6 - Manis

Gina memutar bola mata kala Dion naik ke boncengan motornya sambil membawa sang Manis yang cedera.

Atas inisiatif Bisma, sekarang mereka akan menuju bengkel untuk memeriksakan keadaan si Manis. Sedangkan Dian berdua dengan Bisma menaiki motor Ninja milik cowok itu. Soalnya, Dian tadi datang naik taksi.

Dion dengan anteng duduk di belakang Gina. Padahal tadi Dion yang akan membawa motor tapi Gina beralasan dia nggak kuat menenteng si Manis selama perjalanan. Heran, padahal tadi Gina bisa banting si Manis layaknya binaragawan.

Bengkel itu lumayan dekat dari sekolah jika ditempuh menggunakan kendaraan. Kalau kalau sih bisa bikin capek juga. Sesampainya di sana Dion membawa sepedanya segera memasuki bengkel. Diikuti oleh Gina, Dian, dan juga Bisma.

"Jadi gimana, Bang?" tanya Dion.

"Ini cuman remnya rusak. Rantainya geser. Selebihnya nggak papa," kata mekanik di bengkel itu menjelaskan.

"Noh 'kan apa gue kata, emangnya kaki gue bercula gitu, bisa mutilasi tuh sepeda lo sampai terbelah-belah?" oceh Gina pada Dion.

Dia nggak tau aja Dion sudah syok bak tersambar petir mendengar keadaan si Manis. Kalimat perlawanan dari Dion harus kembali ia telan karena sudah didahului oleh Bisma.

"Fila, tetap aja lo udah ngerusak sepeda orang," kata Bisma sambil menjitak kepala Gina.

"Dia kan juga udah rusakin merchandise Kiev kesayangan aku," rengek Gina pada Bisma.

"Dion, kamu harus ganti barangnya Gina," sahut Dian.

"Iya, emang niat bakal ganti kok," kata Dion pelan. Kuping, mata dan lubang hidung Gina bereaksi berlebihan saat mendengar hal itu.

"WEITSS SERIUSAN LO, YOOON?!!" pekik Gina antusias.

"Ebuju santae, iya monyet," sahut
Dion sambil mengusap-ngusap kupingnya.

"Janji ya!!"

"He-em, kalau inget."

"Okew, gampang! gue bakal ngingetin lo tiga kali duapuluh empat jam."

"Kayak makan aja tiga kali sehari."

Gina ngakak. Dian dan Bisma hanya bisa tersenyum geli melihat kelakuan kedua remaja itu.

"Ngomong-ngomong makan, sekarang kita makan aja gimana?" ajak Bisma.

"Ayok!"

Mereka pun beranjak ke sebuah warung makan di seberang jalan. Gina duduk bersisian dengan Bisma dan Dion berada di seberangnya bersama Dian.

"Jadi, apa aja tadi kata Bu Ratna, A?" tanya Gina setelah mereka selesai memesan.

"Hm, Ibu Ratna bilang lo nggak boleh lagi bawa barang yang nggak berhubungan sama sekolah," jawab Bisma.

"Apa?! Dih, kan banyak juga temen-temen yang bawa novel, kartu dan sebagainya. Tuh barang juga nggak ada hubungan sama sekolah," omel Gina tak terima.

"Ya mereka kan nggak ketahuan."
Jawaban Bisma membuat Gina sontak memberengut.

"Dan Dion, kamu nggak boleh lagi jailin orang," kata Dian.

"Hng, nggak janji, Teh."

"Lho, kok gitu?"

"Soalnya ada orang yang cocok banget dijailin," kata Dion sambil tersenyum jahat ke arah Gina yang ada di depannya.

"Jujurnyaaa," cibir Gina sembari memutar bola mata tidak senang.

"Seriusan ini lho, bahkan tadi Bu Ratna pengin salah satu dari kalian pindah kelas. Soalnya menurut para saksi kalian hampir tiap hari cekcok di kelas." Omongan Dian membuat pupil mata kedua murid SMA itu melebar.

"Hah?!" seru Dion Gina bersamaan.

"Terus? Gimana? Siapa yang pindah?" tanya Gina heboh.

