2

Selenia menutup Laptop-nya setelah menyelesaikan tugas Kelompok Makalah Pendidikan Kewarganegaraan. Ia mengangkat kepalanya sedikit, melihat jam yang mengantung di depannya. Baru pukul 21.00. Rasanya sudah berjam-jam berkutat dengan layar pipih tersebut, tetapi nyatanya baru enam puluh detik.

Ia beranjak dari meja belajarnya. Meraih ponselnya di nakas, lantas merebahkan diri di kasur miliknya. Waktunya Fangirling.

Pertama, ia membuka Instagram. Mencari username Yesung dan melihat postingan-nya. Gadis berpiyama pink itu terkekeh melihat Idolanya yang sudah berkepala tiga memasang pose imut. Bibir yang mengerucut, kepala miring ke kanan. Ah, menggemaskan.

Dasar tidak sadar umur! Orang awam pasti mengira dia masih berumur belasan. Dan lihat pipinya, sudah tak sebesar dulu, pantas saja Netizen mengira dia operasi pelastik. Padahal itu hanya hasil diet ketat yang dia jalani.

Setelah merasa puas dan tidak ada kabar yang terlewat, Seleniapun menutup akun instagram-nya. Lantas beranjak ke Youtube. Waktunya streaming Music Video Super Junior.

Belum sempat ia mengetik judul video yang ia cari, tiba-tiba ia teringat kejadian tadi.

Pria berkemeja hitam tadi dan komentarnya tentang Orang Korea membuatnya terngiang.

Kesal dan penasaran melingkupi hatinya. Apa maksud pria itu tadi siang? Takkan ada yang menjawab pertanyaannya. Baiklah lebih baik ia menelpon Hani, sahabatnya.

"Han, masih ingat dengan Kak Dwiki?"

"Dwiki yang mana?"

"Senior yang promosi BEM, pas OPAK."

"Itu Widi, Nyai. Dwiki mah pelatih Theater kita pas SMA."

"Mirip namanya, sih. Jadi ketuker terus."

Di seberang sana terdengar Hani tertawa sangat keras, hingga Selenia harus menjauhkan ponselnya dari telinga. "Itu jauh, Lho. Widi enggak pake K padahal."

Selenia mendengkus mendengarnya. Seperti yang Widi katakan tadi, ingatannnya buruk. Ya, itu memang benar.

"Kenapa nanyain Widi? Naksir, ya?"

Selenia menghela napas, "Tadi aku ketemu dia di Kampus. Masa dia ujug-ujug ngajakin masuk BEM. 'Kan aneh." Hani diam, pertanda menyuruhnya melanjutkan cerita.

"Masuk BEM 'kan enggak sembarangan. Ada seleksinya. Aku pasti nggak lolos. Aku mah apa atuh, ngomong aja belelol."

"Terus dia juga nyebut banci sama idol Korea. Ih, kesel, deh." Hani masih terdiam, dan itu membuatnya curiga. "HANI!" Seleniapun berteriak di depan ponselnya.

"Eh, sorry sorry. Baru selesai boker, nih. Hehe." Selenia merutuki dirinya yang terlalu berbaik sangka. Iapun menceritakan kembali apa yang dialami tadi siang. Kecuali adegan Widi yang hampir memamerkan perutnya. Oh, tidak itu memalukan.

"Ya, itu terserah Anda, Nyai. Kalau mau ikut silakan. Kebetulan kamu Cuma ngajaredog doang, kan di rumah? Mending ikutan, sih. Coba aja dulu ikutan pas rekruitmen-nya. Eh, pelatihan dulu, ya, kan?"

Hani benar, tak ada salahnya mencoba. Ikut pelatihan saja dulu. Pelatihannya kan pasti untuk seluruh mahasiswa. Kalaupun ia tidak diterima di BEM, ia masih mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Tidak ada ruginya.

Pembicaraanpun berakhir karena Hani mulas lagi. Sementara itu, Selenia termenung memikirkan kata-kata Widi. Apalagi cara bicaranya yang menarik dan mudah mempengaruhi atau memotivasi. Hmm. Apa bedanya mempengaruhi dan memotivasi? Entahlah, namun keduanya memiliki efek yang sama terhadap Selenia. Entah mengapa ucapan Widi itu bagaikan sihir. Membuatnya terngiang-ngiang.

