BAB 35
"Itu hal paling childish dan nggak bertanggung jawab yang pernah gue dengar dari lo!"
Saat ini Teressa sedang diomeli habis-habisan lewat panggilan video oleh co-foundernya yang tak lain adalah Juliette. Teressa memelintir rambutnya dengan raut bersalah sampai-sampai dia tak berani menatap layar yang menunjukkan wajah sebal Juliette. Nasi sudah menjadi bubur. Juliette langsung menghubunginya ketika kabar tentang casting ulang diadakan tanpa persetujuan darinya berembus ke mana-mana. Untuk apa lagi kalau bukan untuk marah-marah?
"Kalau begini, kredibilitas gue sebagai penanggung jawab akan dipertanyakan, Tess!" Juliette masih ngomel. "Bisa-bisanya lo manggil model-model itu buat casting ulang demi menuhin ego lo sendiri. Lo nih CEO lho, Tess! Heran bener gue! Cemburu sih cemburu, tapi jangan ambil jalan kekanakan buat mamerin status lo. Namanya power abuse!"
"Iya, iya, Jul. Gue tahu. Maaf,"
Juliette menghela napas berat. "Gara-gara tingkah lo kemarin, jadi muncul gosip tahu, enggak? Semua orang lagi ngomongin lo. Emangnya lo mau citra brand kita hancur karena sikap CEO-nya yang enggak bisa membedakan mana masalah pribadi dan mana yang bukan? Lo tuh bawa citra perusahaan, Tess!"
"Habisnya gue kesel-"
"Iya, gue tahu lo kesel, tapi bukan dengan bikin orang lain rugi waktu dan tenaga. Jauh-jauh datang buat casting ulang supaya apa?" Juliette berdecak pelan. "Lo makin ngadi-ngadi sejak jatuh cinta."
"Jangan salahin cinta, dong!"
"Gue nyalahin sifat lo yang impulsif kalau berhubungan sama kata cinta, bego!"
Teressa menegakkan punggung. "Makanya lo denger dulu penjelasan gue!"
"Penjelasan apa lagi?"
"Dia enggak gue pecat! Awalnya memang niat begitu, tapi gue berubah pikiran. Gue cuma ngasih dia peringatan, habis itu semua model yang datang buat casting ulang gue kasih kompensasi." Teressa merogoh kocek yang tidak sedikit untuk memberi kompensasi atas waktu yang telah para model itu berikan demi mengikuti permintaannya yang tak masuk akal. Semuanya dari kantong pribadi.
"Peringatan macam apa? Di depan semua orang?"
Teressa mengangguk.
Peringatan yang dimaksud kira-kira begini bunyinya:
"Pikir dua kali sebelum kamu memutuskan buat enggak menghargai orang lain. Siapa tahu orang yang kamu pandang sebelah mata itu memegang kendali atas karirmu. Seperti saya contohnya. Saya memang tidak secantik atau semenarik kamu, tapi saya punya kuasa untuk mencoret nama kamu dari daftar peserta haute couture kami. Saya yakin itu event prestisius yang sayang untuk dilewatkan."
Bagaimana pun kalimatnya, tetap saja terdengar seperti power abuse yang Juliette bilang. Semua orang mendengarnya. Dari Nana, para model yang datang, sampai tukang lighting dan sound yang menjadi support bagi acara casting ulang dadakan kemarin. Pantas saja begitu casting selesai, langsung muncul gosip.
Teressa jadi berpikir dua kali untuk menyampaikannya pada Juliette. Intinya, dia menyesal telah bertindak kekanakan. Insiden ini bisa jadi santapan empuk di antara para pelaku industri fashion. Jangan sampai rencana mereka di New York Fashion Week berujung bencana gara-gara ulah Teressa.
"I'm sorry, okay?"
Di seberang sana, Juliette tampak sedang berpikir. "Apa kita perlu nyogok reporter buat mengklarifikasi berita ini kalau sampai bocor?"
