BAB 30
Siapin coklat biar kalian enggak ikut emosi.
Kalau ada, sih.
***
"Dia anak tukang kebun di rumah Papa."
Kalimat itu membuat kepala Teressa berputar hingga ia harus berpegangan pada sisi meja. Dosa apa yang telah dilakukan leluhurnya sampai generasi terakhir keluarga melakukan hal hina tanpa menyesalinya?
"Berapa usianya?"
"Lo tahu usia isi perut gue."
Teressa menggeleng. "Bukan. Bapaknya." Menyebut usia perut terdengar ganjil.
"Enggak tahu. Dia putus sekolah waktu SD."
Kepala Teressa makin pening. "Bokap tahu?"
Stevie menggigiti bagian dalam pipinya. Terlihat ragu. "Papa nanya, tapi enggak gue jawab. Keburu lari. Takut ditempeleng lagi."
Teressa meletakkan kedua tangannya di atas kedua bahu Stevie, sedikit meremasnya. "Lo tahu kan kalau kehamilan ini," ujar perempuan itu seraya memandangi perut Stevie yang rata. "-salah?"
Stevie tak berani menatapnya ketika ia menelan ludah.
"Stev, terlepas dari perut siapa lo lahir, lo tetap adek gue satu-satunya." Teressa melanjutkan. "Gue mungkin benci sama mama lo, tapi gue menganggap lo keluarga. Jadi, Stev, gue minta kerja sama lo supaya masalah ini enggak berlarut-larut."
Bibir bawah Stevie bergetar. Sebulir air mata jatuh ke pipinya, tapi buru-buru dihapus dengan kasar. "Gue harus apa, Kak?" ulangnya lagi seperti terakhir kali.
"Jujur sama gue. Apa lo dipaksa waktu itu?"
Stevie menggeleng.
"Jangan bohong, Stevie. Lo dipaksa atau enggak?" Teressa bertanya sekali lagi. "Jawaban lo akan menentukan nasib laki-laki berengsek itu."
"Jangan salahin dia, Kak! Kami melakukannya karena pengen tahu rasanya."
Teressa memejamkan mata. Sungguh polos adiknya ini. "Lo masih di bawah umur, Stevie. Kalau laki-laki itu usianya jauh di atas elo, dia pasti kena pasal dan masuk penjara. Ngerti sekarang?"
"Gue bisa bersaksi kalau dia enggak maksa gue-"
"FUCK WITH THAT," seru Teressa di depan muka Stevie sampai adiknya itu terkejut dan ketakutan. "You understand nothing," sambung Teressa dengan suara lebih pelan. Elo goblok dan naif! Jeritnya dalam hati. "Shit, gue butuh waktu. Panggil gue kalau butuh sesuatu." Teressa bergegas pergi ke closet mini dan mengunci pintunya dari dalam. Kemungkinan kalau Stevie dipaksa oleh orang dewasa sampai mengakibatkan dia hamil terlalu mengerikan bagi otak Teressa.
Tangan Teressa otomatis men-dial nomor Marda.
"Ya, Babe?"
Dia tak punya waktu untuk merasakan degup jantung menggila karena panggilan itu. "Aku udah tahu pelakunya."
"Pelaku apa?"
"Stevie."
"Ah, I see. Someone we know?"
"Someone my family know very well. Aku masih belum tahu yang mana karena di rumah Papa ada empat orang tukang kebun, dan mungkin bertambah sekarang."
Di seberang hening. Sepertinya Marda juga kesulitan untuk mencerna informasi ini.
"Aku akan antar Stevie pulang dan memastikan sendiri."
"Biar kuteman-"
Panggilan diputus sepihak sebelum Marda selesai bicara.
***
Perlu beberapa waktu untuk membujuk Stevie agar dia mau diajak pulang ke rumah. Padahal awalnya, Stevie berharap kalau Teressa hanya akan menerimanya tinggal sementara sampai bayi itu lahir.
"Masalah ini harus diselesaikan," ujar Teressa tegas.
Dia menyuruh Pak Yono untuk mengebut menuju rumah yang berada di kawasan elit ibukota, di mana lebih banyak rumah tak berpenghuni yang sengaja cuma dijadikan aset oleh pemiliknya.
Teressa terpaksa setengah menyeret Stevie untuk masuk ke rumah. Hal itu tentu mengundang keributan sampai ke telinga Linda dan Herman Hagi.
"Stevie?" panggil Linda. "Tessa, ada apa ini?"
Ada apa ini? Ulang Teressa penuh kesinisan dalam hati. "Anak kalian hamil."
Stevie bersembunyi di balik tubuh Teressa, tak berani memandang orang tuanya yang saat ini sedang berwajah menahan amarah. Sebentar lagi, mungkin dia akan merasakan kepalanya ditempeleng untuk yang kedua kali.
"Bawa anak sialan itu ke sini! Suruh dia bilang siapa orang yang menghamilinya!" bentak Herman. Linda tak berani memprotes suaminya meski ia tidak suka putri mereka disebut begitu.
"Jadi begini cara Papa memperlakukan semua anak Papa?" tanya Teressa. "Anak sialan! Anak kurang ajar! Anak bangsat! Enggak ada satu pun kata-kata baik keluar dari mulut Papa!"
"Kamu jangan ikut campur, Tessa! Ketidak becusanmu jadi anak saja sudah bikin Papa rugi triliunan!"
"Cuma uang yang Papa pikirin!"
