4 - Damai?
DION
Gila-gila-gila nih cewek emang, gue tau dia itu garong, tapi nggak kayak gini juga kan?
Tapi kenapa gue juga ikut pea sampai ciptain drama jambak-jambakan layaknya pertandingan tinju itu. Dan sumpah, jambak-jambakan kita itu nggak kayak jambak-jambakan cewek menye-menye pada umumnya.
Ya lo tau sendiri si Gina bukan cewek tulen.
Tapi ya syukur lah nggak tonjok-tonjokan. Masa iya gue nonjok cewek, gila malu aja kali, bisa disunat dua kali gue. Kita sekarang berdua jalan jauh-jauhan menuju UKS macam anak TK yang lagi musuhan. Tapi bukannya sekarang ini kita emang lagi musuhan? Ya, sekarang bedanya kita adalah dua remaja SMA, bukan anak TK ingusan lagi.
Gue semakin bete setelah melihat penampilan gue di kaca-kaca jendela ruangan yang kita lalui. Gila hampir ilang ketampanan gue dengan rambut macam sarang burung dan hidung disumpel tisu gini. Tapi Gina parah juga sih, tampilan rambutnya udah kayak perpaduan rambut nenek lampir sama Nyi pelet.
Gina lagi asik ngutak-ngatik ponsel dengan sok seriusnya. Perhatiin keadaan gue kek, apa kek, nggak ada rasa bersalahnya apa gimana sih ini bocah? untung juga hidung gue nggak patah. Akhirnya, kita tiba di depan UKS, terdengar pembicaraan dari dalam yang membuat perhatian Gina teralih dari ponselnya.
"Untung dulu pas pelantikan Pramuka kak Gina jadi koor acara. Coba dia jadi korlap, gila mati aja kita."
"Gila ngeri banget kak Gina sampai hidung kak Dion berdarah gitu."
Gue melirik Gina yang sedang menunjukkan ekpresi yang-- err sulit didefinisikan. Gina melepas sepatunya dan masuk ke UKS mendahului gue.
"Iya betul banget tuh, liat aja kalau hidung kak Dion-ku yang ganteng kenapa-napa bakal gue...." Salah satu cewek itu melotot terkejut melihat kedatangan Gina dan gue layaknya dia lagi ngeliat hantu. Sedangkan cewek satunya --dia duduk membelakangi gue dan Gina-- betul-betul dah congornya.
Gue nggak tau harusnya gue seneng dibilang ganteng oleh cewek yang gue sinyalir sebagai salah satu dari fans gue itu apa gimana, tapi gue entah kenapa jadi merasa nggak enak sama Gina yang--- yah kalian taulah diomongin orang di belakang gimana paitnya, ibarat minum jus pare dicampur kopi. Sedangkan gue jamin ini bocah kalau di depan 'manisnya' bakalan minta ampun. Tapi ya kayaknya wajar ini terjadi karena sekarang mungkin banyak lagi di luaran sana yang sedang gosipin kita berdua setelah kejadian tadi.
"Bakal lo apain?" Seketika dua adik kelas sepuluh itu diam dan menatap Gina horor.
"Ng... nggak Kak, nggak papa. Saya permisi," kata tuh cewek gelagapan dan bergegas ingin meninggalkan ruang UKS.
"Oh iya, latihan pramuka nya yang rajin yah adik-adik sayang. Kalau nggak, kakak bakal mengajukan diri jadi korlap biar bisa ngejar kalian satu-satu kalau nggak hadir," Gina ngancem. Nada bicaranya boleh manis, tapi mata sama smirk nya itu ngalah-ngalahin iblis penjaga neraka. Si adik kelas jadi gemetar dan gue khawatir tuh anak bakal pipis di celana.
"I-iya, Kak." Itu anak langsung kabur meninggalkan seorang temannya yang bingung mau kabur juga apa kagak.
"Heh lo," tunjuk Gina pada cewek itu. "Lo jaga kan? Obatin nih si curut ganteng kesayangan kalian."
Gina kemudian menoleh ke arah gue. "Eh bakiak, gue keluar dulu."
"Mau ke mana lo?" tanya gue penasaran.
"Serah gue lah, tenang aja gue nggak bakalan kabur."
