BAB 28
Homey.
Istilah itu muncul di kepala Teressa ketika ia pertama kali menginjakkan kaki ke rumah Marda yag sesungguhnya. Bukan penthouse yang digadang-gadang selama ini, melainkan sebuah hunian dua lantai di komplek perumahan menengah ke atas. Teressa menganggukkan kepalanya penuh apresiasi. Tidak rugi dia merengek minta dibawa ke sini alih-alih ke penthouse.
"Kamarku di mana?"
"Atas." Marda menjawab sambil menyeret dua koper raksasa Teressa.
"Kamarmu di mana?"
"Atas."
"Di atas ada berapa kamar?"
"Satu."
Teressa sontak menoleh. "Sekamar?"
Marda menghela napas. Ingin sekali dia ngegas dengan bilang ya-iyalah, tapi ini Teressa. Yang ada justru Marda kena amuk balik lalu mereka bertengkar dan yadda-yadda...
"Iya, Sayang. Kita sekamar di atas. Kan sudah suami istri." Marda menjawab selembut mungkin.
Tahu ekspresi Teressa?
Dia malah tersenyum sinis.
"Mau modus?" tanya wanita itu dengan nada lebih sinis.
Daripada Marda terjebak situasi serba salah, ia menghirup napas dalam-dalam untuk mempertahankan suasana sunyi nan romantis ini. Dia berjalan mendekati Teressa lalu mengusap kedua lengan wanita itu dari belakang supaya lebih rileks. Berhadapan dengan miniatur Linda tentu menguras energi Teressa seharian. Sudah kewajiban Marda sebagai suami untuk mengembalikan mood sang istri. Toh, dia juga yang akan kecipratan enaknya.
"Modus itu hak suami. Dikasih atau enggak, itu pilihan istri. Aku pengen pernikahan kita berhasil. Jadi, mohon kerja samanya ya, Sayang? Hmm?"
Ujung telinga Teressa memerah saat Marda membisikkan kalimat itu di atas bahunya. Istrinya kelihatan sedikit salah tingkah, meski cuma sesaat.
"Aku lapar." Teressa berujar seraya keluar dari kungkungan tangan Marda. Ia berjalan berkeliling untuk melihat, atau menaksir harga furnitur yang dibeli Marda dengan gajinya yang 'tak seberapa'. "Kamu bisa masak, 'kan?"
Marda mengangguk. Sebenarnya dia sendiri juga sudah sangat lelah. Namun, melihat Teressa sore ini mengembalikan staminya. Sekuat itulah pengaruh wanita keras kepala melebihi batu bernama Teressa.
"Kamu mau makan apa?"
"Ada apa di kulkas?" Teressa malah balik bertanya sambil menekuri sebuah lampu duduk dengan desain industrial. Jauh dari standar kesukaannya.
"Aku belum belanja bulanan."
"Punya pasta?"
Marda coba mengingat-ingat. "Rasanya ada. Kulkasku juga enggak kosong-kosong amat deh kayaknya."
"Malam ini giliran aku yang masak. Kamu mandi, terus kita makan malam bareng."
Marda mengerjap saja. Dia tidak salah dengar?
Teressa mendekat lalu menjentikkan jari ke depan mukanya sampai Marda terkejut. "Malah ngelamun."
Tanpa ba-bi-bu, Marda menundukkan kepalanya untuk memagut lembut bibir yang mencebik itu dengan bibirnya. Seperti yang ia duga, bibir Teressa begitu lembut dan manis. Teressa terkejut, tapi dia tidak menolak. Kesempatan itu dimanfaatkan Marda untuk menangkup sisi kepala Teressa agar ia mudah mendapatkan sudut yang ia inginkan. Lidah Marda menyeruak masuk dengan gerakan lembut, membujuk Teressa agar membuka diri padanya. Lelaki itu tidak menuntut, melainkan membiarkan Teressa mengambil kendali meski sedikit ceroboh. Teressa merupakan wanita dominan, dan Marda rela menyerahkan apa saja untuknya.
Ciuman penuh gairah itu terhenti saat keduanya memutuskan untuk mengakhiri. Mereka sama-sama sedikit terengah dengan dahi saling bertemu.
"Ini baru ciuman yang sesungguhnya," Marda berujar.
Teressa tersenyum. Pipinya bersemu kemerahan. Seandainya dia fotografer andal, Marda ingin mengabadikan pemandangan indah di depannya.
"Let me cook for you, so we can watch Netflix and chill." Teressa setengah berbisik lalu menggigit bibirnya sendiri.
"Netflix and chill," ulang Marda dengan dada dipenuhi letupan kembang api. "Great idea." Ibu jarinya mengusap ringan bibir bawah Teressa agar wanita itu berhenti menggodanya.
***
Aglio e Olio buatan Teressa memang tidak seenak buatan restoran, tapi Marda makan amat lahap. Dia sampai minta tambah dua kali, mirip orang yang berhari-hari tak makan. Teressa kenyang hanya dengan melihat Marda makan masakan buatannya.
"Kamu laper atau doyan, sih?" tanya Teressa sambil menahan senyum geli.
"Dua-duanya."
Setelah makan, Marda berinisiatif membuat camilan berupa kentang goreng yang biasanya dia jadikan stok pengganjal perut. Malam ini mereka akan kencan di rumah. Menonton film sambil bersantai, atau bercumbu kalau kesempatannya ada.
Selagi Marda membersihkan dapur bekas Teressa memasak yang sebenarnya lebih mirip medan perang, Teressa mengambil giliran untuk mandi.