"Please lah, Jul! Enggak mungkin separah itu!"
Mata Juliette seolah mengandung laser saat menatapnya tepat di kamera.
"Lo harus ambil langkah preventif. Jangan sampai insiden ini bocor ke media. Gue mempertaruhkan banyak hal buat acara di New York. Jangan bikin gue menyesalinya."
Teressa mendesah pelan. "I promise. And I'm sorry, okay?"
Juliette mengangguk. "Jangan diulangi! Kalau ada masalah, selesaikan diam-diam. Kita bekerja di industri yang keras. Citra buruk sedikit, perusahaan kita bisa gulung tikar. Ngerti?"
Teressa mengangguk. Bahunya masih loyo karena diomeli sepanjang malam. Ngomong-ngomong, dia belum mengabari Marda sama sekali kalau akan pulang terlambat karena sibuk mengklarifikasi tindakannya pada Juliette lewat panggilan video selama dua jam lebih.
"Gue mau pulang. Kemalaman, nih. Udah belum ngomelnya?"
"Udah."
"Gue tutup, nih. Boleh, enggak?"
"Ntar dulu. Gue mau nanya. Kapan resepsi lo diadain?"
"Enggak tahu. Belum ngebahas ini sama Marda."
"Saran gue, kelar acara New York aja. Gue bikinin gaun pengantinnya."
Wajah Teressa yang tadinya cemberut seketika bersinar. "Yang bener, Jul?"
Juliette mengangguk. "Kemarin gue dapet inspirasi. Baju pengantin. Ada beberapa model yang kayaknya cocok sama selera lo. Kalau pulang nanti, gue tunjukkin. Masalahnya, lo sudi enggak, gue bikinin baju pengantin?"
"Kalau sampai gue nolak berarti gue udah gila."
"Bagus, deh. Terus rencananya, kalau jadi ada resepsi, lo mau pakai WO atau urus sendiri?"
"WO aja kali, ya? Ngurus resepsi ribetnya nggak karuan. Kayaknya gue enggak akan sanggup ngurus sendiri. But then again, gue belum bahas ini sama Marda."
"Good idea. Terus, bulan madu?"
Semburat kemerahan muncul di pipi Teressa. "Gue sempat minta tolong tantenya Marda buat ngatur acara bulan madu kami. Sampai sekarang belum ketemu tanggal yang cocok." Dia membayangkan bulan madu romantis yang akan dia habiskan berdua dengan suaminya di tempat eksklusif yang sunyi dan tenang. Jauh dari hiruk pikuk atau keramaian.
Lagi-lagi Juliette berdecak. "Elo berdua ini emang terlalu sibuk."
"Bentar lagi mau ada rapat dewan buat pemilihan presiden direktur yang baru. Marda dicalonin, makanya dia sibuk banget belakangan ini. Rivalnya berat. Persiapannya bikin puyeng. Gue khawatir dia enggak terpilih."
"Memangnya kalau nggak terpilih, dia langsung hengkang dari perusahaan?"
Teressa menggaruk kepala. "Enggak tahu." Dia belum menanyakan ini pada Marda. Kalau dipikir-pikir, banyak juga hal krusial yang belum mereka bahas.
"Ya, udah. Lo obrolin dulu deh masalah resepsi sama suami lo. Ntar kabarin gue."
"Oke. Thank's, ya, Jul."
"Abis diomelin dua jam malah bilang makasih. Aneh lo."
Teressa terkekeh. "Kali ini gue ngaku salah. Sebagai seorang pemimpin, enggak selayaknya gue bersikap impulsif kayak kemarin. Seharusnya waktu itu gue langsung gampar dia di tempat Julian."
Juliette tertawa. "Dasar sinting!"
Ketika sambungan video berakhir, Teressa meregangkan otot-ototnya yang kaku. Sepuluh panggilan tak terjawab dari Marda muncul di notifikasi ponsel yang ia letakkan di dalam laci. Sejak tadi ia menggunakan laptop kantor dan perhatiannya fokus pada Juliette sampai-sampai tak mendengar bunyi getar telepon dari Marda. Ia buru-buru menghubungi suaminya.
