BAB 40

Juliette ikut meringis saat Teressa terus-terusan menyeruput es kopi dari tumbler dengan raut penuh kernyitan.

"Kalau nggak enak, nggak usah dipaksa kali, Tess!" tegur Juliette tak tahan lagi.

"Sayang, Jul. Masih banyak."

"Lagian lo kenapa juga ganti asisten? Nana udah ikut lo bertahun-tahun. Dia salah apa?"

Teressa membetulkan duduknya agar lebih nyaman. Tidak seharusnya mereka membahas ini di jam kerja, apalagi deadline fashion show makin mepet. Menurut informasi terakhir, Juliette sudah menyelesaikan semua desain ditambah lima desain tambahan untuk ditampilkan di New York. Workshop mereka sedang sibuk-sibuknya merealisasikan rancangan Juliette.

"Gue mau cerita, tapi lo harus dengerin gue sampai selesai."

Juliette mengangguk.

Sekitar satu jam kemudian plus beberapa detail kecil yang ditanyakan Juliette, barulah responsnya yang berapi-api keluar. Semua isi kebun binatang disebutnya bersama kotoran. Teressa saja sampai terperangah.

"Kurang ajar," gumam Juliette sembari mengepalkan tangannya di atas paha. "Kenapa bokap lo sebajingan itu, sih!"

Teressa mengedikkan bahu pasrah. Dia saja yang tak beruntung dilahirkan dari sisi keluarga Hagi padahal dia tidak menginginkannya. Lagipula, mana ada sih anak yang bisa memilih lahir dari siapa?

"Terus si Linda gimana?" tanya Juliette.

"Terakhir, dia minta diceraikan."

"Cih, yang percaya diri bakal dapat harta gono-gini!" Juliette lagi-lagi mengumpat.

"Menurut lo gimana, Jul? Gue harus apa?"

"Ya, nggak harus ngapa-ngapain lah!"

"Eh?" Teressa mengernyit. "Maksudnya?"

Juliette memajukan tubuhnya ke depan, rautnya amat serius. "Jujur sama gue, lo masih butuh warisan dari bokap lo, nggak?"

Teressa sontak menggeleng. "Ini bukan urusan duit-"

"Justru itu! Keputusan lo tergantung duit!"

"Astaga, Jul!"

"Gue belum selesai ngomong." Juliette berdeham layaknya orator yang siap bicara. "Mau Linda jungkir balik, kek. Bokap lo terjun bebas, kek. Udah bukan urusan lo. Titik."

"Stevie?"

"Jadi urusan orang tuanya lah!"

"Tapi-"

"Sekali aja, Tess. Do nothing."

"Terus keponakannya Nana yang jadi adek gue, gimana?"

"Sebagai kakaknya, dan kalau lo peduli sama dia, lo bisa support finansial. Tunjangan adik atau semacamnya, masih bisa. Asal bukan dalam bentuk uang."

"Terus dalam bentuk apa?"

"Ya bentuk apa aja. Bisa beasiswa, tabungan aset, macam-macam. Yang bisa menjamin masa depannya nanti. Setidaknya lo bisa bantu itu seandainya lo merasa bertanggung jawab sebagai kakak."

"Si Nana?"

"Gila kalau lo beneran pecat dia. Mindahin dia ke divisi pemasaran aja udah keterlaluan. Semua orang di pemasaran tertekan sejak dia masuk divisi itu. Mereka ngira elo ngirim Nana buat jadi pengawas secara terang-terangan. Enggak ada yang nyaman kerja sama Nana karena dia dikenal dekat banget sama lo."

"Yaelah... ini kantor apa ladang gosip, sih?"

"Urusan kerjaan nggak ada hubungannya sama urusan pribadi lo. Pisahin. Kalau lo merasa Nana kerjanya bagus dan lo nggak terganggu, keep her."

"Tapi, gue malu ketemu dia, Jul. Risi. Apa ya sebutannya? Pokoknya semacam itu lah!"

"Itu karena lo sama dia belum dapat closure tentang masa depan anak itu. Coba deh kalau lo tunjukkin kalau sebenarnya lo tuh legawa sama nasib."

"Gue tuh capek kalau harus ngeberesin masalah yang dibuat bokap."

"Maka dari itu, do nothing. Linda sama bokap lo tuh orang dewasa, Tess. Mereka punya akal. Mereka harus menghadapi konsekuensi dari perbuatan mereka. Dengan lo ngasih kepedulian ke Stevie atau adek lo yang masih baby itu, lo udah berbuat banyak. Mereka juga korban. Sama kayak lo."

"Jadi sesama korban harus saling merangkul, gitu?"

"Semacam itu lah," tukas Juliette seraya menyeruput kopi dari gelasnya sendiri.

"Enak?" tanya Teressa tiba-tiba. "Minta, dong!"