Marda tak sanggup menyembunyikan senyum konyolnya ketika mereka berdua akhirnya menonton film The Blind Side dari layar besar. Mereka duduk berdempetan di karpet bulu sambil bersandar pada kaki sofa. Sebuah selimut tipis melingkupi tubuh keduanya. Suasana sudah mirip bioskop karena Marda mematikan setengah lampu di lantai bawah.
"Sewaktu kita ketemu di konser Scavenger, kamu dateng bareng siapa?" tanya Teressa tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
"Temen-temen yang kamu lihat di Jule's. Mereka suka Scavenger juga, tapi enggak sefanatik kamu. Memangnya kenapa?"
"Setelah lihat aku, kamu enggak balik ke temen-temenmu?"
Marda menggeleng. "Aku bisa ketemu mereka kapan pun, kalau sama kamu kan jarang-jarang. Makanya aku intilin terus, because I was too happy to see you. Kamu terganggu enggak waktu itu?"
"Sejujurnya iya."
Bibir Marda mendadak memberengut, jadi Tessa mengecupnya ringan.
"Ada alasannya," sambung Teressa. "Waktu itu aku marah. Belum move on."
Sebelum Marda sempat menyahut, Teressa membungkam mulutnya lagi dengan satu kecupan. Untung kentang tadi dimasak di air fryer, jadi mulut mereka tidak belepotan minyak.
"Dulu aku berpikir kamu masih punya tunangan."
"Ah, aku ingat. Kamu sempat marah waktu nanya tentang tunanganku. Sebenarnya kami belum sempat bertunangan. Cuma dijodohkan, tapi enggak cocok."
"Kamu bilang gaya hidup kalian berbeda."
Marda mengangguk. "Kepribadiannya bertolak belakang denganmu."
"Memangnya dia kenapa?"
"Manja." Marda bergidik saat mengingatnya. "Perkara HP ketinggalan aja, dibelain pulang lagi ke Singapura naik pesawat. Padahal kita udah di Thailand." Entah untuk acara apa, Marda tak ingat detailnya. Yang dia ingat hanya perasaan sebal yang mengendap selama beberapa hari.
"Cantik?"
Aha. Marda tahu pertanyaan jebakan ini. Semua wanita pasti bertanya hal yang sama, jadi Marda sudah mempersiapkan jawabannya. "Lebih cantik kamu lah. Enggak pakai riasan aja, kamu cantik. Apalagi kalau udah dandan."
Bukannya tersenyum, Teressa malah mendengkus. Itu bukan jawaban yang diharapkannya. "Kukira kamu bakal jawab dengan netral. Kalau cantik ya bilang cantik. Enggak perlu dibandingin sama siapa-siapa."
Marda menelan ludah. "Bagaimana denganmu? Sebelum kita ketemu, ada yang lagi dekat sama kamu?"
"Memangnya kenapa?"
Marda mengedikkan bahu. "Berarti aku nikung dia."
"Kamu pernah menyindirku dengan jawaban versimu sendiri."
"Yang mana?"
Teressa berdeham, lalu mengatur mimik wajah dan suaranya agar bisa semirip mungkin dengan Marda. "Mana ada cowok yang berani deketin lo setelah tahu latar belakang lo, isi kepala lo, dan uang yang lo punya?"
Marda menggaruk pelipis. Dia tidak ingat pernah bilang begitu.
"Memang enggak persis, tapi intinya sama." Teressa berujar akhirnya.
"Memangnya iya?"
Giliran Teressa yang mengedikkan bahu. "Aku memang enggak pernah berkencan. Enggak ada waktu." Dia memandang Marda. "Setelah kita menikah, gimana hubunganmu sama keluargamu?"
"Ya, begitulah. Bagi mereka, aku ini antara ada dan tiada. Kalau lagi enggak butuh ya enggak dicari."
"Bukannya itu yang kamu mau?"
Marda mengangguk pelan. "Memang. Aku lebih memilih mereka bersikap apatis terhadapku daripada selalu ikut campur."
"Kukira mamamu bukan orang yang apatis terhadap anak sendiri."
Marda tersenyum simpul. Dia teringat saat mengetahui kalau mamanya mengirim mata-mata untuk mengikutinya membeli hadiah yang akan diberikan pada Teressa. Sejak itu, kedua keluarga bersepakat untuk mengikat kerja sama lewat pernikahan mereka berdua.
"Kita sama-sama diperalat, enggak, sih?" tanya Teressa setengah menerawang.
"Aku enggak peduli kalau pun diperalat. Toh, aku udah dapat apa yang aku inginkan."
"Pffttt," dengkus Teressa. "Jangan bilang kalau yang kamu inginkan selama ini adalah menikahiku."
Cukup lama Marda tak menjawab. Yang dilakukannya hanya menatap Teressa dengan ekspresi yang sulit untuk diungkapkan. Bibir Teressa setengah membuka ketika tahu jawabannya.
"Wait a minute, kalau selama ini kamu berharap buat menikahiku, kenapa aku enggak tahu sama sekali?"
"Tahu apa?" tanya Marda tak mengerti.
"Tanda-tandanya! Kamu enggak pernah menghubungiku, muncul dengan rencana brilian buat memanfaatkanku, lalu tiba-tiba menerima perjodohan. Itu enggak make sense. Aku perempuan. Perempuan selalu punya semacam insting untuk mengetahui mana laki-laki yang menyukainya, dan mana yang enggak."
"Menurutmu, aku termasuk yang mana?"
"I can't read you."
"Jadi.... Kamu belum percaya?"
***
.
.
.
Yok ribut yok...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top