BAB 34

"Dia mengalami pendarahan setelah saya memberitahunya tentang rencana kalian menjadi orang tua pengganti." Linda berujar dengan dagu sedikit bergetar. Matanya yang sembap ditutupi kacamata hitam. Kendati begitu, Teressa masih dapat melihat ekspresinya dengan jelas.

Sisi jahat dalam diri Teressa ingin menuduh dan menyalahkan Linda atas keguguran Stevie. Namun, hal itu tak bisa dibuktikan karena Stevie sendiri langsung mencari mamanya ketika sadar pertama kali. Setelah itu, mereka berdua tampak tak terpisahkan.

"Awalnya saya senang karena anak itu tidak jadi lahir. Lalu, waktu melihat kalian berdua... saya jadi merasa bersalah karena sempat senang. Maafkan saya. Saya yang tidak becus menjaga Stevie," lanjut Linda dengan kepala tertunduk dalam-dalam. Demi menjaga wibawanya di depan anak tiri dan menantu, dia menggenggam kedua tangannya cukup keras sampai buku-buku jarinya memutih.

Teressa menghela napas berat. Dia telah membuat kesimpulan final. Bukan Linda yang menyebabkan Stevie keguguran. Sebagai seorang ibu, Teressa yakin Linda sebenarnya juga merasa amat kehilangan. Apalagi dengan kondisi Stevie yang saat ini bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Di lain pihak, Herman Hagi justru merasa lega dan sama sekali tidak ingin menyembunyikannya. Kalau bukan karena dia mertua sendiri, Marda pasti ingin memukulnya karena habis kesabaran.

"Sudah kubilang Herman Hagi pantas dibenci," gerutu Teressa saat mereka dalam perjalanan pulang ke rumah.

Marda tak menjawab selagi fokus menyetir dan memikirkan banyak hal sekaligus.

"Menurutmu, apa akan ada pemakaman?"

"Meragukan," sahut Marda. "Papamu akan melakukan semuanya secara diam-diam."

Teressa mengangguk. "Kurasa juga gitu."

"Malam ini aku pengen minum-minum."

Teressa menoleh. "Di tempat Julian?"

"Iya, tapi aku malas sendirian. Kamu ikut, ya?"

"Oke. Asal kamu enggak minum sampai mabuk."

"Cuma minum segelas atau dua gelas, sampai rileks aja."

Teressa mengulurkan tangannya ke leher Marda yang tegang. Lelaki itu pasti sangat stres belakangan. Mulai dari urusan kantor sampai kabar buruk malam ini.

"Kutemani," timpal Teressa.

Sesampainya di hotel dan saat hendak masuk ke lift menuju Jule's, mereka bertemu sekelompok wanita spesifikasi model yang turut naik bersama mereka. Teressa curi-curi pandang ke arah Marda, siapa tahu dia melirik para model itu.

"Lantai berapa?" tanya Marda karena dia satu-satunya lelaki dan kebetulan berada di dekat tombol lift.

"Jule's," jawab wanita dengan gaun hitam pendek dan bahu terbuka. Teressa menilai gaun itu di angka 8/10. Intuisinya pastilah benar, karena tinggi badan dan gaun Versace yang dikenakan meneriakkan kalau wanita itu memang model. Teressa jadi bertanya-tanya mereka berasal dari agensi mana. Hampir saja dia menanyakan itu kalau bukan karena wanita lain yang berdiri agak paling ujung melirik Marda dari kepala sampai kaki, lalu dia tersenyum dan berbisik ke temannya. Teressa tahu apa yang mereka bisikkan, sehingga dia memutar bola mata.

Mereka keluar hampir bersamaan saat pintu lift sudah terbuka.

"Rame juga setelah kelar renov," gumam Teressa.

Marda menggenggam tangan Teressa dan memimpin jalan ke meja bar di mana Julian sedang bertugas jadi bartender yang merupakan kegemarannya belakangan ini.

"Hey! Akhirnya nongol juga lo berdua." Julian melihat keduanya bergandengan tangan. "Gue denger rumor kalau kalian udah married," sambungnya tanpa basa-basi.

Marda menjawab dengan cara mengecup punggung tangan Teressa di depan Julian.

"Gue enggak ditonjok." Marda mengedikkan bahu dan membuat Julian tertawa.

"Jadi mau minum apa?"

"Gue mau coba minuman yang lagi populer belakangan. Negroni." Teressa menjawab.

"Sbagliato?"

"Ditambah Prosecco," sahut Teressa.

Marda memperhatikan interaksi keduanya dengan alis bertaut. "Sejak kapan kamu tahu jenis minuman?"

Julian membuat ekspresi aneh ketika mendengar Marda ber aku-kamu dengan seorang wanita yang jelas-jelas istrinya.

Kelompok model yang tadi satu lift dengan mereka juga datang ke bar untuk memesan minuman yang sama. Giliran Teressa yang membuat ekspresi aneh, terutama saat wanita yang tadi ia perhatikan mencuri pandang ke arah Marda yang jelas-jelas duduk dekat dengannya. Gelagatnya menunjukkan ketertarikan.