Juliette mengulurkan gelas kopinya pada Teressa karena kasihan pada sahabatnya yang terus-terusan mengernyit saat minum kopi encer.

"So, how's marriage?"

"Not bad!" Rasanya memang tidak buruk, baik kopi Juliette maupun pernikahannya dengan Marda. "Dia orang yang pengertian. Gue nggak tahu bisa dapat laki pengertian di mana lagi."

Juliette mengangguk. "Aura lo juga beda, sih. Lebih apa, ya? Bersinar?"

Teressa mengernyit. "Masa?" Ia memegangi pipinya. "Seingat gue, masalah hidup sejak sebelum nikah sampe hari ini tuh nguras mental banget. Tetep glowing ya gue?"

Sebenarnya Juliette enggan mengakuinya, tapi demi mengembalikan suasana hati sahabatnya, ya sudah. Dituruti saja. "Iya, kinda. Gimana sama urusan resepsi?"

"Marda nurut apa kata gue."

Satu alis Juliette naik ke atas. "Tipe laki-laki yang nggak mau ribet."

"Oleh sebab itu, gue mau nyari WO aja. Baru ngebayangin aja udah hectic, apalagi dikerjain sendiri." Teressa memutar-mutar bibir gelas dengan telunjuknya. "Dada gue jadi plong setelah ngobrol sama lo. Thank's, ya?"

"Hmm." Juliette sengaja menunjukkan raut kecut. "Lo ganggu kerjaan gue, nih. Lemburan gue dibayar 2x lipat, ya?"

"Yeee, mana bisa gitu? Ngomong sendiri sono sama HRD!"

"Kan elo CEO-nya?"

"Kalau gue ikut campur urusan gaji, bisa dianggap nepotisme, tahu!"

Juliette makin memberengut.

***

Hari itu, Teressa telah membuat dua keputusan.

1. Tidak ikut campur urusan Herman Hagi dan Linda; 2. Membujuk Nana agar kembali ke sisinya.

Yang pertama mudah dilakukan karena tinggal diabaikan. Yang kedua...

"Nana?" mulai Teressa ketika teleponnya diangkat pada dering pertama.

"Iya, Bu? Ada yang bisa dibantu?"

Ugh, Nana. Seandainya dia laki-laki, mungkin Teressa akan jatuh cinta padanya lebih dulu dan melupakan Marda. Baru kali ini Teressa menyadari kalau sebenarnya, Nana selalu ada kapan pun dia butuh. Dan sejak Nana pergi, pekerjaan Teressa jadi berantakan. Dia ingin cepat-cepat menyuruh Agni segera berguru pada Nana kalau masih ingin bekerja di departemen yang sama.

"Pulang kerja nanti ada waktu?"

"Ada, Bu."

"Saya mau ngobrol sebentar sama kamu."

"Baik, Bu. Di depan kantor ada coffee shop yang baru buka. Bu Tessa keberatan kalau kita ngobrol di sana saja?"

"Sure. See you later, then?"

"Sampai jumpa nanti, Bu."

Singkat, padat, dan jelas. Bahkan Nana tidak menanyakan topik apa yang akan dibahas oleh Teressa. Sepertinya sedikit banyak, dia sudah menduga.

Seharian tadi, Teressa sudah menyiapkan diri. Dia begitu percaya diri akan mendominasi obrolan dengan Nana. Pada kenyataannya, dia justru menjadi yang paling gugup di antara mereka berdua. Hilang sudah wibawanya di depan Nana sejak ia menginjakkan kaki ke coffee shop tempat mereka janjian. Pandangan Teressa mengedar ke sekeliling, berharap tak ada karyawan kantor yang memutuskan kongkow di tempat yang sama, mendengar percakapan mereka, lalu berasumsi macam-macam, kemudian terbitlah gosip baru.

"Kopi di sini nggak enak, Bu." Nana berbisik.

"Eh?"

"Makanya selalu sepi. Saya pilih tempat ini biar nggak ada yang nongkrong selain kita."

"Ah, begitu, ya..."

"Jadi, Bu Tessa mau membicarakan apa?"

"Umm... anu, Na." Waduh, kenapa lidah Teressa jadi sulit digerakkan begini? "Saya... mau minta maaf." Permintaan maaf memang selalu sulit dilakukan oleh Teressa kepada siapa pun. "Atas kelakukan papa saya."

Nana mengernyit. Rautnya tampak bingung. "Kenapa Ibu yang minta maaf?"

"Karena dia papa saya. Saya merasa bertanggung jawab untuk minta maaf ke keluarga kamu karena sudah melibatkan mereka dalam kekacauan keluarga saya."

"Ulah Mona memang bikin keluarga saya malu, tapi kehadiran anak darinya membuat keluarga saya bahagia, Bu. Sudah lama keluarga kami nggak kedatangan bayi lucu. Jadi, alih-alih menganggap semua ini bencana, kami justru menganggapnya sebagai suatu anugrah."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top