15 - Henti

AUTHOR

Hari ini Gina datang ke sekolah. Walaupun belum pulih banget, tapi Gina merasa dia terlalu sehat untuk diam di rumah. Lagian bosen juga, sepi berduaan sama Bi Ijah doang. Mending sekolah ae bisa ketemu sama temen-temen.

Yoi, temen.

Saat pulang sekolah Gina, Dion dan Berlian berjalan beriringan menuju tempat parkir.

Gina nggak tau bahwa Berlian ternyata juga ngefans sama Kiev. Tapi nggak se-fanatik Gina sih, cuman suka-suka gitu doang katanya.

Dion tersenyum melihat kedua cewek itu bercengkrama dengan asiknya. Apalagi melihat mata berbinar Gina dengan congornya yang udah kayak knalpot bocor kelewat antusias saat membahas idola kesayangannya, si Sabun Giv.

Terlihat dari kejauhan mobil berwarna hitam legam yang biasa menjemput Berlian terparkir di depan sekolah.

"Emang lo harus selalu balik sama mereka, Li?" tanya Dion penasaran saat ia lihat dua orang bertubuh tegap di dalam mobil. Berlian lantas mengangguk.

SMA Pelita Angkasa merupakan sekolah swasta elite dengan berbagai latar belakang siswa-siswinya. Dari yang kere sampe yang tajir melintir.

Sudah diketahui bahwa Berlian adalah seorang putri semata wayang dari pengusaha sukses ternama. Namun pembawaan seorang Berlian Aurelia begitu sederhana. Gadis itu sangat merakyat.

Berbeda dengan sebagian kaum borju di Pelita Angkasa yang membentuk kubu alias geng sesama anak orang tajir yang hobinya cuman foya-foya. Tapi nggak semua kayak gitu, masih banyak Berlian yang lain bersemayam di Pelita Angkasa. Bahkan ada juga yang menyembunyikan statusnya sebagai anak orang kaya.

Selain Berlian ada banyak murid yang juga memakai jasa bodyguard, biasanya sih cewek dengan status anak pejabat, anak CEO dan masih banyak lagi anak-anak yang lainnya. Yang pasti anak orang deh bukan anak monyet.

Berlian sih mending cuman di jemput doang pake bodyguard, nggak diintilin mulu kemana-mana. Dikira sekolah terminal senen banyak preman gitu pake dijaga-jaga?

"Lo nggak takut apa sama mereka, Li? Tampangnya horor semua," oceh Gina pelan.

Berlian tersenyum. "Mereka baik, kok."

"Kayak anak Presiden aja lo, Li. Coba liat noh yang botak, tampang paspampres gitu ye," komentar Dion yang lantas ketawa bersama Gina.

Mereka mulai berhenti ketawa saat melihat ekpresi Berlian yang berubah.

"Eh... maafin kita ya Li, kita nggak maksud...."

"Nggak papa kok, Na." potong Berlian. Gadis itu memandang lurus ke arah mobilnya. "Gue juga pengin kayak orang kebanyakan. Tapi ya mau gimana lagi. Lagian ini buat kebaikan gue juga kok," ujar  Berlian, tidak lupa dengan senyumnya yang hangat.

"Li...."

"It's okay, guys."

Dion dan Gina mengerti. Untuk orang kelewat kaya macem Berlian dan kaum borju lainnya, keselamatan mereka memang acapkali terancam. Entah dari musuh perusahaan orangtua mereka atau orang jahat dengan berbagai motif lainnya di luar sana.

"Yaudah, gue balik ya Na, Yon," pamit Berlian sambil melambaikan tangannya.

"Dah, hati-hati ya, Li."

Gina dan Dion menarik napas panjang saat melihat Berlian beserta mobilnya berlalu meninggalkan kawasan sekolah.

"Susah ya, jadi orang kaya."

Dion mengangguk. "He-eh, jadi bersyukur gue sama gue yang sekarang."

"Sama. Gue juga," kata Gina setuju.

Tiba-tiba ponsel Gina bergetar.

"Halo... iya A? Hah? Lama amat, iya iya gue tunggu. He-eh. Yodah deh----Iya Aa sayangkuh. Bay."

"Kenapa, Na?"

"Aa katanya baru bisa jemput satu jam lagi. Gue disuruh nunggu."

"Yaudah gue temenin deh, entar lo di culik, lagi."

Gina melotot ngeri. "Amit-amit."

"Makanya itu gue temenin, sekarang kita makan di seberang aja gimana?" ajak Dion.

"Yuk dah."

Gina dan Dion berjalan menuju rumah makan di seberang jalan. Seperti biasa Gina bereaksi heboh saat akan menyeberang. Gadis itu mencengkram ransel Dion erat.

"Ck, sumpah ya, kayak nenek-nenek lo, Na." Dion mencibir.

Gina cemberut, sudah berapa kali sih Dion manggil dia nenek-nenek?