Hidupmu bukan hanya tentang Oppa-Oppa Korea.

Sedikit banyak, kalimat itu mempengaruhinya. Ya, Widi benar. Umur Selenia baru sembilan belas. Masa depannya masih panjang.

...

Selenia tengah sibuk mencari buku di perpustakaan kampus. Ia berdiri diantara rak berlabel 'Ilmu Pendidikan'. Membaca judulnya yang tampak dari samping. Ia mendesah kecewa, tak ada buku yang benar-benar menarik perhatiannya. Rak didominasi oleh buku-buku yang tebal. Ia tidak mau meresensi buku setebal itu, terlalu lama. Padahal ia ingin mengumpulkan sebelum UTS tiba.

Selenia berjongkok. Merasa pegal karena terlalu lama berdiri. Sambil membaca judul yang ada di depan mata, rak ke dua dari bawah. Metodologi penelitian. Bukan itu yang ia cari. Selenia merutuk dalam hati.

Selenia merasakan ada kehadiran manusia lain yang ikut berjongkok di sebelahnya. Ia kemudian menengok ke kiri, dan mendapati pria dengan kemeja hitam polosnya sedang membaca sebuah kertas.

Dengan santai, pria itu meraih buku yang Selenia baca judulnya barusan. Pria itu tersenyum, lengkap dengan dekik dibawah bibirnya. Senyuman itu, membuatnya terhanyut.

"Butuh buku ini juga?" ucapnya seraya menunjuk buku yang ia pegang. Selenia segera tersadar dan menggeleng cepat. "Nggak."

"Terus kamu nyari buku apa? Aku bantu cariin." Selenia menelan salivanya gugup. "A-aku nyari buku tentang pendidikan."

Widi mengangguk. Bibirnya membulat, membentuk huruf O. Lantas ia berdiri, memilah buku yang berada 2 tingkat dari tempatnya jongkok.

Aroma semerbak bunga tercium oleh hidungnya. Produk pengharum apa ini? Rasanya Selenia ingin membeli produk serupa, agar bisa merasakan keberadaan Widi setiap hari di dekatnya. Hentikan pikiran busukmu itu, Selenia!

Seleniapun ikut berdiri. Seketika itu juga Widi terlonjak kaget. Ada apa dengan pria berambut hitam legam itu? Seperti melohat hantu saja. Selenia merasa tersinggung.

Menyadari raut wajah Selenia yang tertekuk, Widi mencoba menjelaskan, "Aku hanya kaget. Nggak nyangka ternyata tinggi kita sama."

Selenia tersenyum canggung, "Oh, kukira kenapa."

"Kamu yang ketinggian atau aku yang kependekan, ya?" pertanyaan retoris menurut Selenia. "Ah, ya, ini buku yang mungkin sesuai selera kamu. Ini juga yang aku gunakan pas semester dua untuk tugas yang sama denganmu."

Selenia menerimanya dan membaca judulnya, "Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal di Sekolah." Menarik. Dan yang terpenting adalah ketebalannya yang hanya setinggi bedak padat.

Gadis itu heran, mengapa Widi bisa menemukan buku ini? Padahal selama dua pulih menit ia mencari, buku itu tidak pernah terdeteksi oleh matanya.

Masa bodolah! Yang penting ia sudah mendapat apa yang ia cari. "Terimakasih, Kak."

Widi mengangguk, rambut hitam legamnya ikut bergoyang-goyang. Kemudian matanya beralih, menatap sesuai berwarna pink yang tergeletak di bawah kaki gadis itu. "Notesmu jatuh."

Seleniapun berjongkok dan mengambil benda tersebut. Ia membeku, ketika merasakan sebuah sentuhan tepat di atas ubun-ubunnya. Mengusap perlahan helaian rambutnya. Kemudian hilang.

"Sampai bertemu lagi." Si kemeja hitam berlalu, menyisakan ratusan semut merayap dari kepala, menuju ke hatinya. Oh, tidak. Apa ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top