BAB 26
"Jul, kita bicara besok, ya? Please?"
Klik. Telepon ditutup sepihak. Upaya berdamai dengan Juliette gagal, untuk sementara. Sekarang urusan dengan suaminya. Teressa setengah berlari menghampiri Marda yang berwajah muram. Tentu saja dia begitu. Kalau Teressa yang mendapat kiriman bunga lili sebanyak ini, dia juga akan suntuk setengah mati. Memangnya siapa yang lagi berduka?
"I'm so sorry." Marda terpana. Baru kali ini dia mendengar Teressa menurunkan harga dirinya dan meminta maaf lebih dulu. "Sebenarnya bukan ini yang mau aku kirim ke kamu. Somehow, asistenku ceroboh dan melakukan kesalahan. Maaf, ya?" Marda semakin terpana. Dia menatap Teressa bagai melihat alien. Apa hubungan mereka sudah ada kemajuan?
"Err..." Saking kagetnya, Marda sampai sulit berkata-kata.
Teressa menarik pelan lengan lelaki itu untuk membelakangi Stevie yang berdiri agak jauh dari mereka. "Stevie hamil," bisiknya.
Marda menoleh ke belakang, rautnya lebih terkejut lagi. "Memangnya dia sudah puber?"
Teressa mengangguk lalu menunjukkan tiga testpack pada lelaki itu. "Semuanya positif. Usianya belum genap lima belas." Dia dan Marda saling menatap untuk beberapa lama. "Setahuku, kehamilan di bawah usia delapan belas punya risiko tinggi. Kita harus bawa dia ke dokter. Secepatnya."
"Orang tuanya sudah diberitahu?"
Teressa menggeleng.
"Kita harus beritahu orang tuanya." Karena terganggu dengan banyaknya bunga lili di antara mereka, Marda memindahkannya ke tangan lain. "Kamu enggak bisa menyembunyikannya di sini."
"Memangnya kenapa?"
"Kamarnya cuma satu."
"Terus?"
"Masa aku tidur di sofa lagi?"
Teressa memukul pelan perut Marda sampai lelaki itu mengaduh. "Lagi gawat begini, malah itu yang kamu pikirin!"
Di luar dugaan, Marda justru terkekeh. Dia senang dengan perubahan ini. Teressa sudah menurutinya untuk ber aku-kamu. Mendadak, masalah bunga lili jadi termaafkan begitu saja. Toh, hanya bunga. Teressa tidak bermaksud mengiriminya lelucon sejak awal.
"Kita bawa dia masuk dan bicara."
"Bersikap lembutlah padanya."
"Sudah kucoba!" Teressa berbalik dan memanggil Stevie mendekat. "Sini, Stev. Kenalin, Marda. Kakak ipar lo."
Stevie hanya mengangguk. "Gue pengen duduk, Kak. Kepala agak pusing."
"Oh, right!" Teressa buru-buru membuka kunci unit lalu mempersilakan Stevie masuk lebih dulu. Sebelum dia menyusul, lengan Marda menahannya.
"Kita harus beritahu orang tuanya." Marda mengulang.
"Dia bisa habis digebukin bokap."
"Setidaknya mereka perlu tahu kalau kehamilan Stevie berisiko."
"Kita pikirin nanti. Yang penting sekarang, ngurus Stevie dulu."
Marda mengalah. "Ya, sudah."
Keduanya menyusul masuk dan melihat Stevie sedang merebahkan dirinya di sofa. Wajah remaja yang sebentar lagi jadi ibu itu tampak amat pucat.
"Ke dokternya enggak sekarang aja? Aku bawa mobil di bawah." Marda menyarankan.
Teressa mengangguk. "Biar dia istirahat sebentar, baru kita antar."
***
"Karena kehamilan ini terjadi di bawah 18 tahun, maka kehamilannya termasuk berisiko tinggi, membahayakan ibu dan janin. Kami sarankan untuk rajin kontrol di rumah sakit supaya bisa dipantau langsung oleh dokter kandungan," ungkap dokter setelah memeriksa hasil lab dan USG pada mereka semua.
Tanpa sadar Teressa menggenggam tangan Marda. Dia ingin marah, tapi Stevie bukan tanggung jawab utamanya. "Risiko tingginya apa saja, Dok?"
"Anaknya bisa lahir prematur, kurang berat badan, atau si Ibu mengalami pendarahan saat melahirkan karena fisiknya belum siap. Setelah melahirkan pun pertumbuhan ibu juga akan terhenti karena tubuhnya fokus ke menyusui atau perkembangan reproduksi lain. Fungsi tubuhnya sudah berbeda dengan anak seusianya."
Marda geleng-geleng kepala, ikut pening membayangkannya.
"Karena awal kehamilan adalah yang paling rentan, maka saya resepkan vitamin untuk rutin dikonsumsi, dan ini sifatnya wajib. Aktivitas juga mesti dibatasi, dan hindari bepergian jauh. Ketika melahirkan nanti, si Ibu harus dirawat di rumah sakit, karena kecil kemungkinan untuk dilakukan persalinan normal."
