BAB 24
"Lagi ngapain?" ulang Teressa.
Marda mengerjap. Ia meletakkan kembali kotak coklat tua ke dalam laci dan menutupnya dengan hati-hati. "Lihat-lihat aja." Lelaki itu menyandarkan punggungnya ke kursi, seolah hal yang baru dilihatnya sama sekali tak membuatnya terganggu.
Teressa mengangguk-angguk. "Keluar, gih!" usirnya. "Gue mau ganti baju."
"Gue kan suami lo."
"Ya, terus?"
"Ya, silakan kalau mau ganti baju. Gue tetep di sini."
"Mau nonton?"
Marda hanya tersenyum. Teressa memutar bola mata. Ia pergi ke closetnya untuk mengambil baju, lalu beralih ke kamar mandi. Tak lama terdengar dengung mesin pengering rambut. Marda mendesah pelan. Sulit sekali menaklukkan Teressa, pikirnya. Sewaktu wanita itu keluar dari kamar mandi, penampilannya sudah berubah. Rambutnya yang panjang terurai lembut di belakang punggung. Dia mengenakan celana pendek dan kaus longgar. Penampilannya nyaman dan kasual.
"Kalau gue pikir-pikir, kayaknya lebih enak di sini." Marda melihat sekeliling. "Ranjang lo luas. Bisa buat berdua."
"Kalau mau nginep, lo tidur di luar. Ranjang gue anti ditidurin orang lain. Kalau enggak mau tidur di sofa, lebih baik lo pulang."
Marda tertawa kecil karena omongan ketusnya. "Maksudnya, gue udah males gerak."
Teressa berdecak, melepas slipper, lalu naik ke ranjang. Perut kenyang, badan sudah bersih, tinggal tidur nyenyak saja. "Terserah lo mau ngapain di rumah gue, tapi jangan sekali-kali ganggu gue tidur. Gue ada meeting besok pagi." Dia berpesan sebelum memasang masker mata. "Ada selimut di lemari bawah. Lo bisa tidur di sofa."
"Gue dianggurin, nih?"
Teressa tak menjawab, sengaja menulikan telinga karena dia ingin memaksimalkan waktu istirahatnya. Marda menunggu sampai terdengar dengkuran halus dari Teressa sebelum ia membuka kembali laci untuk memperhatikan kotak coklat sekali lagi. Thorntons mengeluarkan varian kotak edisi terbatas saat itu sehingga Marda tak salah mengenalinya. Ia tersenyum sambil melihat ke arah Teressa yang sedang tidur, tak menyangka kalau wanita seketus dia rupanya tipikal orang yang sentimental karena menyimpan hal semacam ini hingga bertahun-tahun.
Tengah malam, Teressa terbangun. Marda tak ada di kamarnya. Dia hampir yakin kalau lelaki itu sudah pulang karena tak betah dilanda kebosanan. Nyatanya, lelaki itu tertidur di sofa ruang tamu. Jasnya diletakkan begitu saja di atas sandaran, sedangkan dia tidur meringkuk dengan menggunakan lengan cushion sebagai bantal. Teressa tak sampai hati melihatnya. Ia mengambil selimut dari kabinet untuk menutupi tubuh Marda.
Dalam tidur pun, raut Marda tampak lelah. Tangan Teressa bergerak begitu saja untuk mengusap kepala lelaki itu, mengakibatkan keningnya berkerut sedikit. Kelihatannya dia sedang mengalami mimpi buruk. Usapan di kepalanya tak berhenti. Sampai beberapa saat, kening Marda berangsur rileks lagi. Teressa meletakkan bantal cushion di bawah kepala Marda secara perlahan sebelum dia sendiri kembali ke kamar untuk lanjut beristirahat.
