41- Perkara

Gina tidak pernah menyangka.

Seorang Kiev Bhagaskara, makhluk hidup yang selama ini ia idolakan. Sedari dulu ia idam-idamkan sebagai imam di masa depan. Cowok yang selalu ia cap secara sepihak sebagai kekasih hati dan semua rangkaian delusi tentangnya, sekarang melakukan panggilan telepon pada dirinya yang notabenenya hanyalah salah satu dari jutaan penggemar cowok itu.

Dulu mah ya, boro-boro. Mention di twitter, komen dan dm di instagram, nanya di askfm sampai jari-jari dia udah kayak jempol semua, kagak pernah sekalipun tuh Gina dinotice sama Kiev. Dan sekarang, tentu saja gadis itu merasa sangat shock bisa telepon-teleponan sama idolanya. Mana Kiev pula yang duluan meneleponnya. Sekali lagi, meneleponnya! MENELEPONNYA, COY!

Oke, calm down.

Enggak usah baper dulu. Kiev itu suka sama Lintang, si murid baru yang agak-agak jutek juga misterius. Jangan lupakan fakta bahwa gadis berwajah manis itu adalah seorang dokter yang sedang menyamar jadi anak SMA. Gina tidak mengerti motif yang melatarbelakangi Lintang dan juga Galang---cowok yang selalu bersama gadis itu---memasuki SMA Pelita Angkasa. Tapi karena mereka telah menyelamatkan Dion pada kecelakaan malam itu, Gina yakin mereka bukan berasal dari komplotan orang jahat. Juga, Gina telah berjanji untuk merahasiakan identitas Galang dan Lintang seorang diri. Ia tak boleh membeberkan rahasia itu kepada siapapun, termasuk Dion.

Tuh 'kan, lagi-lagi Gina jadi teringat Dion.

"Gina?"

Suara Kiev yang selalu dapat meluluhlantahkan dunianya kini kembali terdengar. Gina pun gelagapan. Asli, lututnya sekarang gemetaran. Secara Gina 'kan udah ngefans sama Kiev dari zaman dahulu kala. Gina berusaha keras menahan diri untuk tidak jingkrak-jingkrak. Dia sekarang 'kan lagi di atas genteng, rumahnya bisa tertimpa marabahaya kalau dia jejingkrakan di atas sini.

"I..iya Kiev?" sahut Gina sekalem-kalemnya. Menahan jeritan yang membuncah ingin dikeluarkan. Tarik napas ... hembuskan.... Gina harus bisa jaga imej. Harus jadi wanita anggun.

"Ngelawak dong, Gin."

TE-LO-LET.

Mukegile, wanita anggun disuruh ngelawak. Mantabsoul, anjunice.

"A..apa? Nge ... ngelawak?" tanya Gina bingung. Lah dikira Kiev dia pelawak apa, ya?

Ya amplop, Kiev. Tidak puaskah dikau menjebak Gina dalam Fanzone. Sekarang dikau ingin menjebak Gina dalam Badut Zone? Sebatas menghibur kamu sajah gityu? Tega kamu, Maz. Tega.

"Iya, lo kan lucu, Gin," ujar Kiev seraya tertawa kecil. Aduduh, kalau Kiev udah ketawa manis kayak gitu, jujur aja nih, Gina suka enggak kuat. Bayang-bayang senyuman indah Kiev menyerang benaknya secara bertubi-tubi. Caelah, Kiev mentelolet-telolet-kan hati Gina banget ini mah!

TERUS APA TADI? KIEV BILANG GINA LUCU? INI SUMPAH TOLONG PEGANGIN GINA DEH, DIA KAYAKNYA UDAH MAU TERBANG AJA SAMA BURUNG BLEKOK KE RUMAH DION.

EH SALAH-SALAH.

NGAPAIN KE RUMAH DION, IDIH.

"Kalau itu mah udah dari lahir, Kiev. Muehehe," sahut Gina sambil mesem-mesem. Kiev pun hanya ketawa ganteng di seberang sana.

Nyaw! Nyaw! Rawr! Rawr! Nyaaaw!

Gina sontak memekik saat dua ekor kucing berlarian di hadapannya secara tiba-tiba. Kayaknya mereka lagi adu jantan dengan menjadikan genteng tempat Gina bersemedi sebagai arena pertandingan.

