BAB 23

Teressa memandangi piring yang berisi sepuluh tusuk sate serta potongan ketupat yang ada di tangannya. Makan malam macam apa ini?

Marda bilang dia hendak membawa istrinya untuk makan di tempat langganan yang Teresa tafsirkan sebagai restoran berbintang michelin dan dilayani oleh chefnya sendiri. Dia lupa kalau Marda punya obsesi untuk hidup sederhana. Suatu gaya hidup yang tidak berbanding lurus dengan nasib Marda sesungguhnya.

"Kenapa enggak dimakan?" Marda sudah selesai menghabiskan lima belas tusuk sate dan ketupat porsi dobel. Sedangkan Teressa belum menyentuh makanannya sama sekali. Marda mengernyit, setengah mengira kalau Teressa tidak tahu cara memakan sate. "Satu tusuk diambil, terus ditarik pake gigi."

Teressa menggeleng. "Yang gue lihat bukan makanan. Ini penuh zat karsinogen karena dibakar tepat di atas arang. Lo tahu enggak kalau karsinogen itu zat penyebab kanker?" Dia menyerahkan piringnya yang masih utuh kepada Marda.

"Lo kira yakitori enggak bisa bikin kanker?"

"Beda. Yakitori yang pernah gue makan biasanya enggak dibakar langsung di atas arang, dan lebih hygiene daripada makanan lo." Teressa mengerutkan hidungnya.

Marda menghela napas berat lalu turun dari mobil. Teressa mengira lelaki itu akan mengembalikan piring sate kepada penjualnya. Namun, dugaannya salah. Marda menghampiri pemulung yang sedang duduk-duduk beristirahat di trotoar, lalu memberikan sepiring sate dan ketupat pada pemulung itu. Setelah berbincang sebentar, Marda kembali ke kursi sebelah Teressa.

"Kenapa lo kasih ke dia?" tanya Teressa heran.

"Makanan yang lo anggap menjijikkan dianggap rezeki oleh orang lain."

Teressa memperhatikan pemulung yang sedang makan lahap. "Gue enggak jijik sama makanan itu."

"Lo bilang enggak hygiene. Apa bedanya?"

"Ah," sahut Teressa yang baru mengerti.

"Hidup itu kayak roda, Tessa. Mungkin saat ini posisi lo ada di atas, tapi ada saatnya ketika Tuhan mau, hidup lo mungkin bisa terjun bebas ke bawah. Yang sanggup lo lakuin hanya beradaptasi."

"Hidup gue enggak akan berada di bawah kalau gue berhati-hati." Tatapan Teressa tak lepas dari pemulung yang hampir menghabiskan sepiring sate yang tadi jadi miliknya.

"Yang mau gue bilang adalah... lo harus banyak bersyukur. Privilege yang lo punya sekarang enggak bisa lo miliki selamanya. Ada saatnya Tuhan mau ambil lagi kalau Tuhan merasa perlu mengetes elo."

Teressa menoleh. "Selain hidup susah, lo bercita-cita jadi pendeta, ya?"

Marda hanya bisa geleng-geleng kepala atas kekeras-kepalaan wanita di sampingnya. "Ngobrol sama lo susah bener nyambungnya."

"Gue paham maksud lo." Teressa menyandarkan kepalanya pada kursi sambil memejamkan mata. "Kita pulang ke mana?"

"Mau ke tempat gue? Lo belum pernah lihat, 'kan?"

"Mampir ke apartemen gue dulu buat ambil baju buat kerja besok."

Seiring waktu berlalu, marda tak juga menjalankan mobil. "Gue boleh nanya sesuatu?"

"Apa?" tanya Teressa tanpa membuka mata.

"Seandainya gue masih kerja jadi engineer pesawat, lo tetap mau nikahin gue?"

Teressa menghela napas berat. "Memangnya kenapa?"

"Lo beranggapan kalau gue punya obsesi buat hidup susah."

"Terus kenapa?"

"Gue kira lo takut hidup miskin bareng gue."

"First of all, being an engineer is not a poor choice. Lo mandiri, bisa menghidupi diri lo sendiri plus gue."

"Memangnya lo bisa beradaptasi?"

"Kalau enggak pun, gue masih bisa hidup sesuai standar gue dengan uang yang gue punya. Pernikahan ini enggak melulu tentang duit, you know. This is about freedom, which I didn't have before."

"Jadi, seandainya gue tetep milih karir yang gue mau, bukannya presiden direktur di perusahaan milik keluarga, lo masih mau bertahan di pernikahan ini?"

"Of course. Yang penting lo happy menjalani hal yang lo mau dan suka. Gue enggak ada hak buat larang meski gue istri lo. Ini soal pilihan hidup."

Marda mengulum senyum. "Lo tuh arogan, Tess. Tapi gue tetep suka."

Teressa membuka matanya untuk memandang Marda yang kini tak bisa menutupi senyumnya. "Don't smile at me."

"Masa orang enggak boleh senyum?"

Teressa geleng-geleng kepala sebelum kembali memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya. "Tolong bungkusin seporsi sate. Gue laper. Tapi enggak mau makan di sini. Piringnya enggak hygiene."