Setelah ngomong itu Gina langsung ngacrit keluar tanpa melihat gue lagi. Meninggalkan gue bersama anak PMR yang bingung plus linglung mau melakukan apa. Mending gue berduaan sama Gina yang walaupun barbar gitu tapi gue kenal.
Gue melepas sumpelan tisu yang udah berapa lama nangkring di hidung gue. Emang ngeselin banget tuh si Gina, udah bikin gue begini juga nggak ada tanggung jawabnya sama sekali.
"Anu... Kak. Itu idungnya di ke atasin."
Gue mengernyit. "Keatasin gimana?"
"Eh maksudnya kepala Kakak di keatasin kayak gini supaya darahnya berenti." Itu cewek mendongakkan kepalanya memberikan contoh dan gue pun lantas mengikuti.
Tiba-tiba, bel masuk pelajaran ke enam berbunyi. Cewek itu keliatannya runyam banget kayak kucing yang mau lahiran. Eh ... nggak deng kayak ada sesuatu yang mengganjal gitu.
"Anu, Kak," suaranya kemudian.
"Apa?"
"Saya sekarang ada ulangan di kelas."
"Ya udah masuk sana." Gue bertitah. Dia mengangguk dan langsung beranjak memakai sepatu.
"Oh iya makasih ya Dek," ucap gue tulus. Nih kayak gini gue demen, punya adek kelas sopan, ramah-tamah, nggak neko-neko. Setelah mengangguk menanggapi, dia keluar dari UKS dengan mata gue yang meiringinya walau masih dalam posisi kepala yang menengadah.
Baru aja malaikat keluar--- Eh si setan malah masuk. Matanya membelalak ngeliat gue. Tapi yang lebih bikin gue kaget sekaget-kagetnya lagi saat dia dengan tergesa melepas sepatu dan berlari menuju gue. Tangannya menangkup sisi wajah gue dengan kedua tangan. Dia menurunkan kepala gue kembali jadi posisi datar. Untuk sepersekian detik kita bertatapan dengan kedua tangannya yang masih memegang sisi kepala gue.
Buset, kok gue deg-degan?
"Lo ngapain lagi deh kayak gitu. Bahaya tau," omel dia kemudian sambil melepaskan kedua tangannya.
"Bahaya apaan? ini gue disuruh cewek tadi buat darahnya cepat berhenti."
"Bahaya kalau darah lo balik, nyasar ke tenggorokan lo bisa muntah darah. Apalagi nyasar ke ke kerongkongan terus ke lambung, bisa iritasi lambung lo." Gue speechless mendengar perkataan Gina yang entah sejak kapan jadi pinter. Apa ini karena rambutnya udah banyak copot gara-gara gue jambak, sehingga otaknya geser ke arah yang lebih baik, ya?
"Terus tuh cewek mau bunuh gue apa gimana?" tanya gue sewot.
"Ya nggak sih, itu kan emang sering dilakukan kebanyakan orang saat mimisan, mungkin dia belum tau bahwa itu bisa membahayakan."
"Ah elah, Nang, yang bikin idung gue kayak begini siapa coba?"
"Diem mpret, mau diobatin kagak?!" Gina mendumal sambil menyiapkan daun-daun yang entah dia dapat darimana.
"Darimana lo dapat tuh daun?"
"Apotek hidup."
"Lo tadi pergi ke sana?"
"Hm," dia cuman berdeham sibuk sama daun-daunnya itu.
"Asli yakin nih?"
"Iye ah bawel, gue pernah praktekin pas Pramuka tapi ya karena gue lupa-lupa inget gue baca-baca lagi di mbah google."
Ohh jadi itu dia ngutak ponsel tadi lagi nyari-nyari cara buat berentiin mimisan, harus tersanjung apa nggak nih gue?
"Percaya gitu sama mbah? Apa jangan-jangan lo mau bikin gue mati dengan cara alus Nang," cibir gue. Dia sontak mendesis.
"Bawel amat sih, Nyet. Web terpercaya nih, lagian gue tuh udah ada niatan baik yah buat ngobatin lo, gue nggak ada rencana masuk penjara diusia muda dan ngerusakin masa depan gue yang cemerlang cuman untuk ngehabisin nyawa seonggok curut kayak lo ya!" omel dia dengan tampang sewot.
"Iya deh, Ndoro. Percaya percaya, ini daun apaan sih?" tanya gue heran.
