BAB 33
Kalau saja bukan karena kunjungan Gio Tjokroadinoto, mungkin Marda akan terus mencumbui istrinya di ruang kerja. Yah, papanya itu berkunjung secara mendadak. Bukan hal mengherankan mengingat sebentar lagi akan diadakan pemilihan presiden direktur yang baru. Marda bukan satu-satunya calon potensial. Masih ada dua orang direktur yang jauh lebih mengerti seluk beluk perusahaan multinasional ini. Keduanya bukan orang asing karena mereka adalah para sahabat Gio sendiri.
"Papa mengganggu, ya?" Gio mengangkat kedua alis ketika melihat Teressa membetulkan rambut dan bajunya yang sedikit berantakan. Wajah menantunya itu merah padam.
Marda hanya tersenyum kecil. "Pengantin baru, Pa." Tanpa canggung ia mengusap lipstick dari bawah bibir Teressa yang keluar dari jalurnya menggunakan ibu jari. "Mama gimana?"
Gio mengambil tempat duduk di sofa kulit, lalu disusul oleh Marda dan Teressa.
"Membaik. Dokter di Singapura bagus-bagus." Gio melaksanakan tugasnya sebagai suami untuk mengantar dan menemani sang istri berobat ke luar negeri.
Sejak mengetahui perselingkuhannya bertahun-tahun lalu, sang istri tidak berubah banyak. Dia masih mencintai Gio dengan tulus meski Gio tidak menyangkal perbuatannya. Oleh sebab itu, Gio merasa bersalah dan memutuskan untuk berhenti menemui selingkuhan yang telah memberinya seorang putra, yaitu Reynold. Kematian Reynold juga tidak lantas mempengaruhi hubungan keluarga mereka. Namanya terkubur dalam-dalam sama seperti aib keluarga lainnya. Satu hal yang diketahui Marda, ibu Reynold kini telah menikah dengan seorang pengusaha batu bara di Kalimantan dan dianugerahi putra lain yang diberi nama belakang Reynold juga untuk mengenang mendiang. Hubungan Marda dan mantan selingkuhan Gio masih baik. Bahkan, Marda sudah dianggap putra sendiri. Setiap beberapa bulan sekali mereka bertukar kabar dan tak jarang wanita itu menyuruh Marda datang berkunjung ke Kalimantan.
"Bagaimana kabar papamu, Tessa?" tanya Gio seraya mengambil salah satu majalah bisnis dari atas koran yang tergeletak di meja. Dia membolak-balik halamannya.
"Masih seperti biasa, Pa," jawab Teressa.
"Pa," ujar Marda. "Kami akan punya anak."
Bukan hanya Gio yang mendongak, ucapan Marda juga mengundang kernyit di dahi Teressa. Seharusnya mereka berdiskusi tentang bagaimana menyampaikan kabar ini pada keluarga dengan cara yang baik dan benar.
"Tessa hamil?"
Marda menggenggam tangan Teressa dan membawanya ke atas pangkuan. Rautnya menunjukkan kalau dirinya sudah tak sabar untuk memberi tahu dunia. "Kami sepakat untuk menjadi orang tua pengganti."
"Maksudnya adopsi?"
"Enggak tepat disebut adopsi juga, karena anak ini berasal dari kerabat Tessa."
Setidaknya Marda masih menghormati perjanjiannya dengan sang mertua untuk merahasiakan identitas Stevie dan pasangannya.
Gio mengangguk-anggukkan kepala. "Papa senang mendengarnya. Tapi," Dia memandang anak dan menantunya bergantian. "Papa harap rencana kalian ini tidak mengganggu fokusmu. Rapat dewan akan diadakan sebentar lagi. Jangan sampai ada kabar yang tidak-tidak mengenai rencana kalian untuk jadi orang tua pengganti."
"Contohnya bagaimana, Pa?" Marda tak mengerti.
"Contohnya seperti gosip yang simpang-siur," timpal Teressa seraya menatap Marda. "Pihak-pihak yang enggak menginginkan kamu jadi Presdir akan membuat gosip yang tidak-tidak tentang asal anak itu."
"Yang tidak-tidak, bagaimana?" Marda masih tidak mengerti.
"Anak haram," Teressa hampir memutar bola mata. "Bisa aja itu anakmu yang lahir di luar nikah. Dari mantanmu, mungkin. Aku enggak pernah kelihatan hamil lalu tiba-tiba ada anak."
"Mana mungkin?" Marda menahan pekikannya. "Kalau tahu aku punya anak di luar nikah, kamu pasti udah ngamuk lah!"
Kali ini Teressa benar-benar memutar bola mata. "Contoh, Marda. Cuma contoh!"
Gio tertawa. "Istrimu ini lebih berpengalaman. Kamu perlu belajar banyak darinya kalau mau namamu kokoh di depan rapat dewan nanti. Ada hal-hal yang perlu kamu antisipasi sebelumnya."
Marda menggaruk pelipisnya yang tak gatal.
"I'll help." Teressa menepuk-nepuk paha Marda sambil mengedipkan mata dengan ekspresi jumawa.
***
Teressa menyandarkan bahunya di ambang pintu seraya memperhatikan interaksi antara Linda dan Stevie di kamar tamu. Stevie sedang rewel tidak mau makan sehingga Linda berinisiatif untuk mengupaskan sekaligus menyuapinya buah jeruk. Kehadiran Teressa sama sekali tidak dipedulikan oleh pasangan ibu dan anak itu. Linda kelihatan amat menyayangi putrinya terlepas dari apa yang telah dia perbuat. Dalam keadaan begini, Stevie tampak seperti anak seusianya yang masih ingin dimanja dan diperhatikan.
