3

Selenia melirik jam yang mengantung di perpustakaan. Hah, masih ada satu jam lagi sebelum jam perkuliahan selanjutnya. Lebih baik dia memanfaatkan waktunya untuk hal yang berguna.

Rambutnya yang diikat tinggi bergoyang. Ia berjalan menuju meja di tengah ruangan perpustakaan, tempat untuk membaca.

Ia mendudukan dirinya di salah satu kursi. Kebetulan masih kosong. Tempatnya lumayan strategis, dekat rak buku agama dan jendela. Di luar kaca, hanya ada dinding berlumut dan di tumbuhi paku. Pasti itu gedung sebelah yang sudah tidak terurus.

Selenia mengingat kejadian saat ia bertemu dengan Widi. Pipinya merona mengingat sentuhan yang ia terima. Tangannya terulur naik ke atas ubun-ubun, merasakan sisa-sisa kehangatan yang Widi tinggalkan.

Gadis itu, memandang buku yang ia pegang. Buku yang di rekomendasikan oleh Widi. Sudut bibirnya terangkat. Darahnya berdesir hangat ketika ia mengusap permukaan sampul bukunya.

Perlahan, tangannya memegang ujung kertas. Membukanya perlembar. Tanpa dibaca. Sampai lembar terakhir.

Kembali ia menutup bukunya. Memandangi sampulnya. Lantas ia mengembuskan napas. Kurang kerjaan sekali.

Kemudian ia ingat, ini di perpustakaan. Wifi di sini aksesnya cepat. Iapun buru-buru merogoh kantong celana denimnya. Menyambungkannya pada jaringan Wifi. Dan berhasil.

Iapun terhanyut dalam aktivitasnya.

Kali ini dia akan menonton musik video. Ia meletakan ponselnya diatas buku yang terbuka. Memegangi sampulnya agar berdiri. Mencegah orang lain mengintip kegiatannya. Tetapi sebenarnya hal tersebut sia-sia, karena buku tersebut berdiri hanya sebatas dada. Orang lain masih bisa melihatnya, tergantung jarak dan posisi duduk.

Tidak lupa, earphone yang terpasang apik di telinganya.

Selenia tidak menyadari, ada seorang pria duduk di kursi kosong sebelah kanannya. Menghempaskan buku-buku tebal yang ia bawa secara perlahan. Demi menjaga ketertiban.

Pria itu menatap Selenia yang tengah sibuk. Ia mengira perempuan itu sedang asik membaca buku. Sangking serunya, hingga tak menyadari keberadaannya. Iapun menegakkan badan, mengintip.

Matanya sontak membulat, ketika melihat adegan seorang pria mendorong wanita ke atas ranjang. Sialan. Apa yang perempuan berkucir itu tonton? Pria itu memerperhatikan perempuan yang sedang pura-pura membaca buku itu, wajahnya terlihat polos. Tetapi tontonannya adalah hal yang tidak senonoh.

Pria berkacamata bulat itu mendekat, dan berbisik di telinga Selenia. "Aduh, video apa, tuh? Bisa kali Gua ikutan nonton."

Selenia dengan cepat menutup bukunya. Dan menatap tajam pria yang barusan berbisik. Keningnya terekspos tanpa poni mengernyit. Pria di depannya nyengir, memamerkan senyum gusinya yang manis. Ah, matanya hampir tenggelam.

Pria itu mendekat, dan berbisik lagi, kali ini sangat pelan tetapi mampu membuat Selenia memerah. "Barusan itu film biru, ya?"

Dengan kesal, dia membuka kembali buku itu. Dan menunjukan judul video yang sedang ia tonton. Mulut pria itu membulat, "Oh, itu boyband yang demen banget minta maaf, ya?"

Selenia bergeming, tak mengerti dengan ucapan pria berhoodie itu. "Masa nggak tahu, sih? Setiap manggung mereka nyanyi Sorry-Sorry terus."

Menghela napas, ia sudah malas mendengar celotehan pria di sampingnya. Lebih baik ia pergi dan menunggu Hani yang sedang keluar kampus di kantin saja.

Sebelum pergi, ia menghampiri meja petugas perpustakaan. Untuk mencatat buku yang ia pinjam. Ia terus melangkah, tanpa menghiraukan pria yang berlari di belakangnya.

"Marpuah, tungguin!" Selenia terus melaju, karena tidak merasa dipanggil. Hingga ia berbelok, dan menuruni tangga menuju lantai dasar. Kantin. Ada seorang pria yang menepuk pundaknya, meembuat langkahnya terhenti.

"Cepet banget, sih, jalannya. Di panggil daritadi nggak nyaut. Budek, ya?" Selenia mengeleng sambil menatap pria itu aneh. Sumpah demi apapun, ia tak mendengar namanya dipanggil.

"Mau kemana, sih? Buru-baru banget, Marpuah."

