5
BAB 5
...
Matahari mulai menampakan diri. Gadis itu sedang bersiap memulai hari. Ia menguncir rambutnya tinggi-tinggi. Agar helaiannya tidak lari-lari saat diterpa angin pagi.
Mematut diri di depan cermin. Hari ini ia memakai pakaian seperti biasa. Kaos putih panjang dan skinny jeans belel. Tak lupa dilapisi dengan cardigan tanpa lengan. Agar terlihat sopan. Dan tidak dikomentari lagi oleh Widi.
Kamarnya serba merah muda, agar terlihat awet muda. Ada poster sang idola, mejeng di dinding dekat ranjang. Yesung Super Junior. Warnanya hitam putih, sangat kontras dengan dinding kamarnya. Ada kembang besar di bahu kanannya. Posenya sangat menggoda, dengan mata krinya yang agak tertutup poni. Ah, sudahlah membicarakan poster itu takkan pernah ada habisnya. Karena sang model terlampau mempesona di mata Selenia.
Gadis itu menghidupkan motornya setelah memakai Helm. Kemudian motorpun melaju membelah jalanan kota kembang. Hanya butuh waktu tiga puluh menit, ia telah sampai di kampus tercinta. Flat shoes-nya menapaki pelataran kampus, menyusuri selasar hingga sampai di kelasnya yang di lantai 2.
Matanya melirik asik ke sekitar, mencari sesuatu yang menarik. Dan iapun mendapati pria berkaos merah sedang membaca mading dekat kelas. Iapun menghampiri pria itu, dan menepuk pundaknya.
"P-pak Kosma." Pria itu memutar tubuhnya menghadap Selenia. Tersenyum lembut saat menyadari yang menghampirinya adalah salah satu penghuni kelasnya. "Ada apa?"
"Itu, aku mau itu, apa ya? Oh, iya mau minta surat izin. Boleh minta nggak?" Gadis itu gugup. Selalu seperti ini jika berhadapan dengan orang lain. Telapak tangannya lembab tiba-tiba.
"Surat izin? Bentar, aku mau cek dulu. Kemaren ada yang minta juga." Pria itu merogoh tasnya. Selenia bergeming, menunggu pria mungil itu mengubek-ngubek isi tasnya.
Ia memperhatikan pria itu, namanya Aryan. Kecil, mungil, imut. Senyumnyapun kekanakan. Kenapa teman sekelasnya menujuk pria ini menjadi Kosma? Ah, Selenia lupa sebuah pepatah 'Jangan menilai seseorang dari sampulnya'. Pasti ada alasan logis dibalik semuanya.
Aryan menyerahkan selembar kertas pada Selenia. Senyum kekanakan masih terukir di sana. Ah, Selenia tiba-tiba gemas ingin mencubit. Tapi, tidak sopan. Bagaimanapun ia adalah pemimpin di kelasnya. Jangan asal cubiit. Kasian. Nanti keimutannya berkurang. Hihi.
"Makasih, Pak Kosma." Pria itu mengangguk imut. Selenia baru saja akan melangkah ke dalam kelasnya, tetapi terhenti saat tiba-tiba pria imut itu mengatakan sesuatu, sepertinya hampir kelupaan. "Eh, namanya siapa, ya? Aku mau data buat dikasihin ke panitia."
Selenia memutar tubuhnya lagi, menghadap pria itu dan menjajarinya. Ia mengulum senyum saat menyadari tinggi pria itu hanya sebatas telinganya. "Selenia Qiandra."
Pria itupun tersenyum imut lagi setelah selesai mencatat. "Sudah. Hehe. Maaf barusan kelupaan."
Selenia tersenyum maklum.
...
Tak pernah sekalipun ia berpikir untuk pindah tempat duduk selama kurang lebih dua bulan ia menjadi penghuni jajaran depan. Tetapi menyadari ia satu barisan dengan si pria jangkung tipis, ia jadi ingin pindah ke pojokan.
Ethan berdiri di sana, di dekat kursinya sendiri. Mungkin baru sampai juga. Ia memutar tubuh saat menyadari ada orang lain di sekitarnya. Ia tersenyum rapat, gusinya tidak terlihat. Lumayan manis. Sedikit tampan. Ethan melengkah dua kali untuk mendekat, wangi apel segar perlahan menguar. Tangannya ia masukan ke dalam saku celana. Agar kelihatan cool.
Hanya tersisa dua langkah lagi kini, Ethan menatap tajam menelisik, "Jadi, kamu bersedia jadi babu?"
Selenia terbeliak, mata bulatnya hampir saja lompat dari tempatnya. "HAH?!"