"Kalau bukan uang lalu apa?" raung Herman. "Jangan seenaknya kamu tiba-tiba menginjakkan kaki di sini lalu menceramahi Papa! Gara-gara perasaan melankolismu terhadap galeri itu, Papa harus menanggung malu di depan para pemegang saham! Hal yang kayak gitu enggak akan pernah bisa kamu pahami!"
"Kenapa jadi membahas galeri lagi, sih!"
"Lalu untuk apa kamu datang?"
"Tessa datang buat ngasih tahu kalian kalau orang yang menghamili Stevie adalah pegawai yang bekerja di rumah ini."
Linda menutup mulutnya, terlalu terkejut. Alis Herman Hagi berkedut mendengarnya. "Jangan mengada-ada kamu!" desisnya. Dia berdiri gelisah sambil memegangi kepala sebelum berteriak nyaring memanggil dua pegawai yang paling dipercayainya. "Wilis! Arin!"
Begitu keduanya muncul, Herman langsung memberi perintah untuk mengumpulkan semua pegawai yang ada di rumah ke hadapannya. Baik Wilis maupun Arin tak dapat membantah. Sekitar delapan belas pegawai datang dan berbaris rapi sambil menundukkan kepala, mirip seperti suasana penjara karena mereka dapat merasakan aura kemarahan tuan mereka.
"Tunjuk siapa!" ujar Herman pada Teressa yang langsung menarik tangan Stevie. Anak itu sudah menangis sesenggukkan. Teressa tak menyadarinya.
"Gue di sini. Lo tinggal kasih tahu Papa!" ujar Teressa pelan.
Stevie menggeleng pelan. "Lo ngejebak gue, Kak."
Teressa sampai harus berlutut untuk mensejajarkan kepalanya dengan Stevie. "Gue udah bilang. Kalau sampai orang yang menghamili lo ternyata cuma memanfaatkan lo, dia bakal langsung dikirim ke penjara, enggak peduli apa pun."
"Lo sama aja kayak Papa!" sahut Stevie.
Linda mendekat dan memeluk pundak putrinya. Dia mengira Teressa tak dapat melihat cengkeramannya pada bahu Stevie sampai membuat anak itu mengernyit kesakitan.
"Jangan buang-buang waktuku! Tunjuk siapa!" Di belakang Teressa, Herman masih saja membentak.
"Gue enggak mau dia dipenjara, Kak." Stevie tersedu-sedu.
"Jangan bodoh, Stevie. Turuti saja apa kata papamu! Kamu enggak mau diusir dari rumah ini, 'kan?" desis Linda.
Stevie mendongak sedikit. Teressa langsung menoleh ke arah barisan pegawai. Dia yakin Stevie melihat pelakunya. Ya, Teressa menganggap laki-laki itu penjahat karena telah berhubungan dengan anak di bawah umur.
Sebelum Teressa dapat bertindak, Herman Hagi sudah lebih dulu menendang perut pegawai yang dilihat Stevie.
"Papa!" pekik Stevie dan Teressa hampir bersamaan.
Tak cukup sampai di situ, Herman menarik kerah baju laki-laki yang telah menghamili putri bungsunya.
"Bajingan tidak tahu diri!" seru Herman.
Teressa mencengkeram lengan Herman dan berakhir didorong sampai terjatuh ke lantai. Herman Hagi memukuli laki-laki yang usianya tidak terlalu jauh dari Stevie. Nyatanya mereka sama-sama di bawah umur.
"Stop, Pa!" teriak Teressa karena ngeri melihat darah di wajah anak itu. Ayahnya tak dapat berbuat apa-apa selain menunduk dalam-dalam sambil meremas tangannya sendiri.
"Kalian semua sama saja!" raung Herman Hagi. "Sama-sama cuma bisa bikin masalah buat saya!" Semua kata makian keluar dari mulut Herman Hagi. Setelah puas memukuli ayah dari cucunya, Herman Hagi menatap Stevie dengan wajah merah padam.
"Gugurkan anak itu!" tunjuknya.
"Jangan menambah dosa, Pa!" Teressa bangkit berdiri. "Menggugurkannya bisa bikin Stevie punya kemungkinan buat pengangkatan rahim."
"Papa enggak peduli dia enggak bisa hamil lagi. Pokoknya gugurkan! Papa enggak sudi punya cucu dari makhluk-makhluk hina seperti mereka!"
"Papa keterlaluan!" Di antara mereka semua, hanya Teressa yang berani membantah Herman Hagi. Sebenarnya, hanya mereka berdua yang bicara sejak tadi. "Memangnya Papa enggak mikirin risiko kematian buat Stevie? Kenapa Papa berpikiran pendek, sih?"
"Jaga mulut kamu, Tessa!"
"Jangan suruh Tessa jaga mulut kalau Papa sendiri enggak bisa!"
"Anak sialan!"
"Ya, Tessa memang anak sialan! Tessa enggak akan pernah jadi putra bagi Papa! Kalau Papa enggak bisa jadi ayah terbaik buat kami, setidaknya bersikaplah jadi ayah yang layak!"
Herman Hagi mengangkat tangannya untuk menampar mulut lancang Teressa, tapi gerakannya terhenti di udara karena Marda menahannya.
"Cukup, Pa," ujar Marda.
***
.
.
.
.
Pernah ga sih kalian berantem sama orang tua sampe bikin sakit hati?
Will you forgive them?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top