"Ya lo lah," kata Dion.

"Masa gue? Nggak akan pernah?!"

"Udah, ribut mulu kalian tuh ya, udah dikata tadi Bu Ratna cuman pengin," rutut Bisma.

"Maksudnya, A?"

"Nggak jadi lah."

"Terus, jadinya apa?"

"Liat aja sendiri besok yaaa," kata Bisma sambil melirik Dian kemudian mereka saling melemparkan senyum penuh makna.

"Kasih tau sekarang aja ih," cibir Gina.

"Iya Bang---"

"Permisi Mas, Mba." Pelayan menata pesanan mereka.

"Bang, Teh apaan? Jangan ada rahasia di antara kita dah," rutut Dion.

"Dah, makan dulu noh. Nggak ada tapi-tapi," titah Bisma.

Akhirnya mereka makan dengan hening. Nggak hening-hening banget sih, soalnya Gina dan Dion sempat ribut gara-gara berebut sambel.

Dian dan Bisma juga terlibat obrolan seru mengenai masalah anak kuliahan.

"Yon pindah meja yok, males jadi obat nyamuk," ajak Gina setelah selesai dengan makanannya.

"Yok deh, males juga gangguin orang PDKT."

"Eh eh, siapa yang PDKT," elak Dian salah tingkah.

"Eh, Fila ngapain lo, jangan ngambek," Bisma mencegat lengan Gina yang sudah akan beranjak dari kursi.

"Siapa yang ngambek dih. Lagian kita dikacangin mulu. Sibuk berdua aja, emangnya kita hidup di dunia ngontrak."

"Yoih. Agree banget with you, Nang," timpal Dion.

"Sok inggris lo, Yon. Yodah kita pindah yak."

"Eit nggak boleh, nggak boleh. Anak tetanggaku yang cantik, duduk diem," kata Bisma sok imut.

"Plis jangan nunjukin muka itu lagi. Jadi kayak preman kebelet tau nggak?" Gina kembali duduk di kursinya.

"Eit tunggu, jadi kalian berdua bukan kakak adik kandung?" tanya Dian.

"Iya, si kucrut Fila ini tetangga gue. Nyokap kita sahabatan. Kita emang udah deket banget dari dulu. Mulai dari dia baru brojol terus berkeliaran pake celana dalem renda-renda gambar pikachu wara-wiri masuk kamar gue--" Gina melotot lalu membekap congor Bisma.

"Bisa nggak, A. Kagak usah bongkar aib gue!"

Bisma melepas tangan Gina. "Bau sambel tuh tangan lo bocah!"

"Biarin!"

"Dulu, dia emang suka berantem. Lawannya nggak pandang bulu. Anak ketua RT. Anak anggota DPR. Gila aja selalu gue yang nyelesein."

"Lah, kok disambung lagi ceritanya, itu kan mereka duluan yang cari gara-gara."

Bisma kembali akan buka suara.
"Cari topik lain ngapah!" rutuk Gina kesal, gadis itu memasukkan kerupuk secara paksa ke dalam mulut Bisma yang sedang mangap.

"Wow, jadi kalian deket banget berarti ya...."

Bisma yang sibuk mengunyah kerupuk pun hanya mampu mengangguk.

"Oh iya nama lo Bisma Anggara P., kan? P nya apaan?" tanya Dian penasaran.

"Pradikta," sahut Gina sambil memainkan tisu.

"Ember banget. Dia kan nanya gue," kata Bisma yang sudah melahap habis kerupuk dalam mulutnya, cowok itu menjitak kepala Gina.

"Adaw!! Sakit tauu!" Bisma hanya menjulurkan lidahnya secara kilat pada Gina sebelum mengalihkan pandangan pada cewek di depannya.

"Sekarang gue yang nanya, nama lo kan Dian Banyu P., P nya apaan?"

"Rahasia perusahaan," sahut Dian manis.

"Yah nggak adil. Yon bisa kali kasih tau," Bisma memandangi Dion penuh harap.

"Sori Bang. Rahasia negara," kata Dion sambil terkikik geli bersama tetehnya.

