BAB 25

Seolah pertengkaran konyol dengan Marda tak cukup mengganggunya, Teressa harus menghadapi Juliette yang ngambek karena merasa dikhianati akibat tak diberitahu apalagi diundang dalam acara pemberkatan pernikahan.

"Gue kira kita dekat, ternyata gue cuma alat," ucap Juliette sewaktu menghadangnya di lobi. "Gue cuma alat penghasil uang buat lo, 'kan?" lanjutnya dengan bibir bergetar.

"Ya Tuhan!" Teressa kembali mendesah pelan. "Jul, gue bisa jelasin."

"Enggak usah repot-repot!" Juliette berbalik pergi setelah menyeka air matanya secara dramatis -bagi Teressa.

Seandainya Teressa punya jadwal meeting di luar seharian itu, mungkin dia masih bisa menghindari Juliette. Masalahnya, meeting pertamanya hari itu adalah dengan tim kreatif dan desain, dilanjut dengan direksi, lalu produksi. Semuanya mengharuskan ia berkoordinasi dengan kepala desainer alias Juliette. Teman sekaligus rekannya itu cukup profesional. Meski hubungan pribadi mereka sedang bermasalah sejak pagi, Juliette tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Hanya saja, dia sering membuang muka jika sedang tak sengaja beradu pandang dengan Teressa. Hal itu membuat hati Teressa semakin tak nyaman.

"What should I do?"

"Iya, Bu?" Nana mendengar gumamannya ketika mereka baru selesai dengan meeting terakhir dan sedang dalam perjalanan menuju ruangan Teressa.

Wanita itu berbalik menghadap asistennya. "Saya harus apa kalau ada orang yang marah sama saya?"

Nana mengerjap. Dia kurang paham.

"Something happened, and I'm the one at fault." Teressa coba menjelaskan.

"Biasanya kalau orang bersalah ya harus minta maaf, Bu."

"I can't!"

Nana tampak berpikir. "Kasih hadiah?"

Mata Teressa berbinar mendengarnya. "Hadiah apa kira-kira yang cocok?"

"Kalau untuk perempuan, biasanya bunga."

"Kalau laki-laki?"

"Tiket nonton pertandingan." Nana menjawab dengan yakin.

"Pasti berhasil?"

"Layak dicoba, Bu. Kalau berhasil ya syukur. Kalau enggak ya coba lagi pake cara lain."

Teressa mengangguk. "Kalau gitu saya minta tolong kamu buat ngirimin semuanya hari ini, ya?"

"Tiket pertandingannya?"

"Carikan olahraga apa yang mau ada turnamen dalam waktu dekat. Piala dunia, kapan?"

Nana menggeleng tak tahu. "Saya cari tahu dulu. Kalau enggak ada bola?"

"Basket? NBL? Wimbledon? Cari eventnya!"

Nana mencatat di Ipad. "Untuk bunganya? Ada pesan khusus?"

"Something like... I can explain. Minta dikasih kesempatan buat menjelaskan sesuatu. Kamu atur lah kata-katanya yang enak bagaimana."

"Dikirim ke mana, Bu?"

"Ntar deh saya kirim alamatnya." Teressa meringis memegangi bagian bawah perutnya yang makin nyeri sejak pagi.

***

Sepanjang sore bergelung di kursi malas nyatanya membuat perut Teressa lebih baik. Dia menerima laporan dari Nana kalau pesanan bunga dan tiket piala dunia sudah dikirim ke penerima masing-masing. Teressa berpikir kalau hari ini adalah waktu yang tepat untuk memanjakan dirinya dengan fine dining di restoran langganannya. Pak Yono dan Nana mengantarkannya sebelum jam makan malam tiba sehingga Teressa tak harus masuk daftar tunggu. Setelah tiba di restoran, Teressa menyuruh keduanya pulang lebih awal karena dia ingin menikmati waktu sendirian.

Selesai makan, Teressa memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar sambil mencari apotik terdekat untuk membeli kompres pad agar nyeri perutnya lekas membaik. Sepanjang perjalanan, Teressa tak henti bersyukur. Hal sederhana seperti berjalan-jalan begini jarang bisa dinikmati olehnya. Dia jarang punya waktu luang untuk sekadar menikmati pemandangan kota di sore hari, atau memperhatikan lalu lalang kendaraan dari pedestrian. Ketika senja datang, dia menemukan apotik yang dicarinya. Dia segera mampir dan ikut mengantri, menunggu gilirannya tiba.

Di depan kasir, ada seorang remaja yang dari belakang tampak familier sedang menunggu pesanan. Teressa tak langsung menegur karena dia sedikit penasaran dengan apa yang dibelinya. Tak lama kemudian, petugas apotik datang sambil membawa 3 jenis merk testpack.

"Yang mana yang paling akurat?" Suaranya. Tak salah lagi.

"Tiga-tiganya akurat, Kak."

"Ya udah, saya beli semua."

Teressa mengernyit. Stevie membelinya untuk siapa, pikirnya. Lagi-lagi pertanyaannya terjawab ketika remaja itu menanyakan di mana toilet dan langsung pergi ke telunjuk apoteker mengarah.

"Ada yang bisa dibantu?" Giliran Teressa tiba. Dia menyebutkan pesanannya dan lantas bertanya, "adek yang tadi beli apa?"

Petugas hanya tersenyum. "Maaf, kami tidak membagi info pelanggan." Dia menjawab sopan.

"Saya perlu memastikan apa yang dia beli karena saya kakaknya."

