BAB 22
Aakon Gemilang, Tbk. merupakan perusahaan induk milik keluarga Tjokroadinoto yang memayungi belasan anak perusahaan lainnya. Saat ini Marda sedang dalam masa training untuk menggantikan ayahnya menjadi Presiden Direktur, hal yang sama sekali tidak dinikmati olehnya. Dia heran bagaimana nasib banyak perusahaan bergantung pada keputusannya sebagai pemimpin. Jika keputusannya benar, tidak ada pujian karena memang itulah tugasnya. Namun, jika keputusannya salah, semua telunjuk akan berlomba mengarah padanya.
Hal itu tak jarang membuat Marda frustasi sendiri. Dia sering pulang ke rumah dalam keadaan lelah atau bahkan tertidur di tengah forum rapat. Demi mengurangi beban pekerjaannya yang melebihi gunung, Marda merekrut tim khusus sebagai asistennya. Itu pun berkat saran dari Teressa.
"Lo cuma manusia biasa. Kesalahan enggak akan pernah luput dari keputusan yang lo buat. Tugas lo buat meminimalisir risiko dari kesalahan itu. Rekrut orang yang lo percaya supaya lo terbantu buat mengerjakan tugas kantor yang sebenarnya enggak perlu lo kerjain sendiri. Lo seorang pemimpin, bukan budak korporat lagi."
Bisa dibilang, dia berguru pada Teressa. Semua sarannya terbukti amat membantu.
Telepon yang berdering di meja kerja langsung diangkat oleh Marda karena dia tidak tahan pada suaranya.
"Ya?"
"Di bawah ada tamu yang datang untuk menemui Bapak. Belum bikin janji, tapi dia berpesan kalau Pak Marda akan menyesal kalau enggak mau menemui." Sekretarisnya berujar.
Awalnya Marda mengernyit bingung, tapi beberapa saat kemudian, dia sadar siapa yang datang.
"Suruh dia naik dan langsung masuk ruangan saya. Tolong sekalian kosongin sisa jadwal saya sore ini karena sebentar lagi saya mau pulang."
"Meeting nanti sore mau digeser besok?"
"Kamu atur aja."
"Baik, Pak."
Marda menunggu dengan gelisah. Setelah lima menit berlalu dari telepon sang sekretaris, pintu ruangannya akhirnya dibuka. Teressa masuk sendirian. Lengkap dengan langkahnya yang anggun dan tampak arogan.
Wanita itu melihat sekeliling dengan pandangan menilai setelah pintu di belakangnya ditutup oleh sekretaris Marda.
"Kok enggak ngabarin?" Marda menahan dirinya untuk tidak langsung menghambur memeluk wanita itu, meski dia tahu kalau Teressa istrinya. Dia tidak tahan memupuk rindu lebih lama. Namun, ada batas-batas yang belum didiskusikan bersama oleh mereka. Marda khawatir jika dia melewati batas itu, tubuhnya akan dibanting lagi.
"Surprise!" balas Teressa dengan ekspresi datar sambil membuka tangannya lebar-lebar. "Come here and hug your wife. Katanya kangen?"
Marda pasti gila kalau melewatkan kesempatan itu. Tanpa ba-bi-bu dia menghambur ke depan untuk memeluk Teressa erat-erat, menghirup aromanya dalam-dalam lewat lekukan leher wanita itu yang amat wangi. Marda mengernyit. Dia tidak ingat punya koleksi parfum yang ini.
"Lo pake parfum apa?" Suara Marda teredam di leher Teressa.
"Chanel."
"Gue kira lo suka produk lokal."
"Untuk parfum, enggak."
Marda mengerjap seraya melepas pelukan mereka. "Tapi, di wawancara lo bilang kalau lo cuma beli parfum lokal." Dan Marda membeli semua parfum yang disebut Teressa, mengoleksinya di lemari khusus.
Teressa memutar bola mata. "Gue bilang begitu buat mempromosikan produk mereka. Gue dibayar buat itu. Lo tahu endorse, 'kan?"
Marda menggeleng. Sialan, berarti selama ini dia mengoleksi parfum yang salah.
"Kapan kita serumah?" Dia beralih ke topik lain sebelum dia semakin kesal gara-gara salah mengoleksi parfum.
"Nah, gue juga mau bahas itu." Teressa menggeliat keluar dari pelukan Marda, tentu saja lelaki itu tidak serta merta merelakannya. "Lepas dulu, gue gerah."
"Ini AC sentral. Bentar lagi lo juga kedinginan."