Kali ini, Selenia membuka mulutnya tak percaya. "Maaf, kamu salah orang."

Iapun meneruskan langkahnya kembali. Mengabaikan pria aneh berpotongan rambut super pendek itu. "Eh, Lo bukan Marpuah?"

Pria berponi jarang-jarang dan hanya sebatas kening itu terus mengikutinya hingga ia sampai di depan pintu kantin. "Aku Selenia, bukan Marpuah."

Pria itu mengangguk. Ada binar kebahagiaan dia kedua bola matanya. "Oh, Selenia namanya. Salam kenal."

Dengan jengkel, Selenia menghentakkan kakinya. Dan memasuki kantin. Mengantri ketoprak. Lantas mencari tempat duduk yang kosong.

Dia duduk di dekat jendela. Memandang kebun pisang di balik jendela. Sendirian. Padahal meja tersebut bisa memuat empat orang. Tetapi, gadis bermata bulat itu tidak memiliki teman lain selain Hani. Dan Hani sedang mencetak makalah di luar. Terpaksa dia duduk sendirian. Bagaikan jomlo.

"Nah, akhirnya ketemu juga." Ia baru saja akan memasukan potongan tahu ke dalam mulutnya. Ketika seorang pria tiba-tiba meletakan semangkuk bakso dan segelas es teh di meja yang ia tempati. Kemudian, sang pelaku duduk di sebelahnya tanpa dipersilakan.

"Lo kok sendirian aja? Jomlo, ya? Alhamdulillah." Tutup telinga, abaikan saja dia. Selenia membatin.

"Tukeran, yuk. Gua mau ketoprak tapi penuh. Males ngantri." Selenia belum menjawab, tapi piringnya sudah berpindah ke hadapan pria itu. Sialan. Seenak jidat saja dia.

"Lo udah tau nama Gua belum? Gua Ethan Nareswara. Kelas Manajemen Pendidikan semester 2," pria itu berhenti mengoceh. Merenung sambil menusuk bakso yang ada dihadapan Selenia. "Eh, kita kan sekelas, ya?"

Ethan terbahak, matanya tenggelam. Gusinya terlihat. Selucu itukah? Selenia menarik gelas es teh manis milik Ethan. Mengaduknya kasar. Bete setengah mati dengan pria di sebelahnya. Lantas menyeruputnya hingga tersisa setengahnya.

Tawa Ethan terhenti karena menyadari minumannya diambil alih. "Itu milik Gua, lho."

Gadis itu mengedikkan bahu, tidak peduli. "Tadi udah gua pake sedotannya." Gadis itu tersedak seketika. Wajahnya memerah. Dengan sigap Ethan menepuk punggungnya. "Makanya tanya dulu, dong."

"Kamunya ngeselin, sih. Ketoprak aku pake dimakan segala!"

"Kan, tadi gue udah minta tukeran. Gua pengen ketoprak. Tapi penuh. Yaudah beli bakso aja."

Selenia hanya menghela napas, dan memandangi mangkok mie bakso tanpa baksonya tersbut. Daripada kelaparan, lebih baik dia memakan apa yang ada di depannya saja. Lagipula ia tidak membawa uang saku lebih.

Pria kurus di sampingnya masih asik memakan ketoprak miliknya hingga habis. Sialan.

...

Sudah dua hari ini Selania berangkat ke kampus lebih pagi dari biasanya. Kapok disindir dosen.

Dengan rambut dikucir tinggi, kaos pas dibadan dan skinny jeans ia berjalan menyusuri selasar kampus. Sudah ada beberapa Seniornya yang berlalu lalang.

Ketika ia akan menaiki tangga, ada pria yang tidak sengaja menyenggol lengannya dari belakang. Pria berkemeja hitam itu mendongkak dan menatap Selenia. "Ah, maaf, aku sedang buru-buru."

Selenia tersenyum maklum. Dan Widipun mendahuluinya menaiki tangga. Baru beberapa anak tangga, pria itu terhenti dan menatap ke bawah. "Em, ngomong-ngomong, bajumu terlalu ketat."

Bukan tanpa alasan Widi mengatakan itu, dia tadi berada dibelakangnya. Ketika Selenia melintasi jajaran Senior di selasar tadi, ia jadi perhatian. Karena pekaiannya yang terlalu menonjolkan lekuk tubuhnya. Dan Widi merasa harus menyampaikan hal tersebut.

Selenia mengangguk sambil tersenyum canggung. Benarkah apa yang dikatakan Widi? Iapun turun dan memasuki toilet yang berada di belakang tangga. Di sana ada cermin besar, memperlihatkan penampilannya hari ini. Ya, Widi benar. Ini terlalu ketat. Besok-besok ia akan mengenakan blezer agar tidak tubuhnya tidak terlalu menonjol.

'Terimakasih Kak Widi, telah mengingatkanku.' Batin Selenia.

Ia tersenyum manis. Ternyata Widi peduli dan memperhatikannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top