***
Harum aroma mirip butter membelai hidung Teressa. Dia segera terbangun dari mimpi yang tak lagi dia ingat sejak membuka mata. Sewaktu ia melepas masker mata, pintu kamarnya ternyata sudah dibuka lebar-lebar. Bagai terhipnotis, Teressa segera turun dari ranjang, memasang slipper, lalu keluar dari kamar menuju dapur, mengikuti bau harum yang membangunkannya tadi. Pemandangan ganjil Marda yang sedang membalik french toast di wajan membuatnya terpana. Lelaki itu tampak luwes menggunakan peralatan masaknya. Sewaktu Marda berbalik untuk meletakkan french toast ke atas piring, ia beradu pandang dengan Teressa.
"Morning!" sapa Marda. Pinggangnya dilapisi apron warna kuning yang Teressa tak ingat kalau dia memilikinya.
"Lo bisa masak?"
"Kamu."
"Apa?"
"Mulai sekarang kita perbaiki cara komunikasi kita. Udah enggak ada lagi elo-gue, tapi aku-kamu. Got it?" Marda mengangkat spatulanya.
"Kenapa?"
"Kita suami istri. Mana ada pasangan suami istri yang panggilannya kayak temen begitu?"
"Tapi gue enggak biasa manggil pake sebutan itu."
"Makanya dibiasain. Sekarang, ulangi pertanyaan yang tadi."
"Kamu... bisa masak?" Teressa merasakan bulu kuduknya berdiri semua. "Aneh banget."
Marda tersenyum puas. "Ini french toast. Sarapan. Katanya ada meeting pagi?"
"Belajar masak dari mana?"
"Biasa hidup sendiri di luar negeri. Mau enggak mau harus bisa masak biar hemat."
"Baunya harum." Teressa mendekat untuk memperhatikan baik-baik masakan olahan Marda. "Hasilnya bagus." Kepalanya meneleng ke kanan dan ke kiri untuk menilai tingkat kematangan toast. Saat ia mengambil garpu dan pisau untuk mencicipi, senyumnya mengembang. "Rasanya enak. You're good."
Marda menyeringai tipis.
"Lo enggak ada meeting?" Marda berdeham. Teressa mengerti kesalahannya dan buru-buru merevisi pertanyaan yang ia ajukan. "Sayangku, apa kamu enggak ada jadwal meeting pagi ini?"
"Sayangku?" Marda tersenyum cerah.
Teressa memutar bola mata. "Sarkas gue mendal banget ke elo," gerutunya. Ia sengaja memelankan suara agar Marda tidak mendengar kekesalannya.
"Enak juga didenger. Panggil begitu terus, ya?"
"Keep dreaming!" Teressa bersungut-sungut.
Marda menarik piring toast sebelum Teressa berhasil mengiris potongan ke dua. Wanita itu mengerang. "Masih mau lagi!"
"Kamu yang mulai."
"What exactly do you want?"
"Aku suka panggilan yang baru. Sayangku. Panggil begitu terus, ya?" ulang Marda.
"No!"
"Kuhitung satu sampai tiga."
"Satu, dua, tiga!" tantang Teressa kekanakkan. "Lo kira gue mau bersikap manis mentang-mentang kita udah menikah?"
Nah, mulai lagi, pikir Marda. "Why not? Kita sedang membangun bahtera rumah tangga, 'kan?"
Teressa menjentikkan jari di depan muka Marda. "Kalau lo mikir begitu, berarti lo udah enggak tertolong. Toast lo gosong, tuh!"
Marda mengumpat kecil. Ia buru-buru membalik rotinya yang sudah kehitaman separuh. Daripada melanjutkan toast yang sudah tak tertolong itu, dia mematikan kompor dan melepas apron sebelum berbalik untuk berhadapan dengan sang istri.
"It's not a game, Tessa." Lelaki itu menyangga dua tangannya di pinggiran countertop. "Aku mempertaruhkan banyak hal dalam pernikahan ini."