Bibir petugas itu membuka sedikit. Kepalanya menoleh ke arah Stevie menghilang, tak benar-benar yakin dengan keterangan Teressa.

"Kalau enggak percaya, bisa tanyakan padanya waktu dia keluar." Teressa coba meyakinkan.

"Test pack." Si Petugas menjawab pelan. "Adek yang tadi beli tiga test pack beda merk."

Teressa mengangguk. Keyakinannya terbukti.

Dia sengaja menunggu di depan apotik sampai Stevie keluar. Sewaktu Teressa melihat dari balik kaca pintu, bahu Stevie tampak merosot. Rautnya begitu lesu. Berbanding terbalik dengan ekspresi tegang yang tadi ia tunjukkan di depan petugas apotik. Ketika remaja itu mendorong pintu keluar, Teressa menghadangnya. Saat mendongak, wajah Stevie sepucat kertas. Pupilnya membulat lebar, tak menyangka akan bertemu kakak tirinya di sini.

"Kak Tessa ngapain di sini?"

Tatapan Teressa datar, tapi di mata Stevie, tatapan wanita itu justru terlihat tajam, siap menghunusnya kapan saja.

"Buat apa lo beli test pack?" tanya Teressa tanpa tedeng aling-aling.

Raut Stevie perlahan berubah tegang. "Bukan urusan lo, Kak." Dia hendak menghindari Teressa, tapi wanita itu lebih gesit mencekal tangannya.

"Lo hamil?"

Stevie menggigit bibirnya yang pucat sampai kemerahan. "Gue bilang, bukan urusan lo, Kak!"

"Itu jadi urusan gue sebagai kakak lo. Bajingan mana yang ngehamilin lo?"

"Kak Tessa!" Air mata Stevie berlinang dan saat itu juga Teressa sadar kalau dia sudah keterlaluan. Stevie meronta lemah sambil melihat sekeliling, takut kalau pembicaraan mereka didengar orang lain.

"Lo ikut gue pulang!"

Stevie menggeleng. "Jangan, Kak!"

Sebuah taksi sudah menunggu mereka. Teressa sempat memesannya saat Stevie masih menghabiskan waktu di toilet.

"Please, Kak. Gue enggak mau pulang dalam keadaan begini."

"Pulang ke rumah gue, bukan ke rumah bokap. Lo pasti dipukulin kalau mereka tahu." Sebulir air mata jatuh ke pipi Stevie yang pucat. Dia tak dapat menahan kesedihannya. "Sekarang terserah elo. Mau pulang ke rumah gue, atau dipukulin sama Papa?" tanya Teressa.

Sesaat kemudian, Teressa dapat melihat kepala Stevie mengangguk samar. Dia bersedia ikut Teressa untuk pulang. Sepanjang perjalanan menuju apartemen, baik Stevie maupun Teressa sama-sama diam. Banyak hal berkecamuk di kepala mereka, tapi enggan mereka ucapkan sebelum mereka sampai di rumah.

Ini pertama kali Stevie datang ke apartemen Teressa. Selama ini, Stevie tak pernah tahu di mana Teressa tinggal. Saat tahu rumah Teressa ternyata amat jauh dari rumah orang tuanya, dia tampak lebih tenang. Stevie berdiri gusar di dalam lift. Dia sering menggigiti kukunya sendiri sampai terluka. Teressa tak tahan melihatnya.

"Sudah berapa lama?"

"Enggak tahu."

"Mana test packnya?"

Stevie merogoh tas dan menyerahkan tiga jenis alat testpack untuk diperiksa Teressa. Semuanya menunjukkan hasil positif. Meski Teressa sudah mengantisipasi ini, dia tetap terkejut. "Berapa umur lo tahun ini?"

"Desember nanti lima belas."

Teressa tertawa sinis. "Pergaulan lo seluas apa sampai tahu seks di umur belum genap lima belas?"

Wajah Stevie merah mendengarnya. Dia hendak memencet tombol turun, tapi lebih dulu dicegah oleh Teressa. "Gue enggak akan bilang ke nyokap lo apalagi Papa." Ucapan itu membuat Stevie mendongak. Matanya berkaca-kaca. "Kita cari solusinya sama-sama. Kalau lo mau, lo boleh tinggal sementara di tempat gue."

Kini Stevie menangis sesenggukkan. "Maaf, Kak."

Teressa menghela napas berat. "Makanya lo kasih tahu gue, siapa cowok yang melakukan ini ke elo?"

Stevie tak kunjung menjawab. Ketika pintu lift terbuka, sebuah panggilan masuk dari Juliette. Teressa buru-buru mengangkatnya.

"Hallo?"

"Ngapain lo ngasih gue tiket nonton piala dunia? Sejak kapan gue suka nonton bola?" sembur wanita itu di seberang.

Teressa memejamkan mata dan mendesah pelan atas kecerobohan asistennya. Dia menoleh agar memastikan tetap Stevie mengekornya menuju unit apartemen. Waktu berbalik lagi, pemandangan di depan matanya membuat dia kembali menghela napas.

Marda berdiri di depan pintu apartemen seraya memegang sebuah buket bunga ukuran besar. Semuanya bunga lili dan jumlahnya sebanyak usia Marda dan Juliette jika digabungkan.

"Kenapa lo ngirim bunga duka cita?" Raut Marda tampak tak bersahabat.

"I'm so fuckin' screwed," gumam Teressa lelah.

***

Nana, tiati besok dilahap sama Bu Bos yaaa :)


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top