13 - Sakit

AUTHOR

Hari demi hari Gina lewati tanpa Dion. Cowok itu hanya berada di sisinya saat pelajaran Bu Ratna, selain itu Dion akan kembali duduk bersama Berlian.

Ya... karena Gina sendiri sih yang nyuruh sebenernya.

Gina ngerasa dodol banget-bangetan tentang fakta bahwa dia menyukai seorang Dion. Apalagi Dion jelas-jelas naksir Berlian dan keliatannya mereka makin hari jadi semakin dekat. Ke mana-mana selalu berdua, ke kantin berdua, ke perpus berdua, ke parkiran berdua, ya untung aja ke toilet nggak berdua.

Sedangkan Gina sehari-harinya harus rela jadi obat nyamuknya Shandy dan Arlyn yang entah kenapa jadi makin mesra aja. Atau berdua bersama Melin membincangkan Kiev sampai mulut berbusa.

Jujur, Gina nggak suka perasaan yang menyeruak di hatinya, dia nggak biasa, dia benci rasa itu. Rasa yang membuat otaknya berpikir lebih rumit dan bikin dia jadi lebih banyak ngelamun. Rasanya Gina pengen banget dirukiyah atau ngejedotin kepalanya ke tembok ribuan kali.

Perlahan Gina mencoba biasa, membuang rasa itu jauh-jauh. Dan gadis itu bersyukur bahwa organisasinya sekarang lagi superduper hectic. Akhir-akhir ini Gina selalu pulang sore untuk mengurus keperluan organisasi dan melihat adik kelas dan teman-temannya yang latihan untuk mengikuti lomba besar tingkat provinsi.

Seperti sore ini, Gina turun dari motor tepat di depan sanggar pramuka dengan membawa galon besar di depan motornya. Gadis itu kemudian mengangkat galon itu dengan susah payah. Gina menarik napasnya teratur dan berjalan cepat menuju sanggar agar siksaan beban berat yang ada di pelukannya segera berakhir.

Seseorang dengan seragam basketnya berlari ke arah Gina disertai dengan senyuman lebar.

"Gila lo setrong amat, Na. Ngangkat galon sendirian," ujar Dion sembari membantu Gina mengangkat galon.

"Nggak usah. Gue bisa sendiri kok."

"Heh, lo nggak nyadar apa udah kayak nenek-nenek maksain ngangkat galon, lagian anak buah lo pada kemana?"

"Mereka bukan anak buah gue, dodol. Sibuklah lagi latihan. Lo nggak liat mereka di lapangan depan?" Gina kemudian menendang pintu sanggar sampai terbuka. "Udah lepasin gue bisa ngangkat ke dalam sendiri." Gadis itu melepas sandal jepitnya yang berwarna merah sebelum memasuki ruangan itu.

"Alah nggak usah sok kuat lo, Na," kata Dion bergeming.

Langkah Dion kemudian tercegat karena seruan Gina. "Eh kalau mau masuk lepas sepatu lo, Nyet!"

Dion mendengus dan melepas sepatunya asal. Cowok itu kemudian memasuki markas besar anak pramuka dengan nuansa warna cokelat yang dominan.

Mereka meletakkan galon di samping dispenser.

"Lo sendiri nggak ikut lomba? Biasanya juga nggak pernah absen," tanya Dion sembari memperhatikan Gina yang sedang membuka penutup galon dengan menggunakan pisau.

"Nggak, gue nggak dikasih ijin sama nyokap, lombanya kemah satu minggu." Gina kembali mengangkat galon untuk dipasang ke dispenser.

Dion lantas merebut galon itu dari Gina dan dengan cepat memasangkannya.

"Thanks, Yon." Gina menghela napas sebelum memilih duduk di atas lantai marmer yang dingin dengan kaki berselonjor. Ia kemudian menyenderkan diri ke dinding dan duduk senyaman mungkin, memejamkan mata sembari mengatur napasnya yang terengah. Dion ikut duduk di samping Gina setelah selesai dengan pekerjaannya.

Dion menatap Gina lekat. Cewek itu kelihatan lebih tirus, kantung matanya yang mencolok dan aura yang tidak seterang biasanya. Gadis itu tampak redup.

Mata Gina perlahan terbuka dan mengernyit bingung saat kedua mata Dion menyambutnya.

"Kenapa liatin gue?" tanya Gina heran.

Dion senyum. "Mau liat aja."

"Najis," desis Gina tajam.

Tangan kanan Dion terulur untuk mencubit pipi Gina. "Lo ngapain aja sih? Keliatannya capek banget."

Gina menggeleng. "Nggak tau juga." Gadis itu kemudian memandangi langit-langit. "Elo sendiri gimana sama Berlian?"

Hening sebentar. "Biasa aja."

Gina menoleh dan menatap wajah Dion bingung. "Biasa aja? Maksudnya?"

Dion cuma senyum. Cowok itu kemudian melihat jam tangannya. "Kayaknya anak basket udah pada dateng, gue cabut dulu, Nang."

Dion mengacak rambut Gina lama sampai gadis itu berteriak kesal. "Dion!!!!!!!"