"Kabar Johan gimana, Ma?"
Teressa langsung tahu siapa yang dimaksud setelah Linda menjawab, "Dia dan keluarganya dipulangkan papamu ke Bogor. Papamu enggak sudi melihat mereka di rumah."
Stevie menghela napas berat. "Kasihan mereka."
"Mama memberi mereka uang yang enggak sedikit. Bisa dipakai untuk modal usaha. Tanpa sepengetahuan papamu, tentunya."
"Makasih, ya, Ma?"
Linda tak menjawab. Dia hanya menyuruh Stevie buka mulut agar bisa memasukkan buah jeruk yang kulit arinya sudah dibersihkan.
"Enggak mandi?" bisik Marda di telinga Teressa agar tamu mereka tak terganggu. Ia mengusap lembut punggung Teressa yang tertutup blouse kerja.
"Nanti." Teressa balas berbisik seraya menggamit lengan Marda untuk memberi pasangan ibu dan anak itu privasi. "Linda bersedia ngasih tahu Stevie tentang rencana kita untuk jadi orang tua pengganti buat anaknya." Entah kenapa, dada Teressa berdebar karena antisipasi menjadi seorang ibu. Mungkin benar yang dikatakan Marda. Menjadi orang tua sebenarnya tidak buruk-buruk amat. Meski enggan mengakuinya, Teressa sudah tak sabar untuk menanti kedatangan seorang bayi mungil di rumah mereka.
Marda dapat membaca ekspresi Teressa yang tak henti tersenyum sejak melihat interaksi Stevie dan Linda.
"Kamu sudah memaafkannya?" tanya Marda seraya mengusap pipi Teressa yang kemerahan dengan buku jarinya.
"I don't know. Maybe." Teressa mengedikkan bahu. "She's not bad at... being a mom."
"Kamu juga akan jadi ibu yang luar biasa nantinya."
Teressa meletakkan telapak tangannya di atas dada Marda. "Menurutmu begitu?"
Marda mengangguk. "Aku bisa membayangkannya." Dia mendesah panjang. "Aku enggak sabar buat ngasih tahu Mama. Mama pasti senang mendengar kabar kalau akan segera punya cucu. Dengan begitu, Mama pasti lebih cepat pulih."
"Kita harus kosongkan jadwal supaya bisa ke Singapura untuk jenguk mamamu."
Marda mengangguk. "Dalam waktu dekat, mungkin?"
"Selama enggak mengganggu persiapanmu sebelum rapat dewan."
"You're right," ujar Marda sebelum mengembuskan napas. "I forget about that."
Tiba-tiba Linda datang tergopoh menghampiri mereka. "Tessa!"
Keduanya menoleh karena sama-sama terkejut.
"Marda, tolong siapkan mobil. Kita harus ke rumah sakit sekarang." Linda kembali berujar dengan wajah pucat pasi.
"Memangnya ada apa?" tanya Teressa bingung.
"Stevie -dia... pendarahan."
Dua jam kemudian mereka diberitahu dokter kalau Stevie keguguran dan harus melalui prosedur kuretasi. Marda menjadi orang yang paling kelihatan kecewa. Teressa bisa merasakan kesedihannya, tapi tak dapat berbuat banyak untuk menghibur karena dia sendiri sedang dalam proses meredakan syok.
Baik Teressa, Linda, maupun Marda sama-sama menunggu dalam diam. Herman Hagi tiba sejam setelahnya, tepat saat Stevie dipindahkan ke ruang perawatan.
Para dokter yang menangani Stevie menjelaskan situasinya pada Herman dan Linda selagi Marda dan Teressa menunggu Stevie sadar di kamar rawat.
"Are you okay?" Teressa meremas bahu Marda pelan. Lelaki itu balas menggenggam tangannya dan mencium telapak tangan Teressa dengan lembut.
"I'm fine." Marda bergumam seraya menyunggingkan senyum kecil.
Teressa duduk di sebelahnya. "Kita sudah dapat peringatan jauh-jauh hari. Kehamilan ini berisiko tinggi. Baik bagi ibu atau pun janinnya. Tuhan belum mempercayakan sebuah tanggung jawab pada kita mungkin karena kita belum benar-benar siap."
Marda mengangguk pelan. "Apa Stevie akan merasa kehilangan?"
Teressa tak tahu. Di usia semuda Stevie, dirinya belum mengerti apa artinya tanggung jawab dan konsekuensi. Menurutnya, Stevie juga begitu. Dan sejujurnya, Teressa sedikit lega Stevie tidak benar-benar menjadi ibu di usia semuda ini.
***
.
.
.
.
Ekspektasi memang enggak seindah kenyataan. Jadi, adik-adik... kalian yg di bawah umur tapi enggak merasa di bawah umur, seks bebas itu risikonya tinggi. Bisa nularin penyakit kelamin, kehamilan dini, dan konsekuensi pertikaian keluarga. Penasaran memang wajar, tapi percayalah... nikmatnya seks cuma sesaat. Masih untung kalau kalian punya salah satu anggota keluarga yang suportif, kayak Teressa atau Marda. Nah, kalau enggak? Mau nyari support ke mana lagi kalau bukan balik ke keluarga?
Undang-undang di Indonesia belum melegalkan aborsi by choice. Seperti yg pernah Teressa bilang, ribetnya bukan main. Cara ilegal pun ada risikonya buat kesehatan kalian. Jadi... lebih hati-hati dalam memilih pergaulan, ya...
Bukan sok ngajarin, tapi ini sebagai bentuk tanggung jawab penulis dalam membuat cerita.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top