"Gina? Lo kenapa?" tanya Kiev dengan nada khawatir.

"Eh enggak papa-papa, Kiev. Bentar ya."

Ih, nih kucing garong ngerusak moment gue sama babang Kiev, ae! batin Gina kesal.

Gadis itu kemudian melesat masuk ke dalam rumah lewat jendela kamarnya tanpa sedikitpun menjauhkan handphone dari telinga. Setelah menutup jendela, Gina menghempaskan diri di atas kasur dan menghadapkan tubuh ke arah poster besar Kiev yang tertempel di tembok kamarnya.

Obrolan antara seorang idol dan fans itu pun mengalir begitu saja. Walaupun kebanyakan Gina yang mengoceh dan Kiev cuman ketawa-ketawa tampan. Sedangkan Gina kadang suka lepas kontrol ngakak kayak kuntilanak.

Mimpi apa Gina kemaren dah, bisa sedekat ini sama Kiev. Kalau kayak gini, mereka bukan cuman sekedar fans sama idola, bukan juga sekedar teman sekelas. Mereka udah jadi teman dalam arti yang sebenarnya. Yes, teman, cuy!

Seketika, Gina akhirnya dapat sedikit melupakan tentang accidental kiss bersama Dion. Sensasi bibir Dion masih membekas pada pipinya sampai saat ini. Cipokan tak sengaja itu sangat menyita pikirannya seharian penuh. Kalau kata lagu dangdut sih ya,

Kemanapun ada bayanganmu ...
dimanapun ada bayanganmu ...
di semua waktuku ada bayangmu....

Bukan kekasihku~

Mau makan teringat padamu ... mau ngupil teringat padamu ... Mau apapun teringat padamu.... Aih, stop stop stop, Evi Tamasya sudah lelah berdendang. Enggak ada yang mau nyawer juga.

Tapi ya ... ngapain pula Gina mikirin Dion. Belum tentu juga cowok itu mikirin dia.

"Gin," ujar Kiev setelah menghentikan tawanya karena banyolan-banyolan Gina yang enggak abis-abis.

"Iya?" sahut Gina.

"Em...." Kiev menggantungkan kalimatnya.

Gina lantas bingung sekaligus penasaran. Waduh, ada apa nih? Jangan-jangan ... jangan-jangan Kiev mau nembak dia? Hesemeleh, ge-er amat buset. Nggak mungkin, lah!

"Gina," sejenak Kiev kembali terdiam, "A..apapun yang terjadi, gue harap lo bakal tetap percaya sama gue."

Gina mengernyit bingung mendengar pernyataan Kiev yang begitu serius. Namun sejurus kemudian gadis itu mengulas sebuah senyum ketulusan.

"Pasti, Kiev. Gue akan selalu percaya sama elo."

Nomor yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi.

"Yaelah teleponan sama siapa sih? Lama amat sibuk mulu." Dion berdecak. Sudah beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi nomor ponsel Gina, namun yang ia dapati hanya suara wanita tak dikenal terus mengulang kalimat yang sama.

"Bodo amat lah," cetus Dion seraya melempar ponselnya. Tangannya meraih pulpen dan kembali berkutat dalam kegiatannya untuk menjawab soal demi soal dalam buku Detik-detik Ujian Nasional.

Dion berseru frustasi karena tak juga berhasil dalam menemukan jawabannya. Ia kembali memeriksa perhitungannya dalam rumus tersebut. Yaiyalah enggak nemu-nemu. Harusnya mengali Dion malah menambah. Cowok itu kemudian memandang tajam foto Gina yang berada di nakas tepat di samping tempat tidurnya.

"Gara-gara elu, sih!" tudingnya ke arah frame foto tersebut. Dion mendumal kesal dan mengacak-acak rambutnya.

Dion membanting tubuhnya ke atas kasur. Kepalanya menjuntai ke bawah pada tepian kasur tersebut. Ekspresi kesalnya kemudian berubah drastis dengan senyuman yang kembali terukir. Ia kembali mengingat-ingat momen accidental kiss itu. Jemari Dion terangkat untuk menyentuh bibirnya.

Cowok itu menggelengkan kepala kuat-kuat, berupaya untuk menyadarkan diri. Tangannya kemudian beralih untuk meraba dadanya tepat pada letak organ jantung berada. Terdengar keras dentuman dag dig dug ser di sana.

