoleh, menatap Arguby tak percaya. Cowok itu hanya mengangguk mengiyakan.
"Apa lo mau bantuin gue? Menyelesaikan misi terkahir itu?"
"Oke, gue bakal bantu lo." Arguby setuju.
Alova sedikit lega.
[[]]
Setelah bel pulang berbunyi, hanya ada Arguby, Alova dan Daniel yang masih di dalam kelas. Arguby memainkan pulpen di tangannya dengan diketuk-ketukan di atas meja.
"Ada apaan, sih?" Daniel bingung. "Kalian mau jadiin gue obat nyamuk di sini?"
Wajah Arguby tampak sangat serius.
"Niel," panggil Arguby tegas.
Daniel tersenyum, ia tak bisa menebak apa yang akan dikatakan Arguby. Pasalnya, baru kali ini dirinya melihat Arguby seserius itu.
"Serius, lo nggak kayak biasanya. Ada masalah?"
"Siswa VIP, lo termasuk di antara mereka, kan?"
Daniel terlihat terkejut. Ia menatap Arguby yang masih memalingkan wajahnya.
"Guby," ujar Daniel ragu.
Arguby mengangguk pelan. "Kenapa? Apa karena orang tua kita bersahabat?"
"Tidak," sela Daniel malu. "Maaf."
"Nggak, lo nggak salah." Arguby menatap Daniel. "Ada yang nggak beres dari bisnis bokap gue."
"Arguby, jangan menyalahkan bokap lo, itu atas kemauan bokap gue."
"Tapi, itu hal yang buruk, Niel," timpal Alova.
"Gue tau, tapi___"
"Gue bakal mencari tahu kasus ini," ujar Arguby tegas.
"Gue bakal bantuin lo." Alova menawarkan diri.
Kedua pasang mata tengah menatap Daniel. Cowok itu kembali menatapnya secara bergantian.
"Gue bakal bantu kalian," ujar Daniel.
Arguby mengangguk. Ia sangat tahu bahwa sahabatnya tak mungkin berbuat hal yang buruk, jika bukan karena orang tuanya.
Orang tua Daniel memang menuntut dalam hal nilai pelajaran. Mereka menghalalkan segala cara agar bisa menjadikan Daniel yang terbaik dan bisa masuk ke universitas yang bagus.
"Oke, Kak Attar bakal membantu kita," tukas Arguby. "Sore ini kita kumpul di apartemen Alova."
"Heh." Alova kaget. "Kenapa harus di tempat gue?"
"Hei, nggak mungkin di rumah gue atau di rumah Daniel. Bakalan sia-sia rencana kita." Suara Arguby sedikit kencang.
Alova menghela napas mengalah.
Ada sepasang telinga yang mendengar percakapan mereka dari balik pintu kelas, dialah Bella
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top