Dion menyunggingkan senyumnya saat melihat bibir Gina yang manyun kayak donald bebek. Cowok itu melepaskan tangan Gina dari ranselnya dan menautkan jemari mereka.

Dengan langkah beriringan dibimbingnya gadis itu sampai ke seberang.

Gina menatap Dion dan tangan mereka yang terjalin berulang kali.

"Jantung, please bisa biasa aja nggak sih?"

"Gue berhenti deketin Berlian."

Mata Gina melotot maksimal setelah mendengar pernyataan Dion. Bahkan dengan mati-matian Gina menahan nasi goreng yang ada di mulutnya agar tidak muncrat keluar.

"Anjir, serius?!" seru Gina setelah susah payah menelan makanannya.

Dion mengangguk yakin.

"Seriously, why?" tanya Gina lagi masih belum percaya.

Dion diam berpikir. "Hmm, dia masih nunggu seseorang."

"Ya ampun, Yon. Karena itu doang lo nyerah?"

Nggak sih. Masih banyak alasan lainnya.

Termasuk lo, Na.

"Yon. Seriusan deh lo cemen banget."

"Dia itu juga terlalu misterius, Na. Gue nggak bisa tembus dinding yang dia bangun," kata Dion santai sembari memainkan tusuk gigi.

"Lo asli serius?"

"Iya bego. Gue berhenti deketin dia. Gue stop."

Gina nggak tau, tapi salah nggak sih kalau dia ngerasa seneng?

"Tapi lo bener-bener yakin nih? Usaha lo itu dikit banget loh, Yon. Juga sebentar banget."

"Gue rasa, gue cuma penasaran sama dia. Yang pasti, gue nggak ngerasa patah hati atau apapun itu asal lo tau," jelas Dion serius.

Mata Gina menyipit. "Hm, gitu ya Mas."

Dion kemudian tersenyum manis. "Iya, sekarang gue pengin fokus untuk membahagiakan lo aja dah, Nang."

Gina langsung keselek. "A-apa lo bilang?!"

"Santai dih, Nang. Ngaku aja lo, lo ngerasa menjanda 'kan, saat gue sama Lian?" Dion menaikkan alisnya tinggi-tingi.

"MENJANDA?" pekik Gina tak santai.

"Nggak usah lebay, ngaku aja."

Ya ampun. Emang bener sih. Tapi mau naroh muka kemana kalo ngaku. Gengsi cuy!

"Demi seluruh bulu hidung koala, itu adalah fitnah paling kejam wahai Dion," ujar Gina sarkas.

Dion ketawa lagi. "Duh jadi makin sayang gue sama lo."

"Yon, ini sambel kalo di cocol ke mata, bahaya loh," kata Gina pedes.

"Tuh kan imut banget sih." Dion mencubit pipi Gina gemas.

"Kasian gue sama lo, Yon. Kita ke RSJ yah?"

"Ayok, berdua sama lo, 'kan?"

"Sarap!"

"I love you too."

"Masha Allah." kata Gina geregetan.

"Kupinang kau dengan bismillah."

"DION!!" pekik Gina kesal dan menendang kaki Dion di bawah meja.

Dion ketawa makin kenceng sedangkan Gina mukanya udah merah kayak kepiting rebus diguyur cabe.

Gina mencibir pada Dion yang masih terbahak. Lalu perhatiannya tertuju pada seseorang yang baru saja datang.

Seorang cowok yang usianya mungkin sepantaran dengan Gina dan Dion. Cowok itu memakai topi hitam dan jaket kulit yang membalut tubuhnya. Ia kemudian duduk di meja dekat Dion dan Gina.

Dengan tangan menggenggam ponsel di telinga, cowok itu berbicara dengan serius.

"Pokoknya saya tidak mau tau, saya harus masuk sekolah itu secepatnya." Suaranya dingin dan mencekam.

"Saya tunggu." Cowok itu menutup ponselnya lalu menatap Gina tajam. Seolah tau bahwa gadis itu memperhatikannya sejak tadi.

Gina tergugu dan langsung mengalihkan pandangan.

"Gila, sadis amat. Gue 'kan hanya  mengagumi kegantenganmu, Mas," gerutu Gina dalam hati.

Dion yang melihat aksi pelototan sadis dari cowok asing itu ke Gina hanya bisa terkekeh pelan  saat melihat wajah Gina yang langsung memucat. Siapa suruh liatin orang kayak gitu banget.

Dion mengirimkan pesan line pada Gina.

Dion A.A; Mampus lo koit kan, makanya mata tuh dijaga wkwkkw

Gina mengernyitkan kening saat melihat notif line dari Dion.

F.Angginaf; BACOT!!!!

Gina berusaha untuk tidak mencekek Dion sampai mati saat ini juga. Ekspresi Dion bener bener pengin dibacok banget dah.

Cewek itu mendengus kasar. Matanya kembali melirik cowok misterius itu yang untungnya lagi sibuk dengan kertas yang entah isinya apa.

"Ganteng sih kayak Arab, tapi sadis kayak setan."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top