BAB 36

Marda menghela napas panjang ketika dia masuk ke rumah. Teressa menyambutnya di ruang tengah dan langsung memahami apa yang terjadi. Belakangan ini Marda merasa begitu kecil dibanding para rival potensial yang notabene sudah bekerja lebih lama daripada dirinya. Mereka sudah mengantisipasi kegagalan, tapi entah mengapa rasanya masih begitu mengecewakan.

"I'm not worthy at all," desah Marda pelan. "Delapan banding dua. Aku kalah dalam pemgambilan suara. Yang memilihku cuma Papa dan Tante Ira."

Teressa memaksakan sebuah senyum kecil. Mau bagaimana lagi? Pikirnya.

"Sepertinya aku memang enggak berbakat di bidang ini." Marda melanjutkan, masih dengan nada kecewa.

Teressa menariknya perlahan untuk mendekat seraya mengusap lengan lelaki itu lembut. "Sudah berapa lama sejak kamu memutuskan untuk resign dan bekerja di perusahaan?"

Marda mengedikkan bahu. "Beberapa bulan. Aku nggak ingat."

"Kamu tahu berapa lama waktu yang aku butuhin buat sampai di titik ini?" Teressa mengulurkan tangannya untuk mengusap kepala Marda, lagi-lagi dengan penuh kelembutan. "Sepuluh tahun. Aku mulai segalanya dari nol sampai kuliahku hampir berantakan. Meski situasi kita berbeda, sebenarnya ada satu hal yang menjadi tolak ukur bagi keberhasilan." Ia memandang Marda yang menunggunya meneruskan. "Proses. Semua butuh proses. Kalau aku jadi salah satu yang hadir di rapat dewan, mungkin... aku juga nggak akan memilihmu."

"Tapi, kenapa?"

"Sebaik-baiknya kamu membuktikan diri, beberapa bulan bukan waktu yang cukup untuk menunjukkan potensi kamu hingga para pemegang saham betul-betul melihatmu."

Marda hendak protes, tapi jari Teressa membungkamnya.

"Maaf kalau ini terdengar kasar, tapi itulah realitanya. Para pemegang saham mempertaruhkan uang yang enggak sedikit untuk keberlangsungan masa depan perusahaan. Dan sejujurnya, aku udah melakukan riset tentang para rivalmu. Kualitas mereka memang jauh di atasmu." Teressa meringis kecil atas hal yang dia tutupi selama ini.

"Kalau gitu kenapa Papa kukuh banget nyuruh aku kembali ke perusahaan?"

Teressa menghela napas lelah. "Kamu nggak dapat poinku."

"Menurutmu, lebih baik aku stay di perusahaan daripada mundur?" Marda mencubit pangkal hidungnya sendiri sekilas. "Rasanya aku dipermalukan di sana."

"Pekerjaan ini membebanimu?"

Marda menggeleng. "Aku suka bekerja. Meski bukan bidangku, aku udah berusaha keras dan sepenuh hati buat menguasainya."

"Kamu memang nggak bodoh-bodoh amat, sih."

Keduanya malah terkekeh. Tak lama kemudian, raut mereka kembali serius.

"Papamu tetap ingin kamu mendapatkan posisi itu, tapi nggak harus dalam waktu dekat. Kalau kamu memutuskan untuk mundur setelah pemilihan, sama aja dengan mengumumkan seberapa rendah kualitasmu sebagai calon pemimpin. Orang-orang yang nggak memilihmu justru akan senang dengan fakta itu. Posisi itu akan tergantikan suatu saat. Kamu punya banyak waktu untuk membuktikan diri."

Marda mengangguk pelan. Sepertinya dia baru meresapi kata-kata Teressa dalam kepalanya. "Kamu benar."

Giliran Teressa yang mengedikkan bahu. "Well, kalau tentang bisnis, aku jarang salah." Dia menunjukkan raut jumawa. "Feel better now?"

"So much better," jawab Marda dengan ekspresi lebih lega.

"What about dinner?"

"Di luar?"

Teressa langsung menyetujui ide itu.

Kali ini Marda menuruti permintaan Teressa untuk memilih fine dining. Perempuan itu mengeluh takut keracunan kalau diajak makan sembarangan di pinggir jalan, padahal tidak terjadi apa-apa saat Teressa terakhir makan sate. Namun, daripada berujung perdebatan yang tak perlu, Marda memilih untuk mengalah saja.

"What about honeymoon and wedding reception?"

Marda tersedak potongan daging wagyu yang baru dikunyahnya dan buru-buru meraih gelas air putih, lalu mengendalikan diri.

"Odd question." Dia berujar.

Teressa mengernyit. "Memangnya kenapa?"

"Kukira kita nggak akan melalui percakapan macam ini."

"Lho, salah?"

Marda buru-buru menggeleng karena melihat perubahan ekspresi pada wajah Teressa. "It's not that I don't want it."

"Terus?"

"Selama ini aku berasumsi kalau kamu nyaman-nyaman aja dengan kondisi kita sekarang. Tanpa resepsi, apalagi bulan madu. Toh, kita sudah sah jadi suami istri tanpa semua itu."

Teressa meletakkan garpu dan pisaunya hingga menimbulkan denting nyaring yang mengagetkan Marda.

"I'm just kidding," cicit Marda hampir tak terdengar. "Kutarik lagi omonganku."

