10
Senyumnya merekah. Di depannya ada sebuah mading yang bertuliskan daftar peserta yang lolos seleksi. Di sana tertulis banyak huruf, namun ada satu kata yang menarik perhatiannya. Satu kata yang berada di tengah kertas. Hanya tujuh huruf, namun bisa membuatnya bahagia setengah mati.
SELENIA
Ya. Itu namanya. Tercetak jelas di urutan nomor 17. Ia dinyatakan lolos seleksi wawancana calon anggota BEM. Sebenarnya ia tidak begitu berharap. Karena ia sadar betul, saat wawancara berlangsung penyakit bicaranya kumat. Gugup dan gagap. Akhirnya ia terbata-bata, kadang jawabannya berputar-putar tanpa arah yang jelas. Tetapi mengapa ia bisa lolos? Iapun masih tak mengerti. Namun ia yakin, panitia memiliki kriteria sendiri.
Ia bahagia, ingin rasanya memeluk seseorang, dan mengajaknya menari. Namun di sekitarnya tidak ada siapa-siapa selain dirinya. Ethan mungkin sedang salat dzuhur, tadi pria itu memintanya memberitahu tentang hasil wawancara. Pria itu pasti belum sempat melihat pengumuman ini yang baru ditempel beberapa menit lalu. Iapun berinisiatif mengiriminya poto pengumuman tersebut.
Ceklis satu abu-abu. Ethan tidak aktif. Iapun memutuskan untuk mencari makhluk bersenyum gusi itu ke mushala. Sesampainya di sana, ternyata tempat itu sudah sepi. Salat berjamaah telah usai.
Mungkin Ethan sedang di kantin, pikirnya. Iapun berinisitif menuju ke sana. Kebetulan, jalan menuju kantin melewati ruangan Sekretariat KPR. Ah, siapa tahu Ethan mungkin di sana? Tak ada salahnya mencoba ya, kan?
Iapun membuka pintu itu, menggesernya perlahan. Dari celah pintu yang terbuka sedikit, ia hanya melihat hamparan karpet hijau yang membentang menutupi ubin. Tidak ada kursi dan meja seperti ruangan kelas. Di beberapa sudut ada beberapa kertas yang berserakan. Matanya bergerak mencari siluet seseorang, siapapun itu, ia berharap itu Ethan.
Ternyata ada lima orang di sana, sedang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dan yang paling mencolok adalah dua orang yang berada di tengah ruangan. Saling berhadapan. Hanya dipisahkan oleh laptop. Hanya berdua. Laki-laki dan perempuan. Seakan mengisolasi diri. Yang lain seolah tak peduli.
Yang satu berkacamata, rambut sebahu, manis senyumnya. Kadang tertawa ketika laki-laki itu berbicara. Si pria itu serba hitam. Kemeja, rambut, celana, juga kaos kakinya. Kecuali warna kulitnya, dia tidak hitam. Hanya kecoklatan; tan. Dekik dibawah bibirnya sering kali terlihat ketika tertawa.
Suaranya tidak asing di telinga. Ia terlampau sering mendengar suara itu akhir-akhir ini. Tetapi bolehkah ia berharap seorang yang sedang memunggungi itu bukanlah pemilik dari suara yang sering terngiang di kepalanya? Karena ia tak rela melihat pria itu berbagi canda tawa dengan wanita lain.
Tangan pria itu terulur ke atas, mengenai puncak kepala si wanita. Mengelusnya pelan. Seketika ia menahan napas, menatap nanar tangan itu. Bukankah perbuatan itu sama persis seperti yang lelaki itu perbuat kepadanya? Jadi, Selenia selama ini salah paham terhadap perbuatan Widi?
Ia mencengkram gagang pintu yang masih diganggamnya makin kuat. Hingga urat-uratnya terasa tarik menarik. Kemudian ia melepaskan tangannya ketika seseorang yang berada di sudut ruangan menyapanya. Ia tersenyum canggung, lantas pergi menjauh dari ruangan tersebut. Selenia tahu, Widi menyadari keberadaanya.
Langkahnya tergesa menuju kantin, tiba-tiba saja ia ingin ke sana. Tetapi sayang, tempatnya penuh dan ramai. Bagaimana jika tiba-tiba ingin menangis? Malu. Di sini terlalu banyak orang. Bisa-bisa ia menjadi pusat perhatian. Iapun memutar badan, dan berjalan menuju taman belakang kampus. Tidak terlalu jauh dari kantin, namun di sini lumayan sepi.
Selenia mendudukan dirinya di salah satu bangku kayu yang ada di sana. Sejuk. Karena tempat tersebut di naungi pohon, tidak rindang, tapi cukup memfilter sinar matahari di tengah hari. Di belakangnya ada tanaman bunga warna-warni yang menambah kesan asri.
Tetapi ia tidak memedulikan lingkungannya, ia lebih memilih menatap sepasang sepatu tanpa hak-nya. Disana ada noda tanah sedikit. Ah, ya, tadi ia tidak sengaja menginjak tanah basah ketika menuju ke sini.
Ia meremas ujung blazer hingga kusut. Matanya tiba-tiba memanas, mengingat adegan di ruang KPR tadi. Tangannya terangkat, menutupi wajahnya yang berurai airmata. Ia menangis tanpa suara.
...
Ethan menatap punggung gadis itu iba. Tubuhnya bergetar, namun tak ada suara yang terdengar. Ia jadi ingin menenangkannya. Meredam air matanya. Berbagi rasa sakitnya. Ia tahu, gadis itu sedang terluka. Ia melihatnya sejak gadis itu membanting pintu ruangan KPR. Ia tahu, ada yang tidak beres di ruangan tersebut. Dan ia menemukan Widi dan Gita (Sekretaris KPR) tengah terbengong terkaget-kaget menatap pintu dengan wajah bodoh mereka. Iapun juga tahu, Selenia menyukai Widi.
Satu hal yang tidak ia ketahui, ia sakit melihat gadis itu terluka. Sakit ketika gadis itu berlari menjauhi ruangan itu. Sakit melihat punggung itu bergetar menahan tangis. Ia teriris. Dan tak rela melihat air mata itu tumpah sia-sia.
Iapun mendekat, mencoba meraih gadis itu. Mengelus punggung rapuh itu perlahan. Walau agak sedikit rikuh, dan bergelombang, karena itu adalah punggung seorang wanita. Setiap wanita memiliki polisi tidur di punggungnya. Ya, tali beha.
...
Kamus istilah
PKM = Pelatihan Kepemimpinan Mahasiswa
BEM = Badan Eksekutif Mahasiswa
KPR = Komisi Pemilihan Raya
...
Aku baper pas ngetik bagian Ethan. Pengen mewek rasanya, tapi malah ngakak di kalimat akhir. Ambyar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top