"Hey," sapa Teressa saat teleponnya di angkat di dering pertama.
"Masih di kantor?"
"Masih. Kok tahu?"
"Aku nunggu di luar. Cuma ruanganmu yang lampunya masih nyala."
"Hah?" Teressa buru-buru mengenakan stilettonya lalu setengah berlari menuju jendela. Dia mencari-cari keberadaan Marda.
Sebuah mobil sedan gelap menyalakan lampu high beam di seberang jalan yang sepi. Teressa langsung mengenali pemilik mobil itu.
"Nunggu lama?"
"Enggak juga. Kamu belum selesai?"
"Udah, kok. Tunggu, ya. Sebentar lagi turun." Teressa segera menutup telepon lalu berbenah. Ketika keluar dari ruangan, dia kaget karena Nana rupanya juga belum pulang. Asisten setianya itu tampak sedang tertidur pulas di mejanya.
"Bu, udah siap pulang?" Pak Yono melipat kembali koran dan mengembalikannya ke atas meja.
Mendengar itu, Nana terbangun. Dia langsung berdiri saat melihat Teressa.
Teressa jadi canggung sendiri oleh rasa bersalah. Gara-gara membahas insiden kemarin, dia membuat dua pegawainya yang kelelahan jadi semakin lelah karena menunggunya.
"Saya dijemput suami." Teressa merogoh dompetnya dan mengeluarkan kartu kredit. "Kalian beli makan malam, sekalian buat keluarga. Pak Yono tolong antarkan Nana pulang, ya?"
"Siap, Bu."
"Bu, ini enggak perlu." Nana coba menolak kartu tersebut dengan sopan.
"Saya maksa, Na. Beli makanan yang enak. Mahal juga enggak pa-pa. Awas kalau enggak beli." Teressa mengangkat ponsel untuk memberitahu tentang notifikasi kartu kredit. "Maaf enggak ngabarin lebih awal."
"Jangan merasa bersalah, Bu. Udah tugas saya." Pak Yono mengusap lehernya.
Demi mengakhiri situasi canggung ini, Teressa buru-buru pamit.
***
.
.
.
Mau cerita sedikit. Sejujurnya, aku nulis Falling Serenade tanpa konsep yang jelas. Pertama kali nulis ini waktu enggak bisa tidur karena terlalu bersemangat -kayak sekarang contohnya. Nulisnya juga dini hari terus langsung upload pake cover nganggur yang ada di laptop. Makanya kemarin sempat bad mood sampe unpublish karena menurutku plot ceritanya ga jelas -mungkin sampe sekarang masih. It's not that I hate this story. It's just that I was being insecure for the quality. Berhubung aku paling ga bisa kalau ga namatin cerita, whatever the results, I will finish the story dan ga akan mindahin ke mana-mana. Semoga kalian terhibur dengan plot yg kubuat.
Dan ada satu kabar lagi. Mungkin kalian yg udah lama follow WPku atau IGku tau kalau cerita Janesa CS alias C.R.T bakal diterbitin sebentar lagi. 2 Volume sekaligus.
Jadi bagi yg lagi dalam mode hemat, bisa nih ikutan GA supaya kalau menang dapet 1 buku cetak CRT gratis bebas milih volume yg mana. Syaratnya gampang, kok.
Bagi yg bertanya C.R.T tentang apa. Ceritanya masih ada di lapakku dan lagi repost. Genrenya action thriller, dark comedy, dark romance, scifi, lengkap pokoknya(klo kata editorku, mah). Dan bagi yang lupa Janesa itu siapa, kalian bisa baca trilogy romcom yg masih complete di lapakku. Janesa muncul di cerita mechanic&lover sama trouble.
Yg mau ikutan GA-nya, good luck. Yg mau ikutan PO-nya, wish me luck.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top