BAB 21

Tidak banyak hal terjadi selama beberapa minggu setelah pernikahan mereka.

Selain Teressa yang berhasil mengambil alih galeri, mengokohkan namanya di depan para pemegang saham, dan Herman Hagi yang mengatainya anak sial. Lupakan acara sangjit, apalagi resepsi pernikahan. Teressa dan Marda tidak mengikuti adat istiadat leluhur karena kini mereka sudah resmi menjadi suami istri tanpa itu semua. Marda yang mendaftarkan pernikahan mereka agar sah secara hukum. Konsekuensinya, dia disidang selama berjam-jam di depan keluarga besar karena mengira Teressa hamil duluan.

Yang dimaksud dengan tidak banyak hal terjadi ialah Teressa dan Marda yang masih belum serumah. Keduanya belum ada waktu untuk beradaptasi dengan pernikahan. Selesai pemberkatan di gereja, keduanya langsung kembali ke rutinitas masing-masing dan hanya bertukar satu ciuman canggung di depan altar pernikahan. Sejak itu Teressa pergi ke sana kemari untuk urusan pekerjaan, sedangkan Marda bekerja keras beradaptasi dengan pekerjaan barunya di perusahaan milik keluarga. Dengan kata lain, mereka menjalani long distance marriage tanpa malam pertama atau bulan madu.

"Do you think it's too revealing?" tanya Teressa ketika ia membelakangi kamera untuk mematut diri di depan cermin besar yang memantulkan penampilannya secara keseluruhan. Gaun merah yang ia kenakan cukup membuat Marda harus memperbesar gambar video agar bisa fokus menikmati pemandangan yang ditawarkan sang istri, bukannya bagan saham.

Marda bersiul penuh apresiasi. Gaun malam yang menonjolkan punggung terbuka Teressa, rambutnya yang disampirkan di satu bahu, serta potongan tinggi yang memamerkan kaki jenjangnya mengundang senyum di wajah Marda. Kantuknya hilang seketika. Pagi harinya terasa begitu penuh semangat setelah Teressa menghubunginya untuk minta pendapat. Jujur saja, dia belum tidur semalaman karena pekerjaan. Kini Teressa memberinya energi secara cuma-cuma.

"Red is brave," timpal Marda seraya menyandarkan punggungnya di kursi sambil melipat kedua tangan di depan dada, ingin menikmati pemandangan di layar dengan lebih leluasa.

"Untuk acara pembukaan pameran mode tahunan, apa menurut lo ini terlalu berlebihan?" Kening Teressa berkerut. Ia memutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan, merasa ragu dengan penampilannya sendiri.

"Gimana perasaan lo waktu ngelihat diri lo di depan cermin?" Marda justru balik bertanya.

"Spektakuler, sekaligus vulnerable. I have no idea."

"You look insanely hot." Marda memuji dengan sepenuh hati. Ingin rasanya ia berada di sana untuk menyentuh istrinya yang saat ini begitu cantik dalam balutan gaun panjang merah berkilau. "Yang bling-bling itu apa, sih?"

"Swarovski."

"Apaan?"

"Kristal."

"Oh, must be pricey dress."

Teressa menyeringai tipis. Ia memutar tubuh untuk mengambil telepon genggam dari atas meja yang ia sandarkan di sebelah vas bunga. "So, how are you, Husband?" Wajah Teressa dengan riasan membuat Marda tertegun sesaat.

"Kangen istri." Suaranya hampir lirih.

Teressa mengulum senyum. Terdengar suara pintu ditutup dari ruangan Teressa. Nana datang bersama buket bunga yang amat besar. "Dari suami Bu Tessa." Nana berujar seraya menyerahkan bunga itu untuk dipeluk Teressa.

"Thank you, really. Gue enggak nyangka kalau lo romantis begini." Teressa menghirup aroma bunga dalam pelukannya. Nana sudah menghilang dari layar. Sepertinya dia tahu diri untuk membiarkan pasangan pengantin baru untuk bertukar kerinduan.