"Daun sirih oon, gitu aja nggak tau."
"Yang buat nenek-nenek mutihin gigi itu?"
"Hm."
"Yang buat ekstra pembersih kewanitaan itu?" Dia langsung melotot menoleh ke arah gue. Dih, Gina emang cewek ternyata. Masih tersinggung kalo bahas hal-hal sensitif cewek macam itu. Ya kalau iklannya ada di tipi gitu gimana gue nggak tau coba?
"Yon, sampah banget mulut lo dah."
Gue cuman ketawa ngelihat muka dia yang merah marah malu gitu. Gila, seorang Gina blushing? Entah kenapa gue jadi pengin ngakak sampai ngompol lihat komuknya itu. Tapi kemudian ekspresinya udah biasa aja. Dia tetap serius dan well, gue akuin amat telaten dengan apa yang dilakukannya. Dia menarik kursi dan duduk di hadapan gue yang sedang duduk di atas kasur UKS. Tangannya mulai masukin gulungan daun ke hidung gue. Tatapannya lurus dan serius.
Gue malah nggak sadar mengobservasi wajahnya yang cuman berjarak dua telapak tangan dari wajah gue. Matanya bulat terang yang bakal adorable banget kalau lagi senyum-senyum memuja saat nonton video-video Kiev kesayangannya itu atau matanya yang bakal berapi-api kalau lagi gue ledekin. Matanya yang bikin gue benci diri gue sendiri saat ngeliat itu mata berkaca-kaca atau sorot matanya yang meneduhkan seperti sekarang ini, walaupun dengan rambut yang yah seperti gue tadi bilang, rambutnya bagaikan perpaduan model rambut Mak lampir sama Nyi pelet.
Gaya Gina yang slengean dan terlihat nggak bisa ngurus diri kayak cewek-cewek kebanyakan. Pakai baju dan rok kedodoran berbanding terbalik sama kebanyakan cewek yang diketat-ketatin. Dan dia ... menarik.
Astoge, Dion sadar. Dia ini cewek barbar yang selalu lo usilin dan udah ngelukain bini lo yaitu si Manis.
Namun, ngomong-ngomong manis gue tersadar ketika nih cewek ketawa dengan-- harus gue akuin ketawanya manis banget menampilkan gigi gingsulnya itu.
Dion wake up, Man!
"Kenapa lo jadi ketawa?" tanya gue heran sambil menahan sneyum mati-matian. Gina yang tadi cekikikan malah berubah jadi ngakak abis-abisan sampai matanya ngeluarin air.
"Gila lo lucu banget Yon," katanya disela-sela tawa. Gina mengusap air matanya yang keluar dari sudut mata.
"Coba lo ngaca deh, udah rambut jabrik macam kesetrum, idung disumpel dedaunan ijo," lanjut Gina lagi sambil terus tertawa.
Gue sontak kesal lalu mengacak-ngacak rambutnya yang sebenarnya udah acak-acakan itu. "Yeee, elo kira muka lo nggak lawak juga? Tuh rambut lo udah kayak Mak lampir sama Nyi pelet bersatu, tau!" Giliran gue yang ketawa melihat muka cemberutnya. Dia beranjak dan melihat penampilannya sendiri di kaca helm yang berada di pojokan ruang ini. Entahlah, gue juga nggak tau tuh helm punya siapa.
"Astaga! Jadi gue tadi jalan jauh-jauh ke apotek hidup nggak sadar rambut gue macam gini dong?! ya pantas aja gue diliatin anak kelas tiga kayak gitu banget."
Ya emang kalau mau ke apotek hidup itu harus ngelewatin kelas XII IPS 6, yang udah terkenal sebagai sarang penyamun pelita Angkasa. Jenderal dan panglima tawuran di situ semua noh, belum lagi karakter mereka yang biasa godain cewek-cewek. Nggak bisa bayangin gue gimana caranya Gina kebal bisa lewat sana. Apa noh anak-anak kelas tiga mungkin udah sadar bahwa yang lewat itu adalah cewek jadi-jadian yang tadi kalap di lapangan.
"Ini semua gara-gara lo, udah digigitin serangga. Diketawain anak kelas tiga pulak, huh!" dengus Gina sambil merapikan rambutnya dengan tangan.
