BAB 37
"Gawat," gumam Teressa.
Marda mengerang panjang, cemas kalau apa pun yang keluar dari mulut Teressa akan merusak momen intim after sex mereka.
Teressa mendongakkan kepala, lalu menyandarkan dagunya di atas dada Marda yang sedang balik memandangnya dengan alis bertaut. Di lain pihak, mata Teressa justru berbinar.
"I think I'm so in love with you."
Bibir Marda terbuka sedikit, lebih karena terkejut. Napas yang tadinya sudah kembali normal kini mulai memburu. Ia menjilat bibirnya yang terasa kering. Gejala nervous berat.
"Kok diam?" Bibir Teressa berkerut saat mengatakannya. Kalau tidak salah lihat, mata yang tadinya berbinar itu kini jadi berkaca-kaca.
"Apa akan terdengar aneh kalau aku bilang kalau aku juga sayang kamu?" tanya Marda hati-hati.
Giliran bibir Teressa yang setengah terbuka. Dia tidak mengantisipasi jawaban itu. Tadinya dia berpikir kalau Marda akan terkejut dan memutuskan untuk menghindar saat ia menyatakan perasaan. Lagipula, momen intim seperti ini seharusnya lebih cocok untuk dipakai membahas hal-hal ringan.
Kamar utama itu dipenuhi kecanggungan meski Teressa masih berada dalam dekapan Marda di atas ranjang, tempat mereka bergumul di bawah selimut.
"Sejak kapan?" tanya Teressa akhirnya.
"Sejak aku tahu apa artinya cinta."
Dahi Teressa berkerut tak mengerti. Jawaban klise macam apa itu, pikirnya.
"Kamu ingat waktu pertama kali kamu kuajak ke Jule's?"
Teressa mengangguk.
"Temen-temenku kenal kamu sejak sebelum ketemu kamu secara langsung, tahu sebabnya?"
"Aku menebak-nebak, tapi nggak yakin jawabannya benar. Jadi, apa sebabnya?"
"Setiap kali aku pacaran, aku selalu diputusin karena sering membandingkan cewek-cewek itu dengan kamu. Terkadang mereka cerita ke temen-temenku, menanyakan siapa cewek yang kumaksud selama itu. Temen-temenku, terutama Julian, tahu siapa kamu karena cuma kamu cewek yang selama ini kubahas dengan mereka."
"Dan apa tepatnya yang kamu ceritain ke mereka?"
"Segalanya. Tentang masa kecil kita, prestasimu, seberapa bangganya aku sewaktu tahu namamu muncul di daftar anak muda paling berpengaruh, dan hal-hal lainnya sampai mereka hampir mati kebosanan karena dengar cerita yang itu-itu aja. Mereka bilang aku udah terobsesi karena cinta bertepuk sebelah tangan." Marda tertawa kecil kala mengingat masa itu. "I was so crazy about you. I still am." Ia menyelipkan beberapa helai rambut ke balik telinga Teressa seraya menikmati setiap gurat ekspresi yang muncul di wajahnya yang cantik walau tanpa riasan. "Karena kamu, aku jatuh bangun buat ngejar karir sebagai engineer dengan gaji tinggi di maskapai, berharap suatu saat, derajat kita akan setara. Kamu dengan perjuanganmu, dan aku dengan perjuanganku sendiri."
"That's a heart fluttering answer," gumam Teressa dengan wajah bersemu kemerahan. Marda hanya menyunggingkan senyum kecil. "Aku yang dengar aja malu. Kamu enggak?"
Marda memutar bola matanya. Perempuan ini memang tidak bisa diajak romantis. Hatinya terlalu dingin untuk tahu bagaimana rasanya diidolakan sekaligus dicintai.
"What about you?"
"What about me?" tanya Teressa pura-pura polos. Ujung jarinya menekuri permukaan kulit dada suaminya. Sampai mati pun, dia tak akan mengaku kalau Marda pernah menjadi kekasih khayalannya selama bertahun-tahun.
"Kenapa mengajakku menikah?"
"Yang ada cuma kamu waktu itu," gumam Teressa.
"Egoku terlalu tinggi untuk bisa kamu bohongi dengan jawaban macam begitu," tukas Marda. "Pertanyaannya kuganti. Kenapa kamu masih menyimpan kotak coklat pemberianku?"
Marda ingat. Teressa merutuki dirinya dalam hati. Bagaimana mungkin Marda ingat tentang kotak coklat itu, kecuali kalau dia memang jujur tentang apa yang dikatakannya tadi. Marda menyimpan perasaan khusus padanya sejak lama. Bahkan ketika lelaki itu punya pacar, nama Teressa tetap punya tempat spesial di hatinya. Sial, mengapa Teressa susah sekali untuk mengatakan yang sesungguhnya?
Gengsinya setinggi tembok Cina.
"Itu edisi khusus, kan?" Teressa mengedikkan sebelah bahu seolah itu bukan hal penting.
"Cuma karena itu?" Marda balik bertanya karena skeptis. "Serius?"
"Hmm." Teressa tak benar-benar menjawab, khawatir kalau Marda langsung mengetahui kebenarannya.