Stevie jatuh tertidur saat dalam perjalanan pulang ke apartemen Teressa. Suasana di mobil hening sejak mereka keluar dari rumah sakit. Sesekali Teressa menoleh ke belakang untuk memeriksa kondisi adik tirinya yang tampak begitu lemas dan mudah lelah.
"Rencana kita apa?" tanya Marda tiba-tiba.
"Aku harus bilang ke orang tuanya."
"By phone?"
Teressa mengangguk. "Mungkin ibunya akan langsung nyusul Stevie untuk dijemput paksa. Lalu Papa," gantungnya. "Dia yang paling sulit ditangani. Aku khawatir Stevie dimaki habis-habisan, atau malah dipukuli."
"Papamu ringan tangan?"
"Belakangan ini, iya."
Sesampainya di apartemen, Stevie langsung pamit untuk beristirahat lebih dulu. Dia belum juga ingin bicara tentang siapa ayah dari janin yang dikandungnya, dan Teressa hampir naik pitam karena tak sabar menunggu meminta pertanggung jawaban.
"Menyembunyikan identitas cowok pengecut itu enggak akan ngasih lo kebaikan apa-apa!" seru Teressa.
"Leave me alone!" Stevie balas berseru. "Gue enggak minta lo buat bantu gue!"
"Kalau gue enggak bantu, lo pasti habis di tangan Papa!"
"Papa enggak begitu. Papa sayang sama gue daripada lo!"
"Ha. Itu karena lo belum ketahuan melakukan seks di bawah umur dan di luar nikah, dasar keras kepala!"
"Leave me alone, Kak!" Kali ini Stevie setengah menjerit dan menyembunyikan wajahnya di balik selimut. "Gue enggak akan pernah ngasih tahu lo!"
"Lo kira gue enggak bisa nyari tahu sendiri?"
Marda mencekal lengan Teressa. "Sudah malam. Biarkan dia istirahat."
Semalaman itu keduanya cuma duduk di depan TV untuk menonton entah film apa. Mata Teressa dan Marda sama-sama mengarah ke layar, tapi pikiran mereka melanglang buana. Beberapa waktu kemudian, Teressa menyandarkan kepalanya di bahu Marda. "Begini sebentar, ya?" Teressa memejamkan matanya yang berat.
Marda membetulkan posisi duduk mereka agar Teressa dapat beristirahat dengan nyaman. "Kamu peduli sama dia?"
Teressa butuh cukup lama untuk berpikir sampai akhirnya dia mengangguk. "Gimana-gimana dia masih adikku. Rasanya aku pengen matahin kaki cowok yang udah bikin dia begini."
"Kalau mereka melakukannya karena suka sama suka?"
"Tetep aja mau kupatahin. Goblok bener enggak make kondom!"
"Tapi mereka di bawah umur."
"Justru karena itu aku pengen matahin dua kakinya sekaligus. Masih di bawah umur udah begitu. Giliran jadi anak, yang rugi selalu pihak perempuan."
"Ngomong-ngomong... yang waktu itu, kita juga enggak make kondom." Marda berujar pelan.
"Enggak jadi anak. Aku udah datang bulan."
"Oh." Nadanya terdengar agak kecewa.
"Sudah kubilang aku enggak mau anak dulu buat setidaknya setahun. Kupikir kita udah sepakat."
Marda menyelipkan satu lengannya ke belakang punggung Teressa agar dia bisa memeluknya erat-erat. Rasanya nyaman dan menyenangkan.
"Okay, fine." Walau bersungut-sungut, Marda tetap menyetujui rencana Teressa mengenai masalah anak. "Let's talk again."
"About what?"
"How was your day?"
Teressa menghela napas berat. "Juliette marah karena kita enggak ngundang dia ke acara pemberkatan. Seharusnya bunga itu kuberikan buat dia, tapi setelah kupikir-pikir, lebih baik kamu yang nerima."
"Kenapa memangnya?"
"Dapat tiket nonton piala dunia aja Juliette ngomel, apalagi dikirimin buket bunga lili. Bisa makin-makin ngamuknya."
"Kenapa kamu kasih dia tiket nonton piala dunia?"
"Seharusnya tiket itu buat kamu. Bunganya untuk Juliette. Nana bilang, laki-laki suka nonton pertandingan olahraga."
"Tapi, belum tentu bola juga, kan?"
"Memangnya kamu suka apa?"
"Golf."
"Ada event dalam waktu dekat?"
"Enggak ada."
"Ya, sudah."
"This is nice." Marda merengkuh Teressa lebih erat, membuat kepala wanita itu kini terkulai di dadanya. "Kita harus melakukan ini lebih sering daripada berdebat terus."
Diam-diam, Teressa menyetujuinya. Hari ini sudah cukup melelahkan. Berada dalam pelukan Marda merecharge energinya secara perlahan.
***
.
.
.
.
Jadi begini teman-teman, mau dia usianya 14, 15, 16, kalau dianya sudah pubertas lalu dibuahi oleh sp*rma, maka jadilah anak. Kebetulan Stevie ini tokoh remaja yg merasa kenal cinta -kecepetan-. Terus klo aku jelasin lagi di sini, ntar aku spoiler bab selanjutnya. Hahaha...
thank you for reading this chap today...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top