Ethan menggesek daun telinganya kasar, "Nggak usah teriak-teriak. Gua nggak budek kayak lo." Selenia cemberut, membanting kasar ransel hitam kulitnya, dan mendudukan dirinya di kursi tempat biasa. Ethan tertegun sesaat, lantas memasang ekspresi sok kerennya lagi.
"Kemaren kayaknya ada yang ogah-ogahan jadi babu. Pagi ini ujug-ujug minta surat izin."
Selenia mendengkus, kemudian menatap Ethan garang.
"Julid banget, sih."
Diam-diam Ethan mengulum bibirnya, menahan senyum.
"Ada angin apa, nih mau ikut PKM? Gara-gara liat Widi, ya kemaren?"
Gadis bermata bulat itu tertegun sesaat. Ya, ucapan Ethan memang benar. Semua gara-gara Widi. Ia makin jatuh hati ketika melihat Widi kemarin. Badan tegapnya yang berbalut jas almamater pas badan membuatnya terpesona. Selain itu, suaranya juga sangat menggetarkan hati. Selenia suka cara Widi berbicara. Luwes dan luas. Rasanya ia ingin terus-terusan mendengar suaranya. Iapun bertekad akan mengikuti semua acara yang ada Widi-nya.
Termasuk PKM ini.
Ethan terabaikan karena gadis itu asik melamun.
"Jadi?" Selenia tersentak mendengar suara Ethan. Agak ngebass tapi lembut. Iapun mendongkak dan mendapati Ethan yang tengah menunggu jawaban.
"Ikut PKM'kan belum tentu masuk BEM." Ethan menggaruk pipi, dan menunjukan cengiran khasnya. "Hehehe, bener, sih." Gusi itu terlihat kembali.
...
Malam menjelma. Selenia mempersiapkan hati untuk berbicara dengan Sang Mama tercinta. Di temani sebuah surat izin yang ia bawa, ia melangkah ke ruang keluarga. Di sana, ada Ayah dan Ibunya, serta Kakak perempuannya juga rombongan keponakannya. Padahal Selenia hanya memiliki 2 keponakan. Belum bisa disebut rombongan.
Ia duduk di sebelah kanan sang Ibu, lantas memijit lengan kanannya nikmat. "Aduh, pasti ada maunya." Selenia terkekeh geli sekaligus malu. Ah, Mama tahu saja kelakuan anaknya.
"Mah, aku mau ikut PKM. Kayak LDKS gitu di Sekolah. Diizinin, nggak?"
Wanita yang cukup beruban itu menoleh, mendapati raut wajah sang anak yang menatapnya penuh harap. "Nggak ada banjur-banjuran, kan?"
Selenia tertegun. Ia tidak tahu. Dan iapun lupa menanyakannya pada Widi, Aryan ataupun Ethan. Ia memilin ujung piyama hello kitty-nya. Menatap jempol kakinya lebih mengasikan daripada menonton drama rumah tangga ibu-ibu TKW di televisi.
"Selen." Suara lembut itu kembali menyapa. Membuyarkan lamunannya. Selenia menatap Sang Ibu sambil menelan salivanya diam-diam.
"A-aku yakin kok, Mah. Ini nggak bakal banjur-banjuran. Kan anak kuliah. Mahasiswa. Masa acaranya kayak siswa. Hahaha." Ia mencoba tertawa tapi sumbang terdengarnya.
"Mama enggak pengen kamu kenapa-kenapa, Nak." Mamanya pasti jadi ingat kejadian lima tahun lalu. Saat itu Selenia baru masuk SMP. Ia mengikuti LDKS, diakhir acara ia dan seluruh peserta disuruh pidato di tengah lapangan. Dan menjadi bahan tertawaan. Dari atas terasa ada air jatuh seember. 'Byur'. Mereka diguyur. Mendadak bukan hanya demam panggung yang ia rasakan. Tapi ia jadi demam sungguhan.
Sungguh kejam. Niat hati mendidik adik kelas. Tetapi malah membuat mereka ketakutan. Sebagian merasa kapok. Tidak ingin berdekatan atau mendengar kata OSIS lagi. Yang di terima masuk OSIS, berniat balas dendam pada adik tingkatnya yang selanjutnya.
Berbeda dengan Selenia. Sejak saat itu, ia malas berbicara di depan umum. Di depan siapapun. Takut ditertawakan lagi. Iapun mulai menarik diri dari lingkungan, karena sikap diamnya membuat orang-orang berburuk sangka. Ia tidak memiliki teman. Tidak satupun. Hanya dunia fangirl yang selalu mewarnai hari-harinya.
Wajar jika ia serimg gugup dan gagap ketika berbicara dengan orang lain. Tak ada yang berani mendekatinya sejak saat itu, bahkan pria. Itu sebabnya Selenia masih jomlo. Temanpun tak punya, apalagi pacar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top