4

BAB 4

Sesampainya di kelas, Selenia menemukan makhluk yang sedang cengar-cengir memandangnya. Gadis bermata bulat itu mengernyit, merasa salah kelas. Iapun keluar ruangan, dan memandangi label yang menempel di depan pintu. Manajemen Pendidikan Semester 2. Benar, ini kelasnya. Tetapi kenapa ada si pria senyum gusi itu di kelasnya?

Selenia kembali masuk ke kelas, dan mendudukan dirinya di jajaran terdepan. Ia menoleh ke kanan, dan mendapati Ethan tengah memandanginya sambil menopang dagu dengan tangan kirinya. Hari ini pria itu memakai kemeja biru kotak-kotak tanpa dikancingkan, dan dalaman kaus putih bergambar tengkorak. Gadis berkucir tinggi itu mendengkus.

Sejak kapan si pria kurus kering itu berada di dekatnya? Hanya dibatasi oleh satu kursi. Salahkan saja dirinya yang tidak pernah memperhatikan sekitarnya.

"Sel!"

"Seli!"

"Sela!"

"Dih, masih aja budeg," ucap cowok itu sewot. Selenia menarik napas dan mengembuskannya perlahan. Tenangkan dirimu, Selenia!

"Namaku Selenia, bukan Seli ataupun Sela!" Ia tersenyum, sedikit dipaksakan.

"Namanya kepanjangan sih, ganti aja kek jadi Eli." Gadis itu diam, tidak ingin menanggapi. Iapun membuka buku Psikologi Perkembangan. Membaca tentang perkembangan anak pada masa Adolesen lebih menyenangkan ketimbang mendengar ocehan pria itu.

"Emang Selenia artinya apa?" Tidak ada jawaban, membuat Ethan tak hilang akal. Iapun membuka ponselnya. Dan mencari arti nama anak di laman pencarian. "Oh, artinya bulan. Aduh, gua mau dong jadi bumi. Biar terus-terusan ditemani sama lo."

"Arti nama gua apa? Tau deh, sok barat banget dah Abah gua ngasih nama. Orang sunda di kasih nama Ethan. Orang ngira gua blasteran. Iya, gua akui, gua emang belasteran Bandung-Tasik."

"Udah lama aja tinggal di Bandung, bergaul dengan orang gahol. Jadi gaya bahasanya ya gini, sok gahol. Padahal Cuma ikut-ikutan." Selenia diam-diam mendengarkan, walaupun matanya fokus pada buku, tetapi tak ada tulisan yang bisa ia serap sedikitpun.

"Eh, Seli!" Selenia menahan gemas mendengar panggilan itu. Iapun menengok dan menatap garang pada Ethan. "Mau ikut BEM, nggak?"

Selenia dengan cepat menoleh, matanya berbinar dan dipenuhi oleh rasa keingintahuan. Ia mengabaikan bukunya yang masih terbuka. "Jadi anggota BEM itu enak, lho. Selain kita banyak dikenal orang, kita juga akan banyak mendapat ilmu yang tidak kita dapat dari kelas. Banyak senior yang akan membimbing kita. Terus anggota BEM, juga rezekinya melimpah, Beasiswa akan dengan mudah mengalir."

"Kok, bisa?" Baru kali ini Selenia merasa tertarik dengan pembicaraan Ethan.

"Pokoknya pihak kampus, akan mengutamakan BEM terlebih dahulu." Selenia mengangguk pelan sambil mencerna kalimat Ethan.

"Tapi...," Ethan mengantungkan kalimatnya. "Jadi anggota BEM itu enggak mudah. Ada amanah yang harus diemban."

"Maksudnya?" Selenia menopang dagu dengan tangan kanannya, menatap Ethan penasaran.

"Namanya juga BEM. Ya, harus lebih-lebih dong dari mahasiswa lainnya." Gadis itu mengernyit dan menegakkan badannya. "Bentar, deh. Kamu tau darimana gosip kayak gituan?"

"Eiy, Gua gini-gini ngehits, lho. Banyak senior yang gua kenal."

Pembicaraan terhenti, karena dosen Psikologi Perkembangan memasuki kelas. Selenia menatap sekitarnya. Mendadak kelas menjadi penuh, mengapa ia tak sadar akan kehadiran teman-temannya? Apakah itu efek sangking terlalu asik dia mendengarkan Ethan?

Entahlah.

...