Marda mengedikkan bahu sambil tersenyum. "Gue enggak pernah dikasih kesempatan, sih. Lo suka kejutannya?"

Teressa mengangguk. "I love it. Baunya harum banget." Dia tersenyum lebar selagi mencari-cari tempat untuk menyimpan bunganya. "Ini harus disimpan di dalam vas berisi air."

"Biar apa?"

"Biar tetep seger lah!"

"Gue kira biar lo inget gue terus." Marda terkekeh. "Kapan lo balik dari US?"

"Minggu depan. Masih banyak kerjaan di sini."

"Gue kangen." Lagi-lagi Marda mengatakannya. "Gue susul, boleh?"

"Kerjaan lo gimana?"

"Minta cuti lah."

"Baru juga dapet berapa hari, udah minta cuti. Enggak bakat lo jadi presdir."

"Keahlian gue jadi engineer, bukan yang kantoran begini." Marda menguap lebar.

"Lo belum tidur atau baru bangun tidur?"

"Yang pertama." Marda nyengir.

Teressa berdecak. "Tidur, gih! Kesehatan dijaga."

"Enggak ada yang peluk."

Lagi-lagi wanita itu berdecak. Seharusnya kalimat itu membuatnya bersemu bukannya ngomel. "Sebelum kawin juga lo biasa tidur sendiri. Dih, merinding banget kalau elo genit!" Ia menunjukkan gestur bergidik yang langsung membuat tawa Marda pecah.

"Bulan madu kita di Indonesia aja, ya?" Pertanyaan Teressa yang serius menghentikan tawa Marda seketika. "Gue udah minta tolong Aunty Ira buat atur cuti lo sama reservasi tempat bulan madu. Kita tinggal terima beres."

"Ternyata diem-diem lo berharap kita dapet bulan madu juga, ya?"

Teressa memutar bola mata.

"Kalau dipikir-pikir, selama ini kayaknya elo terus yang atur segalanya buat kita. Gue kebagian enaknya doang."

"Lo lamban, sih."

"Jalan lo yang kecepetan. But, it's okay. I'm enjoying it." Keduanya sama-sama tersenyum.

"Thank you for having me as your wife."

"It would be my forever gratitude." Marda membalas. "Bokap lo gimana?"

Teressa mendesah panjang. "Setelah gue bubarin proyeknya, Papa ngancem buat ngehapus nama gue dari daftar pewaris. Gue sih enggak pernah keberatan."

"Warisan mulu yang diurusin."

"Gue yakin Linda girang banget pas tahu kabar itu. Jangan-jangan justru dia yang bikin skenario begini biar Papa benci sama gue."

Marda tertawa kecil. "Jadi, gimana rasanya udah bikin keributan?"

Teressa menahan seringaiannya dengan menggigit bibir bawahnya yang dipulas lipstick merah. "It was fun."

Marda menelan ludah. Dia mulai berpikir pernah menyelamatkan suatu negara dari krisis pangan pada kehidupan sebelumnya sehingga ia dapat istri secantik ini.

"Sekali lagi, makasih udah bantu gue. Tanpa lo, rencana gila gue enggak akan sukses."

"Gue enggak melakukan apa-apa selain menyetujui pernikahan yang gue inginkan. Tanpa perjanjian pra-nikah pun, gue bersedia." Marda berkata santai. "Jadi gue menikahi lo bukan karena nekat atau semacamnya."

"Aneh enggak sih kalau tiba-tiba gue kangen sama lo?"

"Same thing here, Babe."

"Jadi itu sekarang panggilan gue?" Teressa terkekeh.

"Lo lebih suka yang mana? Sayang? Baby? Darling? Honey? Cinta?" Pertanyaannya membuat sang istri terpingkal.

***

Jadi begini rasanya kemenangan.