"Siap, Tuan Putri." Marda buru-buru melepas sabuk pengaman dan turun dari mobil.

Sesampainya di apartemen Teressa, mereka tak langsung berbenah. Marda duduk di meja makan, sambil memandangi Teressa yang lahap makan sate ayam. Bumbu kacangnya belepotan di wajah Teressa, dan itu mengundang senyum Marda. Dia heran karena akhir-akhir ini sering tersenyum sejak bertemu dengan wanita itu lagi setelah sekian lama. Apalagi status mereka sekarang sudah suami istri.

"Lo mau punya berapa anak dari gue?"

Teressa sontak tersedak. Tidak tampak membahayakan nyawa. Jadi, Marda hanya mengulurkan gelas berisi air putih agar bisa diminum Teressa yang berwajah kemerahan. Bukan karena malu, tentu saja.

"Salah satu tujuan pernikahan itu meneruskan keturunan. Kita sama-sama anak tunggal. Jadi, harus punya anak."

"Gue..." Teressa kelihatan sulit berkata-kata. Perpaduan antara wajah belepotan saus kacang dan ekspresi bingungnya sungguh menggemaskan. "Kita..." Lagi-lagi dia tidak meneruskan kalimatnya.

"Lo belum siap punya anak?"

Teressa menggeleng. "Gue sibuk. Setidaknya sampai tahun depan. Gue enggak bisa kalau harus sibuk kerja sambil mengandung. Salah satu harus diprioritaskan."

"Seandainya lo hamil, gimana?"

"Ya usahain lah biar gue enggak hamil!" sanggahnya.

"I tend to have sex with you whenever we can. Getting pregnant is the consequence. Pakai kondom pas lagi sama lo jelas enggak enak."

"Oh my God..." Teressa menenggelamkan wajahnya di atas meja. Pembicaraan yang vulgar ini menguras energinya. Di lain pihak, Marda justru tertawa. Teressa tak sanggup berkata-kata untuk membalasnya. "Gue kenyang." Ia bangkit dari meja lalu memasukkan piring dan sendok ke mesin dishwasher. Kemudian ia mencuci muka di sink sebelum menghilang untuk membereskan barang-barang yang perlu dibawa ke rumah baru.

"Mau dibantuin, enggak?" tanya Marda setengah berseru.

"Kalau tangan lo nganggur!" balas Teressa.

"Tessa?" panggil Marda saat dia merasa hampir tersesat di closet maha luas yang menyimpan baju, tas, sepatu, dan aksesoris mahal Teressa. Besarnya sudah mirip sebuah butik. Bisa dibilang, sebagian besar ruangan di unit ini dipakai untuk walk-in closet.

"In here!"

Pintu ganda di dekat lemari khusus mantel terbuka separuh. Teressa tampak kebingungan harus membawa yang mana saja agar bisa cukup dimasukkan ke dalam koper.

Marda bersiul. "Ini closet atau mall, sih?"

"Ini semua harta karun gue. Hasil yang gue beli dari kerja keras gue selama bertahun-tahun." Teressa menyeringai lebar seraya memasukkan beberapa potong baju ke dalam koper tanpa dilipat.

"Kayaknya kita perlu panggil moving service, deh," saran Marda.

"I thought so. Barang-barang ini enggak akan muat masuk ke koper. Besok gue hubungin asisten gue buat ngurus pindahan ini."

"Kalau elo pindah ke tempat gue, apartemen ini mau diapain?"

"Menurut lo enaknya gimana?" Teressa balik bertanya.

"Disewain lah! Biar duitnya muter buat maintenance sama utility."

Teressa mengangguk setuju. Baru satu koper terisi, dia sudah menyerah. "Ngapain juga kita repot-repot ke sini, ya? Biar diurus si Nana aja lah!" Dia melangkahi koper yang terbuka lebar, untuk pergi ke kamar mandi.

Selama Teressa membersihkan diri, Marda pergi melihat-lihat. Dia tidak tertarik pada barang-barang di dalam sini dan lebih memilih melihat-lihat di luar. Kamar seorang putri arogan, begitu yang Marda pikirkan saat memandang sekeliling. Tempat tidurnya berukuran besar. TV-nya hampir memenuhi dinding kamar. Meja kerjanya rapi. Jendela di samping tempat tidur menunjukkan pemandangan kota saat malam.

Selama ini Teressa hidup makmur, berbanding terbalik dengan dirinya yang harus menjual-jual aset karena keluarganya menentang pendidikan di Jerman.

Saat sedang duduk-duduk di meja kerja Teressa, sebuah laci yang setengah terbuka menarik perhatiannya. Sewaktu ia menarik laci itu, sekotak coklat membuatnya terheran-heran. Kotak coklat itu sudah kosong. Permukaannya juga sudah tua. Packagingnya mengingatkan Marda pada suatu waktu di masa lalu. Namun, ia tidak yakin sepenuhnya.

"Lagi ngapain?"

Entah mana yang membuat Marda menelan ludah. Antara kotak coklat Thorntons yang pernah diberikannya pada Teressa sewaktu dia kehilangan mamanya, atau pemandangan Teressa dalam balutan bath robe putih dan rambut tergerai basah.

***

.

.

.

Maklum gais, pengantin baru.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top