"Elo sih nggak bilang-bilang, kalau tau, kan gue bisa temenin." Dia menatap gue sambil mengangkat satu alis.
"Temenin ngetawain maksudnya," timpal gue kemudian. Dia mencibir saat mendengar gue kembali ngakak dengan puasnya.
"Heh! lo sama-sama hina kayak gini jangan saling menjatuhkan ya." Tunjuk dia pada gue, dia kemudian ketawa mentertawakan kalimatnya sendiri. Dan kita lantas ketawa bareng-bareng. Tapi tawa gue berhenti saat melihat tangan Gina yang terluka. Itu tangan dia luka 'kan juga gara-gara gue secara nggak langsung.
"Sini tangan lo, luka lo kebuka lagi tuh." Gue mengambil obat merah, kassa dan juga plester.
"Gue bisa sendiri," elaknya.
"Udah sini gue aja, emang enak ngebalut pakai tangan kiri?" Gue meraih tangannya secara paksa.
"Yon."
"Hm?" Gue masih melilitkan kassa ke tangannya yang terluka.
"Maafin gue, ya."
"Buat?"
"Idung lo sama si manis."
Kedua ujung bibir gue lantas terangkat. Tipis.
"Tarik nggak."
"Maksudnya?"
"Omongan lo, tarik dulu. Harusnya gue dulu yang minta maaf udah rusakin benda kesayangan lo itu." Gue menatap matanya setelah selesai merekatkan plester.
"Oke, tapi gue belom ikhlas sepenuhnya lo ya," kata dia sewot.
"Si Manis apa kabar Coy," celetuk gue yang bikin dia rada mikir.
"Hehehe." Eh dia malah nyengir dan gue juga nggak bisa menahan cengiran karenanya.
"Ini mungkin jadi salah satu sejarah hidup gue paling konyol,"
kata Gina seraya menatap gue serius, senyum gingsulnya juga tetap terpatri. "Kebayang nggak sih nanti gue cerita sama anak gue, gue pernah berantem sama cowok secara gila-gilaan. Berantem ... dalam arti yang bener-bener berantem kayak kita tadi," cerocosnya ceria.
Ah elah Rengginang, SMA juga baru kelas dua ngomongin anak-anak segala. Masih jauh. Ujian belum. Calon aja juga mana ada dia.
"Gue nggak bakal biarin anak lo denger itu cerita."
"Yeee suka-suka gue, anak-anak gue."
"Ya siapa bilang anak gue."
Kok jadi geli gini ya? gue kemudian ketawa dan dia juga ketawa. Asli sudah berapa kali kita ketawa bareng selepas ini? Padahal mungkin belum sampai sejam setelah pertarungan kita yang rada-rada ganas tapi konyol itu berakhir.
"Emang lo mau kawin sama siapa, hah?"
"Yaa sama Aa Kiev mungkin," katanya dengan senyum menggelikan. Kedua tangannya menangkup pipi.
"Jangan kebanyakan ngayal susah jadi bini artis."
"Yeeee biarin kaleee. Nggak suka banget liat gue seneng."
"Iye iye, moga jodoh dah lo sama tuh sabun Giv." Gue coba menyenangkan hatinya dan nggak merusak mood dia lagi. Cari aman, Sob. Gue kan udah rusakin merchandise punya dia tuh.
"Aaaaah, eloo. Malu gue nih. Ya udah nanti lo jadi saksi nikahan gue yaak."
Rasanya pengin gue usel-usel di ketek ini anak ngeliat dia salting najong kayak gini. Ampun dah, baru aja tadi gue rasa Gina kalem adem ayem, eh saat bersangkutan Kiev gini otaknya malah geser lagi.
"Apelo kata dah Nang, asal lo bahagia."
"Dion uduh-uduh cocwittttt," dia mencubit pipi gue dan melepaskan daun yang menyumpal hidung gue.
"Wow, Dion lo jadi ganteng kuadrat!" Matanya berbinar-binar alay.
"Muji-muji deh. Iya, tau gue ganteng. Nanti amplop gue paling tebel dah pas lo nikah sama tuh sabun."
"Wuduh, kegantengan lo makin nambah bujubuset, bisa kalah saing nih pangeran."
Terus aja kita ngomong ngalor ngidul sampai dua orang itu menginterupsi.
si garong xD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top