Dion bangkit sambil terkekeh dan segera berlari keluar sebelum Gina mengamuk.

Alih-alih mengejar Dion, Gina hanya menghela napas berat dan menatap Dion nanar.

Dia nelangsa lagi.

Hari baru, tawa baru, cerita baru.

Dion menatap geli Gina yang sedang memasukkan kepala ke dalam ransel sekolahnya. Sudah dapat Dion pastikan gadis itu akan tidur dengan damai di dalam sana. Ya, tidak salah lagi, bisa dilihat bahu Gina bergerak naik turun teratur seiring dengan tarikan napasnya. Tanpa sadar Dion jadi terkekeh sendiri.

"Yon."

"Eh iya kenapa, Li?" tanya Dion seraya menoleh pada Berlian yang duduk di sampingnya.

"Kenapa lo ketawa-tawa?" tanya Berlian penasaran.

"Itu coba lo liat deh, Li. Si Gina lucu banget tidur masukin kepalanya ke dalam ransel." Dion menujuk ke arah Gina. "Kayak kura-kura."

Berlian ikut tersenyum geli. Bukan mentertawakan perilaku Gina seperti Dion. Dia hanya merasa lucu sendiri dengan cowok yang sedang tertawa tepat di sebelahnya.

Sudah berapa lama Dion duduk bersamanya dengan alasan bahwa telah terjadi peperangan yang kesekian kalinya antara Gina dan cowok itu. Makanya Dion terpaksa mengungsi.

Saat Dion mengutarakan alasan Gina marah padanya, Berlian mau tak mau membenarkan tindak pengusiran yang telah Gina lakukan. Ya, siapa yang nggak murka saat download-an yang udah 95 persen dibatalin gitu aja?

Di mata Berlian, Dion dan Gina itu teramat lucu. Berantem terus kayak tom and jerry. Namun ada fakta yang Berlian ketahui, yaitu Dion yang tidak pernah absen menceritakan tingkah laku konyol Gina setiap hari padanya. Bahasan cowok itu tidak akan jauh-jauh dari musuh bebuyutan yang merangkap teman sebangkunya itu.

"Kalian itu lucu tau nggak, Yon." Ucapan Berlian membuat Dion berhenti tertawa.

"Siapa?"

"Elo sama Gina."

Dion mengernyitkan dahi. "Kenapa gue sama Gina?" Cowok itu mengubah posisinya menghadap Berlian.

"Kalian itu kadang kayak Korut sama Korsel, kadang juga sweet banget kayak pemain FTV."

"Lo ngomong apaan sih, Li? Kagak ngerti gue."

"Lo suka sama Gina 'kan, Yon?" tanya Berlian dengan raut jenaka.

Dion shock. "Gue? Suka sama Gina? Konyol banget!"

"Gue serius, Yon. Lo cuma jailin dia buat narik perhatian dia doang, kan?"

"Lo kayaknya kebanyakan nonton drama deh, Li. Apa banget gue suka sama Gina, nggak pernah terbayangkan."

"Dibayangin dong, makanya."

Perkataan Berlian membuat Dion bungkam dan mulai terjebak dalam pikirannya sendiri.

Gue suka sama Gina?

Masa iya?

Saat jam istirahat kedua berlangsung Dion dan Berlian secara otomatis akan langsung melesat ke perpus. Berlian memang suka nongkrong di perpus setiap harinya.

Dion meraih sebuah buku science-fiction dan mendudukkan diri di samping Berlian yang sedang mencoret kertas gambarnya dengan lincah.

"Perasaan lo gambar dua anak ini mulu deh Li," komentar Dion sembari menilik gambaran Berlian.

Berlian menghentikan gerak pensilnya. "Eh iya. Lo bosen ya liatnya?" Berlian tertawa pelan.

"Mereka siapa emangnya?" Dion menatap gambaran Berlian yang berisi sepasang anak kecil yang sedang bermain ayunan itu.

"Ini gue sama temen masa kecil gue," jawab Berlian ceria.

"Oh... sekarang dia di mana?"

Ekspresi Berlian berubah sedih. "Gue nggak tau."

Dion mengernyit. "Lo udah nyari dia?"

Berlian menggeleng. "Gue nggak bisa nyari dia."

"Lo pengin banget ketemu sama dia ya?" tanya Dion simpati melihat ekspresi Berlian.

Cewek itu menghela napas kemudian mengangguk pelan.

"Kalau lo nggak bisa nyari dia, tunggu aja. Mungkin dia sekarang juga nyari elo," kata Dion sambil tersenyum.

Berlian menatap wajah Dion serius.

"Dan jangan pernah capek buat nunggu," tambah cowok itu lagi seraya menepuk pundak Berlian pelan.

"Gue nunggu seseorang yang nggak tentu bakal datang."

"Ya tentukan pilihan, lo bakalan nunggu dia atau berhenti."

Berlian memandang hasil gambarannya. Jarinya bergerak mengelus permukaan kertas.

Gue bakal nunggu lo.

Jam pelajaran terakhir memang merupakan momok terberat untuk para murid. Cuaca yang panas, perut laper, ngantuk, pokoknya pengin cepet-cepet pulang aja.

