BAB 29

Teressa mengetukkan jarinya di atas meja, menunggu Nana bicara. Asistennya itu tidak berusaha membela diri setelah melakukan kecorobohan fatal dengan mengirim bunga lili ke kantor Marda, dan tiket nonton bola ke alamat Juliette. Nana bilang, dia keliru memberikan alamat pada vendor. Sedangkan masalah bunga lili adalah murni ketidak tahuannya terhadap arti-arti bunga. Dia suka bunga lili karena menurutnya warna putih menandakan ketulusan.

"Ya, sudah. Ini terakhir kali tindakan ceroboh kamu, saya maafkan."

"Apakah efeknya fatal, Bu?" tanya Nana takut-takut.

Teressa menggeleng. "Kembali bekerja. Dan, makasih kopinya."

Nana hafal kebiasaan bosnya. Jika sedang murung, Teressa cenderung menyukai kopi dengan krimer yang banyak. Makanya dia buru-buru membuat kopi drip dan mencampurnya dengan krimer sebelum Teressa datang.

Setelah kepergian Nana, Teressa menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi sambil memandang langit-langit. Memorinya memutar obrolan dengan Marda semalam. Sebetulnya dia tidak bermaksud menyinggung hati Marda, tapi entah kenapa arah pembicaraan mereka autopilot menuju ke pernyataannya tentang rasa tidak percaya terhadap lelaki yang kini menjadi suaminya. Setelah kecanggungan semalam, mereka berakhir tidur terpisah. Padahal Teressa sudah membayangkan seks hebat yang akan membuat paginya menjadi lebih bersemangat.

Pipi Teressa jadi bersemu. Sejak menikah, mereka belum terlibat kemesraan yang lebih intim dari ciuman. Teressa tidak mau sekadar ciuman, dia mau lebih, tapi bagaimana caranya jika suaminya saja begitu kecewa padanya?

Tidak sampai di situ, permasalahan dengan Juliette juga belum dapat solusi. Ditambah masalah Stevie. Ugh, kepala Teressa jadi pening. Lalu sebuah ide muncul di kepalanya. Dia bangkit dan bergegas menuju closet mini tempat ia menyimpan pakaian ganti, tas, dan aksesoris yang menunjang penampilannya sebagai wajah perusahaan. Teressa mengambil sebuah mini bag keluaran Prada yang terbuat daei kulit saffiano. Juliette menginginkan tas ini sejak lama, tapi hanya Teressa yang beruntung mendapatkannya.

Buru-buru ia menghubungi meja Nana untuk segera memanggil Juliette ke ruangannya.

Tak sampai sepuluh menit, Juliette masuk ke ruangan dengan wajah ditekuk.

"Tadaa!" Teressa mempersembahkan mini bag ke hadapan Juliette. Mata perempuan itu langsung berbinar sedikit, tapi kejutekan mengambil alih kemudian.

"Lo pikir gue mempan disogok beginian?" tanyanya judes.

"Ayolah, Jul!" Teressa menggunakan jurus terakhirnya, yaitu merengek. "Gue enggak bermaksud bohongin lo. Banyak yang terjadi belakangan, dan gue enggak sempat ngasih tahu lo."

"Sekadar ngirim pesan juga enggak bisa?"

Teressa menggeleng. "Gue janji akan cerita semua kalau lo nerima maaf gue."

Ekspresi Juliette perlahan berubah. Ujung telunjuknya menyentuh mini bag di atas meja. "Ini beneran buat gue?" tanyanya pelan.

"Iya, buat lo! Apalagi yang lo mau? Sebutin semua!"

"Cuma satu. Enggak boleh nagih tas ini lagi," timpal Juliette serius.

Teressa mengangguk mantap. "Udah gue ikhlasin."

Juliette mengambil tas itu dengan girang lalu mengambil tempat duduk di sofa agar bisa puas-puas melihat hadiah barunya. "Kebetulan gue baru bikin gaun baru yang cocok dengan tas ini. Gue pake besok, ah!"

Teressa mengulum senyum. "Lo jadi penasaran enggak sama kronologinya?"

Juliette menyimpan tas itu di sebelahnya lalu menyuruh Teressa segera duduk di sisinya yang lain.

"Yang rinci, don't leave any details!"

Teressa menceritakan semuanya. Dari kejadian setelah pesta, masalah galeri, keputusan impulsifnya untuk menikahi Marda dalam waktu sehari dan bagaimana respon Marda terhadap ide gilanya, serta terakhir masalah Stevie. Juliette sama sekali tak terkejut.

"Udah gue duga tuh anak bakal salah pergaulan." Juliette menghela napas berat. "Terus sekarang anaknya gimana?"

