BAB 39
Rasa malu menjalari hati Teressa ketika ia pulang ke rumah. Marda sudah menantinya di ruang tengah sambil membaca koran. Wajah Teressa tampak pucat dan lesu. Saat Marda hendak menghampirinya, Teressa menghindar dengan mengatakan ingin tidur cepat malam ini. Marda yang mengenal Teressa dengan baik tak terkecoh oleh alasan itu. Dia menyusulnya ke kamar dan mendapati istrinya justru sedang menangis di tepi ranjang, memunggunginya. Tanpa mengatakan apa-apa, Marda duduk di sebelahnya lalu memeluknya. Teressa menyembunyikan wajahnya di balik dada Marda sampai bajunya basah oleh air mata. Marda tak sekali pun protes, apalagi bertanya apa yang terjadi. Jika sudah saatnya, pasti Teressa akan mengatakan beban pikirannya itu. Di saat itulah dia akan membantu sebisanya.
"Aku malu jadi putrinya," ujar Teressa.
Oke, pasti masalah Herman Hagi lagi. "Apa yang dia lakukan sampai bikin kamu malu?"
"Dia selingkuh lagi. Kali ini ada anak. Parahnya," Teressa tergugu. "Parahnya... itu... kakaknya Nana."
"Nana asisten kamu?"
Teressa mengangguk. Marda menghela napas berat. Sejak menikah, ada saja masalah yang harus mereka selesaikan. Berhubung masalah ini terkait dengan mertuanya, entah kenapa rasanya jadi lebih sulit untuk diselesaikan.
"What are you gonna do?"
"Aku berpikir buat ngebantu Linda bercerai dengan Papa."
"Memangnya papamu mau menikahi perempuan itu?"
"Iya, tapi kata Nana, keluarganya enggak mengizinkan. Sejujurnya, aku nggak tahu itu keputusan tepat atau malah memperparah keadaan. Aku muak sama semuanya."
Marda menepuk-nepuk punggung Teressa, menenangkannya. Dia bisa membayangkan seberapa muak Teressa pada keadaan ini.
***
Pemindahan Nana mulai efektif sehari setelahnya. Teressa benar-benar tak menunggu waktu lebih lama lagi. Ketika berjumpa di meja Nana pun, Teressa diam seribu bahasa. Nana sedang mengemasi barang-barangnya untuk pindah ke divisi pemasaran, satu lantai di bawah mereka.
"Bu," panggil Nana saat Teressa hendak menuju ruangannya sendiri. Wanita itu menghentikan langkah lalu menghadap mantan asistennya. "Daftar calon asisten potensial yang saya kirim semalam, apa sudah Ibu periksa?"
Teressa mengerjap.
"Harus ada serah terima tugas supaya jadwal Ibu nggak berantakan," lanjut Nana seraya menunjukkan beberapa lembar data calon yang ia maksud. Semuanya ada lima, dan telunjuk Teressa memilih asal saja. Nana kelihatan tidak puas, tapi keputusan Teressa sudah bulat. Nana menyerahkan Ipad yang selama ini menjadi fasilitasnya untuk bekerja di sisi Teressa. "Semuanya ada di sini. Staff baru bisa akses semua data, jadwal meeting, outstanding, atau langsung kirim email ke saya seandainya ada yang nggak dipahami."
"Oke, makasih." Teressa tak repot-repot mengecek isi Ipad dan langsung berlalu menuju ruangannya sendiri. Sebenarnya dia tak berniat bersikap dingin begitu pada Nana yang selama ini mendampinginya. Entah bagaimana, perasaan malu masih saja menyergapnya setiap kali ia melihat Nana.
Di dalam ruangan, Teressa melemparkan Ipad ke sofa lalu berjalan mondar-mandir bagai orang linglung. Karena kecemasannya tak kunjung mereda, ia beralih ke treadmill dan mulai melakukan kardio ringan.
Pintu ruangannya diketuk.
"Masuk!"
"Bu?" Suara Nana.
"Apa?"
"Kok pake stiletto lagi?"
Gedubrak.
Teressa jatuh bedebum ke lantai marmer sampai membuat pinggulnya nyeri. Nana menghampirinya buru-buru dengan wajah cemas. "Saya udah nyiapin rak sepatu dekat treadmill, kenapa masih suka pake stiletto, Bu?" Nana merasa serba salah. Ingin mengomel, tapi tak berani. Alhasil, dia hanya mengeluh panjang.
"Kalau lagi pusing begini, mana saya inget sama sepatu sih, Na?" Teressa berpegangan pada lengan Nana yang membantunya bangkit duduk. Nyeri di pinggulnya tak tertahankan. "Aduh, aduh, Na! Pinggul saya bengkok deh kayaknya. Kaki saya juga rasanya patah!"
"Hah? Masa, Bu?" Nana buru-buru mengeluarkan ponsel untuk menghubungi Pak Yono. "Pak, tolong siapin mobil, ya. Kita anter Ibu ke rumah sakit."
Satu setengah jam kemudian, Nana menghampiri Teressa di IGD setelah menyelesaikan urusan administrasi. Bosnya itu sedang berbaring dengan nyaman di ranjang IGD sambil mengutak-atik ponsel, mungkin untuk membalas surel. Meski tidak mengalami cedera parah, dia tetap menerima sekantong infus sebagai bagian dari perawatan. Pergelangan kaki kanannya dipasangi ankle brace untuk mencegah sendinya bergeser.
