008 cerita-cerita yang ditinggalkan dewa

Dear Vocalist © Rejet
case: Joshua/Yumehara Rinne

Kamisama no Inai Nichiyoubi!AU © Irie Kimihito

happy birthday, joshua!

.

Barangkali pertanyaanmu terdengar begitu menuntut, tetapi nada bicara yang dikeluarkan olehmu begitu lembut―murni oleh rasa ingin tahu. "Kenapa menyelamatkanku?"

Ada jeda panjang yang menghampiri kalian, cukup untuk memberikan detik-detik termangu oleh senja. Di antara puing-puing reruntuhan yang telah ditinggalkan, di hadapan kalian adalah makam yang bertuliskan namamu, sudah lama dengan debu tanah yang mengotori nisannya.

Itu hanyalah sisa-sisa harapan yang dibuat dari nestapa detik-detik kematianmu, sebuah ruang waktu yang berulang kali berputar dalam tenteram. Lantas, suatu kebetulan semata terkabul begitu saja oleh Dewa pada hari terakhirnya di dunia. Untukmu diselamatkan, dikeluarkan dari dimensi yang rusak, tak pernah sekalipun kau bayangkan. Tak sanggup kau bayangkan. Karena, hidupmu sejatinya sudah berakhir. Yang tersisa hanyalah hantu gentayangan dari masa lalu, berkeliaran tak tentu arah.

Namun, untuk dunia yang telah ditinggalkan Dewa, barangkali pula aturan-aturan logika pun ikut kacau-balau ketika kau masih menginjak dunia. Maka, kali ini kau bertransformasi menjadi zombi dan kembali mewujud. Zombi penasaran, bila ingin menyebut.

"... itu ...." Ucapannya melirih, ragu. Kau mendapatinya menggenggam semakin erat sekop di tangan, satu-satunya bukti pengingat ia adalah Penjaga Makam yang mengantar manusia menuju kematian. "... aku hanya ingin."

Tanpa bermaksud menyindir, kau tertawa. "Terdengar manusia sekali, ya."

Yang bahkan terlalu canggung untuk didengar―manusia dan Penjaga Makam. Tak ada manusia yang dapat melenyapkan jiwa, tak ada pula Penjaga Makam yang memiliki gejolak emosional membara. Lantas, ia tak pernah cocok di mana pun hidupnya berada.

Sama sepertimu.

"Begitu, kah?" Namun, sama sepertimu pula, barangkali ia terus bertanya-tanya akan identitas dirinya seorang. "Apa sejatinya kau ingin tetap mati?"

Sekarang, gantian kau yang bungkam. Mengingat kembali tentang cerita-cerita yang telah ditinggalkan di masa lampau.

"Bagaimana jika kalau aku ingin mati?"

"Kalau begitu, akan kulakukan tugasku sebagai Penjaga Makam."

"Meskipun kau baru saja menyelamatkanku?"

"Itu adalah garis yang tidak boleh kulewati―sok tahu tentang kenyataan hidup dan mati."

"Kedengarannya, tidak seperti Putri Egois sama sekali, ya," kau bergumam. "Untukmu, peduli dengan perkataan orang lain."

Dari yang katanya mengaku sukar memahami orang lain, yang katanya hanya melakukan apapun demi dirinya seorang.

"Ini untuk diriku sendiri," jadi, ia mengelak. "Tidak menurutimu membuatku pusing."

Kau tertawa lagi. "Benar, ya."

Bungkam, lagi. Ah, hidup dan mati, ya? Bayang-bayangmu berputar oleh tubuh-tubuh yang telah membusuk, yang tak dapat mati begitu saja dengan Dewa yang telah tiada. Namun, kesungguhan atas akhir yang bahagia bagi sebagian dari mereka berusaha untuk terus hidup.

Meskipun dunia telah ditinggalkan Dewa, barangkali makna hidup dan mati tak pernah berubah. Tak pernah memudah.

"Rin," jadi, kau memanggil namanya. Seuntai panggilan kecil yang kau buat dalam pertemuan tak disengaja kalian. Rin. Rinne. Dan, ia menengok untukmu melanjutkan, "Apa kau berkenan untuk terus menulis?"

"Hanya itu yang dapat kulakukan di antara waktu senggang, kan?"

"Begitu." Kau tersenyum. "Kalau begitu, aku akan menanti untuk membacanya lagi."

"Apa." Gantian, ia yang tertawa. Hampa, penuh cemooh. "Meskipun itu hanya penuh fabrikasi, idealisme tentang hidup dan mati?"

Kau mengingatnya ia berkata demikian sekali. Itu hanya rekaan, barangkali romantisasi. Kisah-kisah konyol yang barangkali pula menuai amarah jiwa yang telah pergi sebab tak layak untuk dihormati.

Namun, mulutmu berkata, "Hanya itu yang dapat kulakukan, kan?"

Seolah tak dapat berbohong telah menemukan harapan-harapan yang tak pernah sampai, abadi dalam imaji.

"Ada banyak hal." Ia menelengkan kepala, cukup membuat anak-anak rambutnya menghalangi wajah. "Dan, jangan meniru ucapanku."

Kau spontan mendengkus geli.

"Kalau begitu, kuralat. Hanya itu yang kuinginkan, kan?" Kau mengerjap. "Rin, setidaknya kalau begini juga kau bisa menurutiku, kan?"

"Uwah." Ia menggerutu. Lantas, kau melihat alisnya menukik, disusul netra dwiwarna yang kembali bersinar. Dan, kau mengakui dalam benakmu untuk ingin melihatnya lagi dan lagi. "Itu tidak adil―ah, tetapi aku tidak punya hak untuk bisa menyangkal hal itu ...."

Sejenak, kau terusik untuk kembali menarik. "Sebagai gantinya, hmm ... apa, ya ...? Ah. Aku akan terus menyanyikan lagu untukmu?"

"Apaan, sih ...."

"Tidak apa-apa, kan?"

Karena, di sisa-sisa cerita yang ditinggalkan oleh Dewa, kau ingin terus bersamanya.

Dan, kau merasa, itu mengurai alibi untukmu berjuang memperpanjang napas kembali, di antara hidup dan mati yang mengabur.

("Joshua."

"Ya?"

"... tidak, hanya ingin memanggil namamu."

"... Rin lucu sekali, ya.")

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top