"Balik ke rumah bokap."

"Lo sendiri gimana? Kapan mau ngerencanain resepsi?"

"Sebenarnya gue tiba-tiba punya ide buat langsung bikin post-wedding aja."

"Lah, gila lo! Kerabat, kolega, sama orang tua lo gimana?"

"Bodo amat gue. Marda juga kelihatannya setuju, meski gue belum bilang."

"Kayaknya dia tipikal suami yang takut istri, ya?" Juliette tak dapat menahan cengirannya. "So, malam pertama apa rasanya?"

Teressa menggaruk kepala. "Belum nyampe situ. Kami sama-sama sibuk. Dia lagi berusaha adaptasi di perusahaan keluarganya."

Juliette geleng-geleng kepala. "Memangnya udah resign dari kantor lama? Apa, tuh? Maskapai, kan?"

Teressa mengangguk, dia sudah sempat menceritakan latar belakang Marda sebelum mereka terlibat perang dingin. "Dia udah nerima takdir sebagai pewaris perusahaan. Mau gimana lagi, udah enggak ada yang nerusin soalnya. Tapi gue masih heran sama obsesinya buat hidup sederhana."

Juliette mengernyit. "Gimana tuh maksudnya?"

"Ya, hidup seadanya. Makan makanan di pinggir jalan-"

"Nggak hygiene," sahut Juliette.

"-tinggal di rumah sederhana,"

"Sempit, maksudnya?"

"Dan isi furnitur rumahnya biasa banget!"

"Murahan?"

Teressa mendesah pelan. "I can't understand him, dan sekarang dia ngira aku enggak percaya sama dia." Bibirnya mencebik kecil. "Gimana mau percaya kalau di awal pertemuan setelah bertahun-tahun, gue malah diperalat buat dijadiin saksi hibah warisan!"

"Ckckck. Lo tuh pendendam banget, ya? Masalah itu lo ungkit mulu!"

Bibir Teressa makin cemberut.

***

Sekitar jam empat sore, Nana memberitahu Teressa kalau ada tamu yang menunggunya di lobi.

"Siapa?"

"Anak perempuan. Usianya mungkin tiga belas atau empat belas. Katanya adik Bu Tessa."

Ternyata Stevie.

"Langsung diantar ke ruangan saya. Pake lift khusus direksi biar enggak dilihat pegawai yang lain."

Teressa menutup telepon, membereskan mejanya, lalu duduk menunggu. Tak beberapa lama, pintu ruangannya diketuk pelan.

"Masuk!"

Wajah pucat Stevie menjadi yang pertama kali menarik perhatiannya. Dia langsung bangkit dan menghampiri Stevie. "What's wrong?" Tangannya menangkup pipi Stevie yang dingin atas dorongan naluri. Stevie memalingkan mukanya.

"Gue boleh nginep di tempat lo lagi?"

"Memangnya kenapa?"

"Bokap ngamuk."

Teressa memutar bola mata. "Of course," gerutunya. "Lo diapain?"

"Kepala gue ditempeleng. Untung ditahan Mama."

"Diapain lagi?"

"Disuruh gugurin kandungan, Kak."

Semuanya sesuai tebakan Teressa. "Jadi, rencana lo adalah dengan numpang sama gue sampai anak itu lahir?" tanya Teressa tanpa tedeng aling-aling.

"Bisa, enggak, gue duduk bentar? Kepala gue pusing."

Teressa menyingkir agar Stevie dapat memilih duduk di mana.

"Sejujurnya gue enggak tahu mau diapain anak ini." Tiba-tiba Stevie bersuara setelah beberapa lama terdiam.

"Kehamilan lo berisiko."

"Kalau digugurin?"

"Di luar negeri sih lumrah terjadi. Demi keselamatan ibunya. Bukan berarti itu legal. Dan kebetulan negara kita termasuk yang menganggap ilegal aborsi selain karena kasus pemerkosaan. Itu pun harus dibuktikan dengan visum dan lain-lainnya."

"Jadi, gue harus apa, Kak?"

"Hal paling dasar yang bisa lo lakuin adalah dengan ngasih tahu gue, siapa bapak anak itu."

"Gue enggak bisa."

"Apa gue kenal orangnya?" Stevie menggeleng.

"Dia murid di sekolah lo juga?" Lagi-lagi Stevie menggeleng.

Teressa hampir hilang kesabaran.

"Dia anak tukang kebun di rumah Papa."

Teressa bersumpah mendengar petir di siang bolong saat itu juga.

***

.

.

.

Gais, gais... share dong tentang apa yang kalian pikirkan tentang:

Teressa?

Marda?

Juliette?

Stevie?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top