Tak berapa lama, datanglah Marda.
Ketika suaminya tiba, Teressa langsung meletakkan ponsel dan menunjukkan wajah memelas minta dikasihani. Walau begitu, Nana tetap kasihan. Bosnya bukan orang yang mudah menunjukkan wajah manja kepada siapa pun, tapi di depan suaminya, Teressa bersikap layaknya bukan Teressa. Mungkin inilah sisi lain dari Teressa yang sesungguhnya. Sisi lembut yang selalu ditutupi tabir kejudesan.
"Kenapa jadi begini?" tanya Marda seraya memeriksa pergelangan kaki Teressa dan menyuruhnya tetap berbaring agar tidak kesakitan.
"Ibu punya kebiasaan pake sepatu hak tinggi buat kardio," jawab Nana terus terang.
"Kalau nggak kamu kagetin, saya juga enggak akan jatuh, Na," sanggah Teressa.
"Tadi saya mau ngasih dokumen-dokumen yang perlu persetujuan Bu Tessa, bukan niat ngagetin." Dia memandang Marda lalu berkata, "Karena Ibu udah ada yang jagain, saya sama Pak Yono pamit dulu, ya? Harus balik ke kantor lagi."
Teressa memberengut dan tak mengatakan apa-apa.
Sepeninggal Nana, Teressa malah menangis.
"Sesakit itu?" Marda setengah memeluknya, mengabaikan tatapan para perawat atau dokter yang berlalu lalang.
"Mau mecat Nana, tapi enggak tegaaa..." Teressa sesenggukkan. Dia tak tahu mengapa dirinya jadi mudah menangis belakangan ini. "Kenapa papaku berengsek? Bikin hubunganku sama Nana jadi berantakan!"
"Sshhh... ini rumah sakit, Sayang." Jangan bikin malu. Marda meringis karena tatapan perawat yang disibukkan oleh pasien-pasien yang butuh pertolongan darurat tampak mengandung laser karena kemesraan mereka dianggap mengganggu pemandangan. "Kalau nggak tega mecat Nana, ya sudah, jangan dipecat."
Teressa berhenti menangis lalu melepaskan pelukan mereka.
"Juliette nggak tahu masalah ini."
Hah? Kerut di kening Marda mengonfirmasi kebingungannya.
"Kalau dia tahu, pasti bisa ngasih solusi." Teressa bergumam sendiri. "Kenapa nggak dari kemarin aku ngehubungin dia, ya?" Dia buru-buru mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor Juliette. Panggilannya dialihkan. Teressa baru ingat jika penerbangan pulang Juliette adalah hari ini. Mungkin kawannya itu sedang berada di pesawat. "Omong-omong, kenapa kamu di sini?" tanya Teressa saat menyadari Marda masih mengenakan setelan jas.
"Kamu bilang lagi di rumah sakit, siapa yang nggak panik?"
"Tapi kerjaan kamu gimana?" Teressa hanya bermulut manis. Dia tahu Marda akan mengutamakannya dibanding pekerjaan. "Kamu jadi resign?"
Marda menggeleng. "Kerja kantoran nggak buruk-buruk amat, kok. Udah terlanjur belajar juga. Sayang kalau ilmunya nggak dipake. Now, back at you... kenapa kardio sambil pake sepatu berhak tinggi? Dari penjelasan Nana, kayaknya itu jadi kebiasaan kamu."
"Si Nana lebai. Aku tuh sering lupa. Bukan kebiasaan."
Marda hanya bisa geleng-geleng kepala.
***
"Nana!" panggil Teressa.
Karena yang dipanggil tak juga datang, Teressa berseru sekali lagi.
Seseorang tergopoh membuka pintu. Bukan Nana.
"Iya, Bu?" Perempuan itu berpenampilan modis seperti separuh karyawan yang bekerja di perusahaan ini. "Saya Agni, Bu. Asisten pengganti yang baru. Ibu butuh Mbak Nana, kah?"
Bibir Teressa memberengut. Dia memainkan pena di antara jarinya.
"Sekarang hari apa?"
"Jumat, Bu." Agni menjawab.
"Waktunya apa?"
Agni hanya mengerjapkan mata. "Ra -rapat?" Dia balik bertanya, ragu-ragu.
Teressa bangkit dari kursinya. "Kamu baca jadwal saya, kan?"
"Boleh saya cek sebentar, Bu?"
Teressa menggeleng. "Sudahlah. Toh, jamnya sudah lewat." Ia memijat pangkal keningnya yang berdenyut-denyut. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Teressa melewatkan rapat komite. Agni tidak bisa bekerja sebaik Nana. Belum apa-apa sudah membuat kesalahan fatal sampai Teressa tak sanggup berkata-kata. "Juliette di kantornya?"
"Nngg... coba saya telepon asistennya dulu, ya?" Agni buru-buru keluar dari ruangan Teressa tanpa diizinkan. Bosnya itu menunggu sekitar lima menit sampai dia kembali ke ruangan. "Bu Julia sudah ngantor, kok, Bu."
Teressa mengambil blazer yang ia letakkan begitu saja di atas sandaran kursi lalu mengganti sandal tipis dengan hak tinggi sebelum pergi keluar. Dia terpaksa minum kopi encer dari tumbler dengan raut penuh kernyitan.
Kopinya pun tidak seenak buatan Nana.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top