"Gara-gara lo sih, La," rajuk Bisma.

"Derita Aa," ejek Gina sembari memeletkan lidah.

"Nggak pantes ah anak teknik mukanya ditekuk kaya anak kecil gitu," komentar Dian seraya tertawa kecil.

"Ya, lo juga curang."

"Haha, sori deh...."

"Ya udah, gue juga nggak mau maksa. Oh iya baru inget--" Bisma mengalihkan pandangannya ke Dion.

"Lo manggil Fila, Nang? Nang apaan?"

"Rengginang Bang-- Aww sakit tau, Nang!!" Dion mengelus tulang keringnya yang telah ditendang Gina dengan keras.

"Bodo!"

"Sensi banget sih."

"Dah gue bosen, mending gue liat si Manis."

"Lah, si Manis kan sepeda gue?"

"Ya siapa bilang sepeda gue?"

"Udah sana gih, Rengginang," celetuk Bisma.

"Aa kenapa jadi ikut-ikut?!" sahut Gina gahar.

"Oh ... yang boleh manggil gitu Dion doang yaa?" goda Bisma.

"Aelah kampret banget napa dah." Gina menggerutu.

"Tuh mukanya merah."

"Mana ih! nggak ada yaa, dusta."

"Cepetan dah si Manis telah menanti orang tuanya," goda Bisma lagi.

"Maksudnyaaaa?!!!" sewot Gina tak santai.

"Ikut kagak? Gue nyebrang sendiri nih," kata Dion sambil merapikan tasnya, juga berusaha menyembunyikan senyumnya.

"Eh jadi-jadi!!"

"Yodah buru."

Bisma dan Dian hanya bisa geleng-geleng kepala sambil ketawa melihat dua bocah itu ribet banget saat mau menyeberang. Entah apa yang mereka ributkan.

Gina memegang tas Dion erat. Cewek itu akan selalu heboh saat menyeberang jalan karena ia pernah berkata bahwa dirinya bukanlah penyebrang profesional.

Dion sok-sok akan melepaskan pegangan tangan Gina pada tasnya yang membuat gadis itu heboh tak ingin melepaskan genggamannya. Jadilah sepanjang menyebrangi jalan tangan Gina menggenggam tas Dion kuat dan Dion menggenggam lengan Gina walaupun nggak maksud.

Uh, how sweet.

Dian memasuki rumah dengan wajah sumringah.

"Ciyeee-ciyeee yang dianterin pulang gebetaaan," goda Dion yang tiba-tiba berdiri bibir pintu.

"Apaan sih. Baru juga ketemu satu hari," kata Dian sambil nyelonong masuk rumah. Gadis itu melepas sepatunya dan memakai sandal rumah.

"Yah cinta 'kan nggak kenal waktu, Teh." Dion berujar sambil mengekori kakak perempuannya itu.

"Huh anak kecil ngomongnya cinta cinta--- Udah ketemu Ayah?" tanya Dian kemudian. Nadanya berubah menjadi berbisik saat menyadari ruang kerja ayahnya menyala.

"Iya," cicit Dion.

"Diapain?"

"Berdiri satu jam. Mendengarkan siraman kalbu."

"Nggak dipotong uang jajan?"

"Syukurnya enggak."

Pintu utama terbuka. Mereka berdua langsung menyalimi perempuan paruh baya yang sedang menarik koper besarnya.

Perempuan itu hanya bisa menghela napas saat melihat anak bungsunya menyengir dan langsung mengambil langkah seribu.

"Jadi gimana tadi, Kak?" tanya Ibu dua anak ini.

"Gimana apa, Ma?"

"Masalah Iyon lah."

"Ooohhh. Dia berantem."

"Berantem gimana? Kok nggak bonyok?"

"Jambak-jambakkan."

"Hah?" Mamanya kaget bukan main.

"Iya, sama cewek, Ma."

"Hah?!" double kaget.

Dian terkikik geli melihat ekspresi mamanya.

"Terus Mama tau siapa yang KO?"

"Siapa, siapa siapa?" tanya mama heboh.

"Anak mama."

"HAH?!" triple kaget.





otewe shaaay

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top