"Lo nggak pindah?" tanya Gina pada Dion yang masih saja duduk di sampingnya. Pelajaran Bu Ratna sudah selesai dari tadi.

"Nggak. Mager gue."

"Ye gimana mau maju pedekate-nya kalau mageran."

"Biarin dah. Lagi pewe."

"Terserah lo." Gina menelungkupkan kepalanya di atas meja dan kembali memejamkan mata.

Sepuluh menit kemudian Pak Kepsek memasuki kelas. Membuat Dion mengguncang bahu Gina pelan. Cewek itu kemudian bangkit dari posisinya dan duduk dengan tegak.

Orang nomor satu di sekolah tersebut langsung memulai kegiatan belajar mengajar. Beliau mengajar mata pelajaran Sejarah. Sejarah merupakan mata pelajaran yang bagi kebanyakan murid merupakan lagu pengantar tidur yang sangat tokcer.

Tapi itu tidak berlaku jika tenaga pengajar macam Pak Kepsek ini. Beliau tegas. Dengan perawakan tinggi besar, suaranya yang berat, dan image yang dingin. Dion memperhatikan penjelasan Pak Kepsek dengan seksama. Beliau menerangkan materi dengan lugas dan gampang dimengerti.

Tiba-tiba Dion merasakan beban pada bahu kanannya.

"Buset, Na." Dion mengendikkan bahunya membuat kepala Gina bergerak.

"Oy, bangun, Na." Gina masih pada posisinya. "Heh, lo mau cari mati, molor pas kepsek ngajar?" bisik Dion pelan.

Gina tetap diam. Dion mengguncang bahu Gina keras sembari menyuruh cewek itu untuk segera bangun. Cewek itu tidak memberikan reaksi apapun. Sampai kepala Gina yang bersandar pada bahu beralih jatuh ke pangkuan Dion, gadis itu tetap tidak bangun juga.

Dion menepuk pipi Gina.

"Waduh panas," lirih Dion saat ia menyentuh kening Gina, "Na, woy bangun, Na!"

"Gina? Oy!"

Dion lantas panik. Volume suaranya membesar membangunkan Gina. Teman-teman yang lain mulai memperhatikannya.

"Na! Lo kenapa?!" Dion melihat keringat dingin yang mengalir dipelipis Gina. Suhu badannya juga sangat panas.

"Hei kamu yang di belakang, ada apa?"

Dion bahkan mengabaikan pertanyaan Pak Kepsek. Kelas pun mulai ribut. Pak Kepsek berjalan mendekati meja Dion dan Gina.

"Kayaknya dia pingsan deh, Pak," kata Udin.

"Ya sudah kalian ambil tandu di UKS."

"Kelamaan, Pak. Biar saya yang bawa." Tanpa mendengar tanggapan kepsek Dion langsung menggendong Gina dan berlalu meninggalkan kelas menuju UKS.

Semua orang menatap Dion bak seorang pangeran dari negeri dongeng yang sedang menyelamatkan sang puteri.

Pak Kepsek tersenyum samar saat menatap punggung Dion yang berjalan cepat.

Dasar remaja.

"Sekarang kalian duduk di bangku masing-masing. Buka halaman selanjutnya," perintah Pak Kepsek.

Dion membaringkan tubuh Gina di kasur UKS. Tangannya bergerak untuk melepaskan kaos kaki dan sabuk yang Gina pakai.

Tak lama seseorang datang. Gadis itu meletakkan tasnya.

"Gina kenapa?" tanya gadis bernama Rinai itu. Dia adalah ketua PMR.

"Pingsan lah, masih nanya juga lo?" sahut Dion ketus.

"Lagi PMS lo bro? Maksudnya karena apa?"

Rinai kemudian mengambil langkah-langkah untuk membangunkan Gina.

"Gue nggak tau. Tiba-tiba dia jatuh ke bahu gue dan demamnya tinggi."

Dion memperhatikan Rinai yang sedang menangani Gina. Gadis itu amat telaten layaknya seorang dokter. Rinai kelas XI IPA 2 sekelas dengan Opal. Saat ini tidak ada kegiatan belajar mengajar di kelasnya jadi Rinai dapat melenggang santai ke UKS saat seseorang membutuhkan bantuannya.

Rinai menatap Dion. "Lo kalau mau balik ke kelas balik aja, Yon. Biar gue yang jaga Gina."

Dion diam. Dia tak ingin pergi.
"Nggak gue di sini aja," tegas Dion.

Rinai mengendikkan bahu. "Yaudah, terserah."

"Gina...." Rinai kembali memanggil Gina yang pernah sekelas dengannya waktu kelas sepuluh.

Perlahan mata Gina terbuka. Pemandangan pertama yang dia lihat adalah wajah Dion yang sedang memandangnya kuatir.

"Nang, lo bangun? Lo nggak papa? Ini angka berapa? Nama lo siapa?" tanya Dion beruntun. Rinai hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Dion.

Gina tersenyum lemah. "Lo pikir gue amnesia?" Gina berujar pelan. Amat pelan. Namun bisa membuat Dion menghembuskan napas lega.

Jangan pernah sakit lagi....





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top