Headcanon - Kaneko Kyo [ILUNA/NIJISANJI EN]

"Ah ... kambuh lagi," gerutu remaja yang terbaring di atas ranjang dengan sebelah tangannya terangkat ke atas. Membiarkan telapaknya terbuka lebar menghalangi sinar rembulan menembus iris kuning suram miliknya. Pemuda itu mengembus napas singkat.

Dadanya sakit. Nyeri. Berat. Sesak.

Kepalanya terasa ditumbuk. Berdenyut tanpa henti.

Sensasi menusuk menjadi hal terakhir yang dapat dia pikirkan. Setelah lagi-lagi pingsan di sekolah hanya untuk segera dilarikan ke rumah sakit dan dikembalikan ke kasur rumahnya yang tak ayal bagai penjara.

Padahal dia baru saja diberi izin dokter untuk pergi ke sekolah. Namun, belum juga sehari penuh merasakan kembali sensasi bersekolah, sekarang dia lagi-lagi harus berdiam diri merenungkan eksistensi di kamar berantakannya.

Ah, tidak juga. Sejujurnya dia hanya ingin meyakinkan diri kalau dia bahagia. Normal, seperti remaja-remaja lainnya. Tertawa bersama teman-teman, bercanda dan mengobrol mengenai topik gosip terbaru, bermain di lapangan sambil tertawa.

Pemuda itu hanya ingin percaya bahwa dirinya sama seperti yang lainnya, remaja biasa yang sehat dan normal. Tanpa infus yang harus melekat hampir setiap hari di balik telapak tangannya, tanpa alat bantu napas yang terkadang sama sekali tidak membantu meringankan sesak di dadanya, tanpa bayang-bayang mengenai masa depan tanpa harapan yang seringkali menghantui dirinya seolah hal tersebut merupakan kenyataan pahit yang harus dia terima.

Dokter bilang, dia bisa sembuh walau kemungkinannya kecil. Secuil keyakinan itulah yang membuat keluarganya terus berusaha menarik tali harapan agar membuahkan hasil di ujung tarikan kelak. Sayangnya, sebagai pemilik tubuh yang sebenarnya, pemuda itu lebih tahu dari siapapun kalau dirinya sama sekali tidak membaik. Rasa sakit yang dia terima hanya memburuk setiap harinya. Seolah keadaannya tidak cukup parah, frekuensi kehilangan kesadaran dirinya di sekolah semakin meningkat hingga kehadirannya di sekolah bulan ini rasa-rasanya bisa cukup dihitung dengan jari seseorang saja.

Malam itu tidak ada yang berbeda. Cahaya bulan yang menemaninya setiap malam, semilir dingin yang masuk dari celah jendela, bising khas malam hari itu membuat keadaan menjadi sempurna. Pas sekali untuk menenangkan dirinya yang lagi-lagi merasa kesakitan.

Kelopak mata remaja berambut bob tersebut terbuka. Telinganya menangkap suara asing dari tepian jendela kamarnya. Disusul dengan kedua mata yang membelalak saat melihat sinar rembulan menembus kaca jendela kamarnya.

"Cantik sekali," gumamnya bangkit dan berdiri di dekat cahaya yang jatuh di lantai dekat bayangan jendela.

Merasa ada yang memanggil, remaja itu mendongak. Terpantul di matanya, sosok rembulan yang seolah menyapa dirinya dengan memamerkan senyuman bersinar.

Rasa sakit di sekujur tubuh pemuda tersebut mendadak hilang. Adrenalin ganti menguasai diri. Kaki telanjangnya bergegas mengarahkan diri ke bagian teratas rumah, demi melihat lebih jelas sosok sebenarnya yang memanggil dirinya di malam hari seperti ini.

Sinar rembulan segera menyelubungi dirinya yang telah tiba di atas atap. Dengan penuh kebingungan, remaja tersebut mengerang sebelum kembali dibuat terkejut akibat seluruh tubuhnya yang terangkat oleh cahaya aneh. Membuatnya berteriak panik dan membawanya pergi menuju dunia lain.

***

Atau setidaknya itulah yang hendak remaja itu percayai.

Keesokan paginya, polisi menerima laporan penemuan mayat remaja lelaki yang masih mengenakan baju tidur. Diduga, pemuda tersebut melakukan bunuh diri pada malam sebelumnya dengan cara melompat dari atap rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top