"Like what? Your freedom?" Ujung lidah Teressa serasa habis diciprati cuka saat menyebut kebebasan yang menjadi satu-satunya hal yang dipertaruhkan Marda. Sejak awal, pernikahan ini tidak memiliki pondasi yang kuat selain ambisi masing-masing untuk bebas dari pengaruh keluarga. Dia tidak mau jadi pihak yang terlena oleh judul pernikahan, padahal Marda hanya berniat main-main dengannya. Ha. Dia baru ingat mimpinya semalam. Marda menertawakannya di hari pemberkatan pernikahan mereka. Bukan hanya Marda, tapi seluruh tamu undangan. Hati Teressa remuk redam karena malu dan disepelekan. Dia hampir yakin kalau mimpinya mengandung sebuah peringatan. Ada sesuatu yang mengganjal di pernikahan ini. Teressa yakin hal mengganjal itu bukan dirinya.
Marda geleng-geleng kepala. Ekspresinya serius. "I don't know what happened to you this morning."
Teressa juga. Toast berbau harum buatan Marda mendadak tak menarik seleranya lagi.
"Gue hampir telat berangkat kerja." Teressa beranjak dari tempatnya untuk bersiap-siap ke kantor. "Kita bicarakan ini nanti."
"Kita belum selesai."
"Gue harus ke kantor, Da."
"Lo enggak boleh ke mana-mana sebelum kita selesai bicara." Sebelum Teressa membalas, Marda sudah lebih dulu menginterupsinya dan berhenti bersikap wajar dengan ber aku-kamu. "Gue punya hak karena gue suami lo."
Teressa mendengkus. "This is why I hate marriage. Orang baru di hidup gue merasa seolah-olah dia berhak atas gue hanya karena sumpah di atas kertas."
"Sumpah di depan Tuhan juga. Lo lupa?"
"Bukannya kita melakukan ini karena kesepakatan?"
"Kesepakatan yang lo tawarkan, yang bahkan gue enggak ingat isinya!"
"Biar gue ingetin. Gue mau menikahi lo karena status pernikahan membantu gue mendapatkan kembali hak gue sebagai pewaris apa pun yang ditinggalkan nyokap gue. Dan lo... lo bersedia menikahi gue karena... keluarga lo mau jaminan. Seperti halnya jaminan atas gedung-"
"Will you stop bringing it up?"
Teressa menggeleng. "Gue pendendam, Da."
"Gedung itu enggak ada hubungannya dengan pernikahan kita! Gue bahkan bisa kasih gedung itu ke elo kalau itu yang lo mau."
Wanita itu tersenyum sinis. "Mana mungkin lo mau lepasin gedung itu sebegitu mudahnya? Lo bilang itu satu-satunya warisan dari Oma."
"I will leave everything behind to prove myself to you."
"Membuktikan apa, Da?"
"Membuktikan kalau gue juga menginginkan pernikahan ini!" ujar Marda setengah menghardik. "Kapan sih lo bersedia membuka mata lo lebar-lebar?" tanyanya dengan raut terluka. "Kapan lo bisa menerima fakta kalau gue mau menikahi lo bukan hanya karena nama lo?" Marda tersenyum getir. "Status gue di mata lo enggak lebih dari seorang penipu. Iya, 'kan?"
Teressa bungkam. Dia tak tahu bagaimana dan mengapa pertengkaran ini terjadi atau cara meresponnya.
"Nilai gue enggak serendah itu, Tessa." Marda melempar apron sembarangan lalu bergegas pergi, meninggalkan Teressa yang mematung di tempat.
Beberapa menit selepas Marda pergi, Teressa masih berdiri di tempat yang sama, menggaruk pelipisnya. Dia mendesah pelan sambil mengusap wajahnya setengah frustasi. "Gue kenapa sih hari ini?"
Pertanyaan itu terjawab setelah ia mengecek kalender menstruasi dan memastikan sendiri di toilet.
"I'm so screwed," desahnya pelan.
***
Cewek klo udah mode singa, datang bulan yg disalahin. Padahal udah diumpanin french toast ala-ala abang marda.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top