"Nah, gimana mau gabung enggak?" Dosen keluar dari ruangan dan Ethan menghampiri Selenia yang sedang membereskan alat tulisnya. Mahasiswa lain sudah keluar. Termasuk Hani, memburu makanan kantin yang selalu bikin ngiler.

"Apa?" tanyanya cuek.

"Ikut BEM-lah."

Gadis itu mendengkus, dan menatap Ethan yang kini tengah berdiri di hadapannya. "Tahu sendiri aku jarang ngomong."

Tiba-tiba saja Ethan menjentikan jarinya di depan wajah Selenia. Membuatnya tersentak, "Nah, justru itu...," ia mengantungkan kalimatnya, menarik kursi di sebelah Selenia dan mendudukinya. "BEM itu harus aktif di kelas dan di organisasi, pokoknya harus lebih menonjol dari mahasiswa lain di kelas. Dan menjadi contoh bagi mahasiswa lain. Ini kesempatan lo buat berkembang."

"Ribet banget, sih. BEM'kan sama aja kayak OSIS, babunya sekolah." Mata Ethan membulat mendengar penuturan gadis itu. Ah, jalan pikir Selenia ternyata sempit. Si pria cungkring iru menggeleng-geleng. Lantas berdehem.

"Ya, mungkin kasarnya mereka memang babu. Karena kerjaan mereka memang membantu. Membantu memajukan sekolah, membantu melancarkan pelaksaan visi sekolah, dll. Tapi kayaknya mereka nggak ngerasa dibabuin. Karena gua juga gitu. Eh, lo pernah masuk OSIS'kan?" Ethan memutar tubuhnya menghadap Selenia. Dan gadis itu hanya menggeleng.

Ethan berdesis, "Pantesan."

"Tapi BEM nggak sama kayak OSIS. BEM nggak selamanya nurut dan tunduk sama pihak kampus, mereka punya visi misi yang sejalan dengan kampus. kalau kampus rada nyaliwang, ya BEM yang meluruskan." Selenia mengernyit, memahami rentetan kalimat dari pria di depannya.

...

"Presiden ialah penyelenggara pemerintahan Negara yang tertinggi di samping MPR dan DPR. Kekuasaan Presiden...,"

Beberapa mahasiswa tengah presentasi tentang Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, tiba-tiba saja pintu diketuk tiga kali. Mahasiswa berkemeja hitam masuk setelah permisi. Meminta izin kepada dosen pengampu, lantas berbicara di depan kelas. Otomotis, kegiatan presentasi dihentikan sementara.

"Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh," ucapnya menggema ke seluruh ruangan. Suaranya yang bulat dan dalam membuat semua penghuni kelas diam. Terpesona. Secara reflek mengalihkan perhatian mereka.

Selenia tak mampu mengalihkan perhatiannya pada Widi, dari saat si lelaki itu memasuki kelas. Pesonanya memabukan. Matanya seakan enggan untuk berkedip. Tetapi saat tatapannya bertemu, ia salah tingkah. Dan melakukan kebodohan, yaitu menjatuhkan wadah kacamata milik Hani. Sial. Kenapa harus bertindak memalukan didepan sang pujaan.

Ia merasakan darahnya berdesir mendengar suara Widi. Bulu kuduknya meremang dan tangannya lembab. Gejala apakah ini? Ia merasa harus diperiksa ke Klinik Kampus untuk mengecek keadaannya.

Dan salam tersebut dijawab kompak. Widi menghela napas, lantas melanjutkan.

"Mohon maaf mengganggu waktunya. Kami dari BEM akan mengadakan PKM. Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa. Seluruh mahasiswa boleh mengikutinya. Khsusnya bagi yang berminat menjadi anggota BEM. PKM akan di laksanakan pada hari sabtu-minggu. Ada pertanyaan?"

Ethan mengangkat tangannya, bertanya. "Sabtu sekarang, Kak?"

Widi mengangguk, dan suaranya kembali terdengar. "Ya. Sabtu minggu sekarang. Jika ada yang berminat, hubungi saja KOSMA-nya, terus di data, ya. Untuk surat izin bisa diminta nanti saat istirahat. Waktu pelaksanaan dari jam 10 pagi hingga selesai. Ada pertanyaan lagi?"

Hening. Dan Widi menganggap keheningan tersebut pertanda semua telah mengerti. Ia akhirnya undur diri dan pergi.

...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top