Teressa mengembuskan napas kasar lewat hidung. Aura di sekelilingnya menggelap. Komunikasi mereka berujung seperti ini karena Marda tak mawas diri, dan Teressa mudah tersulut emosi.

"Jadi, sudah ada rencana resepsinya?" Marda menambahkan, "Aku nurut apa kata kamu, deh. Apa tuh istilahnya? Dream wedding, ya?"

"I have to think about it. Carefully. Ini kesempatan sekali seumur hidup," ucap Teressa akhirnya. "Aku cuma pengen tahu pendapatmu."

"Aku setuju-setuju aja. Honeymoon?"

"Setelah proyekku selesai. New York Fashion Week, tinggal dua bulan lagi. Aku sibuk."

"Sounds good." 

Teressa kembali melanjutkan makan. Chef yang memasak hidangan mereka datang menghampiri untuk menanyakan bagaimana makanannya. Teressa menjawab dalam bahasa Italia sambil tersenyum manis.

Mereka saling tersenyum. Marda dibuat sedikit kesal karenanya.

Ketika chef itu berlalu, Marda menghabiskan anggurnya dalam sekali teguk. "Aku baru tahu kalau kamu bisa bahasa Italia," ujarnya kemudian.

"Ini restoran langgananku dan Mama. Sejujurnya aku cuma bisa sedikit. Terutama yang berhubungan dengan makanan." Teressa menunjukkan ibu jari dan telunjuknya yang hampir bersentuhan.

"Chefnya single?"

Teressa mengangguk acuh tak acuh. "Dia bercerai waktu aku masih kuliah."

"Oh."

Teressa kembali meletakkan garpu dan pisaunya. "What is this about?"

"Nothing."

"Kenapa kedengarannya kamu lagi jealous?"

"Me?" Marda hampir memekik, lalu dia mendengkus. "Ngapain juga? You're already mine!" Suaranya meninggi beberapa oktaf sampai membuat pelanggan lain menoleh ke arah meja mereka. Marda menunduk, kelihatan malu karena sudah kelepasan bicara.

Teressa mendengkus juga. "Cheesy," gerutunya.

"Keceplosan." Marda balas menggerutu. "Gara-gara kamu juga."

"Kenapa jadi aku yang salah?"

"Let it go, Wife," Marda masih belum mengangkat kepalanya saat menyuapkan sepotong daging ke mulut. "Malu dilihat orang."

Teressa melihat sekeliling dan baru menyadarinya. Untuk itu, dia berhenti mempermasalahkan apa pun masalah yang menurutnya perlu dipermasalahkan.

"Gimana kabar Stevie?" tanya Marda.

"I don't know. Aku bukan ibunya."

Marda berdecak. "Kayaknya kamu cuma peduli waktu dia hamil aja."

"Memang begitu hubungan kami. Dia datang waktu dibuang sama orang tuanya. Sekarang dia sudah bebas dari tanggung jawab, jadi orang tuanya menerima dia lagi di rumah. Seharusnya begitu." Setelah berujar begitu, Teressa menyadari sesuatu. "Maaf karena kamu enggak jadi punya anak."

Marda geleng-geleng kepala. "Sifatmu ini dingin banget kalau sudah menyangkut keluargamu sendiri. Bertolak belakang sama perhatian yang kamu kasih ke Stevie kemarin-kemarin."

Suasana hati Teressa tiba-tiba memburuk. Dia mengangkat satu tangan untuk memanggil waiter dan meminta bill.

"Aku belum selesai makan," protes Marda.

"Lanjut aja. Aku cuma mau bayar."

"Pakai kartuku." Marda mengeluarkan dompetnya, tapi Teressa sudah meletakkan kartunya di atas nampan. "Come on," desah Marda.

"Perkara siapa yang bayar juga mau kamu permasalahkan?" Teressa melipat tangannya di atas meja. "Lain kali kamu yang traktir," lanjutnya.

Marda melanjutkan makan dengan raut sebal hingga membuat Teressa tersenyum. 

"I think you are cute, so what about honeymoon in Iceland?"

Lagi-lagi Marda tersedak karena kerandom-an topik yang terlintas di kepala Teressa. Mereka saling menatap selama beberapa saat sampai Marda merasa ingin mengecup lesung kecil di bawah ujung bibir Teressa yang sedang mengulas senyum.

"Apa hubungannya aku yang kamu sebut cute dengan rencana bulan madu ke islandia?"

Teressa mengedikkan bahu. "Kukira kamu bakal langsung nolak, jadi aku mulai dulu dengan pujian."

Marda tertawa kecil. "Is that how you communicate?"

"Cuma berlaku ke kamu aja, soalnya kamu orangnya rada unpredictable."

"Yang unpredictable itu kamu. Hari cerah tiba-tiba ngajak nikah," sindir Marda.

"Tapi kamu mau."

"Okay, fair enough." Marda menyesap gelas kedua yang berisi anggur. "Jadi, kenapa Islandia?"

"No reason. Ini bagian dari sifatku yang katamu unpredictable."

"Seriously," Marda terkekeh. "Selain unpredictable, kamu juga rada absurd."

Teressa tersenyum lebar. Rencananya untuk membuat suasana hati Marda lebih baik setelah gagal dipilih di rapat dewan rupanya berhasil.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top