"Silakan," Marda memberikan gelas pesanannya pada wanita itu semata-mata demi sopan santun.

"Silakan, cih," gerutu Teressa menirukan ucapan Marda.

"Pesanannya sama," timpal Marda santai. "Masa cemburu?"

"He's married," Teressa menunjukkan cincin dari Marda yang tersemat di jari manisnya kepada wanita/model yang terus-terusan mencuri pandang ke arah suaminya.

Wanita itu memalingkan muka dan berpura-pura tak tahu.

"Dari agensi mana sih rombongan itu?" tanya Teressa ketika Julian datang dengan pesanannya.

"Satu agensi sama Eden Janeta," jawab Julian.

Teressa seketika tersenyum. "Interesting," gumamnya.

"What's gotten into you?" Marda menyandarkan dagunya di atas tangan sambil menatap sang istri.

"You wouldn't understand. Enggak suka dibilang udah nikah?"

Marda menyesap minumannya dengan senyum kecil. Teressa dalam mode cemburu cukup membuatnya senang.

***

"Mana daftar model yang akan ikut fashion week nanti?" tagih Teressa ketika ia melewati meja Nana sebelum masuk ke ruangannya sendiri.

Nana belum mempersiapkannya karena memang bukan tugas Teressa sebagai CEO untuk memilih model-model mana saja yang akan memamerkan koleksi Juliette di New York Fashion Week. Biasanya sih itu tugas Juliette sendiri.

"Apa Juliette belum memilih?" Teressa menoleh karena Nana tak kunjung menjawab.

"Sudah, Bu. Tolong beri saya waktu lima menit, nanti saya antar ke ruangan Ibu."

Nana datang tergopoh tepat lima menit kemudian untuk memberikan daftar model yang diminta. Teressa langsung membolak-balik setiap halaman CV masing-masing model dengan seksama.

"Semuanya dari agensi yang sama? Lokal?" tanya Teressa.

"Kebetulan tahun ini, iya. Bu Julia sedang tidak ingin repot mencari dari agensi luar negeri."

"Saya mau mereka datang hari ini untuk casting dengan saya sebelum tampil di runway?"

Permintaan yang tiba-tiba dan tergolong agak nyeleneh itu membuat Nana terpaku sesaat.

"Na?"

Nana tersadar. "Mau dicasting ulang?"

"Iya."

"Tapi, Bu Julia sedang cuti."

"Cukup saya aja."

"Kapan, Bu?" Nana sigap membuka Ipad, mencari-cari jadwal Teressa yang kosong.

"Hari ini?"

Nana mengangguk. "Ada jadwal kosong sebelum makan siang. Akan saya atur secepatnya."

Teressa tersenyum puas.

Perusahaan mereka memiliki ruang casting sendiri untuk menyeleksi para model yang akan tampil di runway. Dan biasanya, Juliette masuk dalam jajaran juri yang memilih. Teressa tidak pernah tertarik untuk itu. Jadi, meski keputusannya dianggap aneh dan tiba-tiba, Nana tetap melakukan apa yang disuruh.

Dua puluh model masuk ke ruang casting secara bergantian. Musik dimainkan. Penilaian pribadi dilakukan. Teressa duduk di ujung runway, di atas sofa merah sambil memegangi data-data para model. Beberapa ada yang dikenalnya karena sering muncul di TV, dan beberapa dikenalnya semalam di Jule's. Para model itu memasang muka datar saat melihatnya, profesional dengan tugas yang sedang dijalani. Satu persatu mereka berjalan memamerkan baju dan aksesoris seolah sedang berada di runway sungguhan.

"Stop."

Musik otomatis berhenti.

Teressa bangkit dari duduknya sambil memegangi data model terakhir yang muncul ke hadapannya. Dia harus sedikit mendongak karena tingginya memang tidak setinggi para model.

"Kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Teressa dengan raut polos. Model itu menggeleng. Berpura-pura tidak kenal menjadi satu-satunya pilihan baik yang dapat ia lakukan. "Ah, jangan begitu." Teressa berjalan mengelilinginya. "Kamu melihat saya dan suami saya semalam. Di Jule's. Kamu menatap dia sepanjang perjalanan di lift. Padahal jelas-jelas tangan suami saya lagi memegangi tangan saya."

Wajah model itu berkerut sedikit.

"Sewaktu saya menegur kamu, kamu enggak merespon. Jangan kira saya enggak lihat kamu sering memperhatikan suami saya, berharap diperhatikan balik waktu kamu sedang duduk di meja bersama teman-temanmu."

Bibir tipis model itu bergerak sedikit. Teressa yakin dia sedang menahan diri untuk tidak terlibat argumentasi dengannya.

"Banyak yang bilang kalau saya pendendam." Teressa tersenyum amat manis. "Jadi, tolong pahami perasaan saya saat ini, ya?"

Nana membuat catatan di Ipad dan mencoret nama model itu dari daftar.

***

.

.

.

Cemburu itu manusiawi ya, gais. Tapi yg kurang profesional kayak Teressa dilarang buat ditiru XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top