Kerang ajaib, ada apa dengannya?

***

Pagi ini Gina memasuki kelas dengan wajah berseri-seri. Kedua kakinya berjalan begitu ringan dengan senyum lebar yang terus saja menghias.

"Pagi, Mang Tatang!"

"Pagi, Bu Ratna!"

"Pagi, adek gemes!"

"Pagi, pohon mangga!"

"Pagi, awan di sana!"

Gina terus saja menyapa setiap objek yang dilihatnya dengan ceria sepanjang perjalanan menuju kelas. Sedangkan orang-orang yang melihat tingkah laku gadis itu hanya mengernyit heran sambil geleng-geleng kepala.

"Pagi---" Gina terlonjak melihat Dion yang muncul secara tiba-tiba di bibir pintu kelas. "Yon."

"Pagi juga, Nang," balas Dion sembari tersenyum tengil dan menaik-naikkan alis. Cowok itu memasukkan satu tangan ke dalam saku celana abu-abunya.

"Pagi, Kak Dion!" sapa dedek-dedek gemes yang kebetulan melewati kelas mereka. Dion hanya tersenyum manis kepada mereka yang langsung menahan jeritan. Sedangkan Gina memutar bola mata dan melengos melewati Dion. Namun seperti adegan FTV-FTV, Dion menahan lengan Gina hingga gadis itu menatap manik matanya.

"Nang, lo masih marah sama gue?"

"Kagak, biasa aja tuh," jawab Gina tak acuh. "Lo kan nggak sengaja."

"Kalau sengaja?"

"Lo mau gue tabok?" ujar Gina seraya melotot. Ia pun berbalik dan mulai melangkah ke bangkunya. Dion terkekeh geli dan mengekor Gina sembari mengacak lembut rambut gadis itu dari belakang.

Gina meletakkan tasnya dan menoleh pada Dion yang masih mengacak rambutnya. Menampilkan senyum jahatnya, Gina turut mengacak rambut Dion dengan sepenuh hati.

"Sampai kapan kita begini nih?" tanya Dion setelah kegiatan mereka itu berlangsung cukup lama.

"Makanya lu stop," ujar Gina.

"Lu duluan stop."

"Lu, lah. Kau yang mulai kau yang mengakhiri," sahut Gina tak ingin mengalah.

"Yaudah bareng," putus Dion.

"Satu,"

"Dua,"

"Tiga!"

Keduanya lantas tertawa kala tak ada satu pun dari mereka yang berhenti mengacak rambut masing-masing lawan, padahal penampilan rambut mereka udah nggak karuan. Tapi mending lah, dari pada jambak-jambakan. Jambak-jambakan mah sakitnya minta ampun.

"Ngapain, lo berdua?" tanya Shandy heran.

"Arlyn!" seru Gina kala melihat sosok Arlyn yang datang bersama Shandy. Gina pun mengacak gemas rambut Dion sebelum berlari ke arah Arlyn.

"Lyn! Elo tau nggak?" tanya Gina dengan mata berbinar-binar.

"Ya enggak atuh, Gina," sahut Shandy seraya melepas ransel Arlyn secara paksa. Cowok itu pun berjalan untuk menaruh ransel miliknya dan Arlyn.

"Makasih ya, Shan!" ujar Arlyn setengah berseru. Shandy hanya menunjukkan tanda oke dengan isyarat jarinya.

"Woy!" Gina memanggil Arlyn yang diam sambil tersenyum tipis ke arah punggung Shandy. Arlyn pun tergelagap dan menyengir ke arah Gina.

"Lo tau nggak, Lyn? Kemaren, Kiev nelpon gue!" Gina berseru antusias sambil mengguncang tubuh Arlyn.

Arlyn membelalak. "Gila, gimana ceritanya?!" respon Arlyn tak kalah heboh mendengar pernyataan teman sebangkunya itu. Bahkan Melin dan cewek-cewek lainnya juga udah merapat ke arah Gina dan Arlyn. Biasa, kepo.

"Ya gitu, deh. Dia nelpon gue, tapi dia kok nggak dateng-dateng ya?" tanya Gina sambil celingukan mencari-cari sosok Kiev.