Tapi, kalau dipikir-pikir lagi... kenapa juga Teressa merasa gengsi pada suami sendiri?
Entahlah. Teressa hanya belum siap jika Marda mengetahui sisi terdalam tentang dirinya. Sesuatu yang rentan dalam dirinya membuat pertahanan diri yang kokoh secara otomatis agar tidak mudah dilukai. Terutama oleh Marda, sosok yang selama ini memenuhi fantasinya.
"Love is also about trust, Tessa. Sebenarnya apa yang kamu takutkan?"
Teressa terdiam cukup lama, tapi Marda sabar menanti jawabannya. Toh, mereka sedang tak terburu-buru.
"Being hurt," jawab Teressa akhirnya. "Ditusuk dari belakang, lalu yang menyakiti bersikap seolah nggak terjadi apa-apa." Ingatan masa kecil tentang hubungan yang retak antara kedua orang tuanya tiba-tiba berputar di kepala Teressa. "Dikhianati itu menyakitkan."
"Aku nggak akan mengkhianatimu."
"I don't believe in promises." Teressa menatap Marda tepat di mata. "Papaku banyak berjanji waktu aku kecil. Semuanya enggak ditepati, entah sengaja atau enggak. Sampai sekarang pun, aku masih enggak percaya semua perkataannya. Ditambah sekarang Papa makin ringan tangan sejak menikah dengan Linda."
"I'll keep my promises, Tessa. Always." Marda membelai pipi Teressa dengan buku-buku jarinya.
"Biar waktu yang jawab. Aku nggak biasa berharap terlalu tinggi," sahut Teressa dengan senyum sedih.
Ucapan Teressa menggores luka di batin Marda. Jadi begini rasanya tidak dipercayai oleh orang yang paling ingin diyakinkan olehnya.
***
Linda menemuinya siang itu di kantor. Kedatangannya yang tiba-tiba tentu tidak membuat Teressa senang. Namun, dia tetap memilih untuk menemuinya.
"Papamu selingkuh," ungkap Linda yang hari itu memilih busana polos warna peach dan tanpa riasan. Dia kelihatan pucat. Lingkaran di bawah matanya menunjukkan kalau dia kurang tidur belakangan ini. "Dia bilang akan menceraikan saya supaya bisa menikahi selingkuhannya," lanjut Linda dengan air mata menggenang di pelupuk.
Teressa menahan geraman dalam suaranya meski ia begitu marah. "Akhirnya lo tahu rasanya diselingkuhi. Tapi lo masih beruntung karena waktu lo diselingkuhi, lo nggak lagi sekarat di rumah sakit."
"Teressa," Sebulir air mata jatuh ke pipi bersih Linda. "Saya nggak mau diceraikan dengan cara begini."
"Pasti lo ngerasa putus asa sampai-sampai lo berani minta bantuan gue."
"Saya tidak peduli kamu ngomong apa. Saya cuma minta agar kamu bicara dengan papamu yang keras kepala itu. Perempuan yang mau dia nikahi adalah pecandu dan seorang penjudi."
Teressa mengernyit, bertanya-tanya dalam hati mengapa selera Herman Hagi begitu buruk dalam memilih perempuan -kecuali mendiang mamanya yang justru terlalu baik bagi Herman.
"Perempuan itu akan membuat papamu bangkrut." Linda melanjutkan.
"Tahu dari mana kalau dia pecandu dan penjudi?"
"Dia pernah bekerja dengan orang yang saya kenal."
"Mucikari yang sama?" Teressa mengangkat sebelah alis. Ketika Linda tak kunjung menjawab, Teressa menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Belakangan ini gue dibebani urusan keluarga yang nggak ada urusannya sama gue. I wonder why." Dia berpikir tentang motivasi Linda meminta bantuannya. Linda hanya ingin memastikan warisan Stevie aman dan dia menerima harta gono gini seandainya mereka benar-benar bercerai. "Keputusan bodoh, Lin. Gue enggak bersedia bantu lo. Sejak gue minggat dari rumah, hubungan gue dengan Herman Hagi udah putus. Dia sendiri yang bilang kalau gue anak pembawa sial."
"Memangnya kamu nggak peduli kalau papamu bangkrut?"
"Sejujurnya, enggak."
"Kamu nggak memikirkan masa depan Stevie?" Raut Linda semakin gusar. "Stevie bukan anak mandiri sepertimu. Apa yang terjadi padanya kalau kami benar-benar dibuang?"
Teressa memijat keningnya yang mulai pening. Dia sulit menyangkal kalau dia peduli pada Stevie.
"Tukang selingkuh akan tetap berselingkuh selamanya meski dia dapat istri yang sempurna," ujar Teressa. "Gue nggak bisa buat Papa sadar kecuali keinginan itu berasal dari dirinya sendiri. Seandainya Papa benar-benar menceraikan lo, gue cuma bisa bantu ngasih pengacara andal. Setidaknya warisan Stevie aman, dan lo dapat harta gono-gini." Hanya itu yang bisa ia tawarkan. "Sekarang, lo kasih tahu gue, pelacur mana lagi yang bikin Herman Hagi jadi gila?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top