Teressa berpikir sebentar. "Jadi, begini... gue nerima tawaran lo yang waktu itu."
"Tinggal di penthouse?"
Teressa mengangguk. "Akan terlihat aneh kalau kita enggak serumah padahal udah menikah. Kedekatan fisik ternyata esensial dalam pernikahan. Gue baru tahu."
"Lo enggak pernah pacaran sebelumnya?"
Kening Teressa berkerut. "Apa hubungannya pertanyaan lo sama penjelasan gue tadi?"
"Tentu ada." Marda membelai rahang Teressa, menyibak sedikit rambut yang menutupinya. "Orang pacaran aja susah nahan kangen, apalagi yang udah menikah kayak kita."
Marda mencuri beberapa kecupan dari bibir Teressa. Senang rasanya menyentuh wanita itu. Dia tidak bermimpi. Teressa justru makin menggeliat. Marda tak tahu alasannya sampai ia melihat pipi wanita itu yang bersemu habis-habisan.
"Kalau ada yang lihat gimana?" bisik Teressa tanpa berani mengangkat kepala.
"Siapa yang berani nyelonong masuk ke ruangan gue, sih?"
"Ya, kali. Cleaning service?"
Marda memutar bola mata. Dia melepaskan Teressa dengan amat terpaksa karena mengira wanita itu risi berdekatan dengannya. "Sorry, then. Couldn't help it."
"Forgiven." Teressa membalas tanpa memandangnya.
Marda mengulum senyum karena dia tahu kalau wanita itu sedang malu-malu kucing dengannya. Kearoganannya lenyap tak bersisa. Seketika mereka dikelilingi suasana canggung.
"How was your flight?"
"Just so-so."
"Enggak jetlag?"
Teressa menggeleng. Oke, ini bukan Teressa yang tadi datang dengan sikap jumawa. Kira-kira apa yang membuatnya secara tiba-tiba? Kecupan yang tadi? Pelukan?
"Gue dengar hal-hal lucu tentang lo selama gue nunggu di bawah. Mereka bilang lo masih lajang, dan tipe cewek lo yang rambutnya pendek sebahu."
Marda mengerjap. "Ha?"
"Selain itu, gue juga dengar kalau elo pernah main mata sama sekretaris lo sendiri."
"What?"
"Selain itu, gue juga dengar kalau elo pernah nidurin cewek di luar negeri sampai cewek itu hamil."
"Tessa, lo udah berapa lama nunggu gue di bawah?"
"About ten minutes."
"Dalam waktu sepuluh menit, lo dengar berapa jenis gosip?"
"Gosip?" Teressa pura-pura berpikir. "Twelve or more." Dia mengedikkan bahu.
"Lo yang paling tahu kalau itu semua enggak benar. Gue enggak lajang lagi. Gue suka cewek berambut panjang." Ia menyentuh rambut panjang Teressa yang terasa halus. "Gue enggak pernah ngehamilin cewek. Kalau pun pernah tidur sama mereka, gue pasti pake kondom-"
Belum selesai dia bicara, Teressa sudah menendang tulang keringnya. Lagi.
"You jerk! Berapa cewek yang lo tidurin sebelum gue?"
"Should I answer that?" Marda merintih kesakitan sambil memegangi kakinya. "Gue tinggal lama di luar negeri!"
"Terus itu bisa jadi alasan buat gue supaya memaklumi kebiasaan lo yang suka gonta-ganti cewek?!"
"Astaga, Tessa! Bukan sembarang cewek! Mantan-mantan gue!" Fuck. Dia salah bicara lagi. "Maksud gue-"
"Makanya lo santai bener malam itu ngajak gue tidur di hotel!"
"Seriously? Lo mau kita bahas itu lagi?"
Hidung Teressa kembang kempis. Mau bagaimana pun cara Marda menjelaskannya, akal Teressa tak akan mau memprosesnya. Dia sudah keburu emosi. Marda bingung apakah dia harus senang atau takut karena ternyata Teressa seorang pencemburu yang suka pakai kekerasan kalau sudah emosi.
"Jangan bicarakan masa lalu!" Marda menghela napas sambil menegakkan punggungnya. "Masa lalu gue buruk," lanjutnya. "Mengklarifikasinya cuma akan bikin lo tambah emosi. Jadi sebaiknya kita move on, okay?"
Ekspresi Teressa belum sepenuhnya melembut.
***
.
.
.
Teressa itu definisi cewek yg quick temper.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top