Mendengar itu, Dion hanya termangu di bangkunya. Oh ... jadi itu toh alasan kenapa nomor ponsel Gina sibuk melulu. Ia lalu tersentak menyadari kehadiran Udin dan Shandy yang begitu tiba-tiba persis jailangkung. Kedua sohibnya itu mengusap-ngusap bahunya seolah menguatkan.

"Yang setrong, Masbro," ujar Shandy dramatis.

"Lo pasti kuat, kita selalu ada untuk lo," tambah Udin tak kalah melankolis.

Dion memandang tajam Jaenudin Jaja Miharja dan Shandy Prasetya di hadapannya. "Eh kesemek dua, mau gue gaplokin lo pada?" geram Dion penuh emosi.

Melihat Dion yang emosi, Udin dan Shandy lantas cekakakan. Shandy kemudian berdiri di belakang tubuh Dion dan langsung memijit bahu cowok itu. Sedangkan Udin kini menghempaskan pantat di bangku Galang yang belum juga datang. Udin lalu menarik dagu Dion untuk menatap ke arah Gina yang masih berceloteh heboh kayak tukang kredit panci.

"Elo liat dia," bisik Udin yang sudah terdengar seperti tukang hipnotis. Sedangkan Shandy hanya tersenyum tijel. Ia tau sekarang Udin udah menjelma jadi konselor sekelas Bu Ratna. Bedanya Bu Ratna konselor pendidikan, kalau Udin konselor cinta. Tsaaadest.

"Yon, elo emang kalah start. Tapi enggak menutup kemungkinan kalau elo yang nyampe finish duluan."

"Jadi, ini sudah hari keempat Galang, Lintang, Alvian dan Berlian tidak masuk kelas?" tanya Bu Ratna seraya menatap absensi. Murid yang lain pun membenarkan.

Dion menatap bangku kosong di sampingnya. Galang tidak ada di sana. Biasanya jika Dion sedang dilanda galau, ia sering meminta pendapat pada teman sebangkunya itu. Karena Galang mempunyai tanggapan yang sangat bijaksana dalam menanggapi suatu masalah.

Sebenarnya pada empat hari yang lalu Galang, Lintang, Berlian dan juga Alvian menghilang tanpa jejak saat istirahat kedua. Dion kira, mereka bolos berjamaah dan nggak mau ngajak-ngajak. Namun, ketika melihat mereka berempat tidak juga masuk kelas sampai hari ini, Dion yakin telah terjadi sesuatu yang tidak ia ketahui.

Mereka berempat itu seperti pusaran badai di permukaan air yang tenang. Entah apa yang terjadi, namun insting Dion berkata ada sesuatu yang rumit untuk dijelaskan di antara mereka. Sesuatu yang mereka sembunyikan rapat-rapat.

"Kiev Bhagaskara?"

"Nggak masuk, Bu!" lapor Udin sebagai ketua kelas.

Bu Ratna mengernyit heran. Tumben sekali Kiev tidak hadir tanpa keterangan. Biasanya, selebriti itu selalu berkonsultasi dan membuat surat izin jika ada jadwal yang berkenaan dengan kariernya.

Dion menatap Gina yang sedang memasang ekspresi kecewa karena Kiev yang tak hadir. Sedangkan Dion sendiri, entahlah ia juga tak tau apa yang ia rasakan saat ini.

Bel istirahat pertama pun berbunyi. Murid-murid mulai beranjak untuk menghabiskan waktu istirahat mereka di luar kelas setelah Bu Ratna undur diri. Tiba-tiba suara Udin mencekat langkah semua orang.

"Lo semua, buka Line Today sekarang!" perintah ketua kelas mereka itu dengan begitu serius. Bak panglima perang yang sedang memberitahukan musuh telah kian mendekat, tak ada sedikitpun ekspresi bercanda dalam guratan wajah Udin.

Lutut Gina melemas setelah membaca judul berita tersebut, ia hampir jatuh jika Dion tidak menahannya. Gadis itu menggeleng lemah tak percaya.

"Enggak, gue nggak percaya. Itu berita bohong. Nggak ... nggak mungkin!"

[BREAKING] Mega Bintang, idola remaja papan atas, Kiev Bhagaskara terjerat kasus kepemilikan narkoba.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top