Teressa menghirup dalam-dalam udara di dalam galeri yang syarat akan kenangannya bersama mendiang mama. Baunya masih tidak berubah. Campuran antara pewangi ruangan, samar-samar bau cat, serta pernis baru. Lukisan yang dipajang di depannya ini adalah karya salah satu sahabat karib mama yang telah tiada karena penyakit yang sama. Mama paling menyukai lukisan itu di antara banyaknya lukisan serta pahatan para seniman di galeri ini.

"Bu Tessa," panggil Nana.

Teressa menoleh. Asistennya itu membawakan tumbler berisi kopi yang lagi-lagi tertinggal di mobil. "Makasih, Na."

Nana hanya mengangguk. Ia ikut memandangi lukisan besar yang sejak tadi menarik perhatian bosnya. "Enggak biasanya Ibu langsung ke galeri sepulang kita dari bandara."

"Saya baru memenangkan galeri ini setelah membuat ribut dua keluarga besar, Na. Saya berhak menikmatinya sekarang." Teressa menjawab seraya menyesap kopi dari tumblernya. Kopi buatan coffee house yang mereka hampiri sebelum tiba di sini tidak seenak kopi Nana yang biasanya. Namun, Teressa tak mengeluh.

"Tessa?"

Panggilan dari Tante Lana membuat Teressa menoleh dan melepas kacamatanya. "Hai, Tan."

"Tumben sekali kamu datang." Mereka berpelukan singkat. "Setelah bikin para shareholders kebingungan karena ulahmu, kamu menghilang ke luar negeri."

"Tessa kerja, Tan. Bukan kabur."

"You've done good. Papamu itu harus diberi pelajaran sekali-sekali. Enak saja mau main jual galeri ini. Kalau bukan karena kerjasama kamu dengan keluarga Tjokroadinoto, mungkin kita kehilangan satu-satunya kenangan milik mamamu."

Teressa mengangguk. "Tessa berutang budi sama Marda yang mencari tahu tentang pelelangan koleksi."

"Tante akui sempat kecolongan waktu itu."

"Sudah berlalu, Tante."

"Jadi, kamu berniat mengambil alih galeri ini?"

Lagi-lagi keponakannya mengangguk. "Perusahaan Tessa yang akan membiayai seluruh kegiatan dan operasional galeri. Tessa juga udah ngerekrut kurator dari luar negeri buat ngurus galeri ini."

"Akan kamu komersilkan?"

"Tessa berniat buat jadiin galeri ini sebagai tempat buat Met Gala ala Indonesia." Teressa tersenyum karena idenya. "Desainer-desainer lokal banyak yang ngasih feedback dan persetujuan buat ikut acara ini. Pasti sukses."

Tante Lana geleng-geleng kepala. "Kamu dan otak bisnismu."

"Dengan berkompetisi di negeri sendiri, Tessa yakin media mancanegara akan menyoroti. Enggak ada salahnya mencoba karena menurut tim Tessa, acara ini akan lebih banyak untung daripada risikonya."

"Seperti apa skemanya?"

"Desainer-desainer yang diundang akan menyumbang karya untuk dipamerkan ke galeri setelah sebelumnya menggunakan para pesohor tanah air untuk mengenakan karya-karya itu. Tim Tessa yang akan menentukan temanya setiap tahun."

"Bagaimana dengan koleksi mamamu?"

"Sebagian akan Tessa simpan di rumah."

Tante Lana mengangguk mengerti. "Ngomong-ngomong, sekarang kamu tinggal di mana?"

"Masih di apartemen lama. Marda minta Tessa buat mempertimbangkan untuk tinggal di salah satu penthouse milik dia."

"Ha." Tante Lana menaikkan sebelah alis. "Dia masih punya aset yang belum dijual?"

Teressa tertawa untuk menutupi rasa malunya atas kebiasaan Marda yang menjual-jual aset untuk biaya hidup di Jerman. Sepertinya kebiasaan buruknya ini sudah menyebar ke mana-mana. Bikin malu saja.

"Tante juga sudah dengar tentang Adinata Tower. Sejak dia pulang, kalangan Tante kayak enggak pernah kehabisan bahan pembicaraan." Maksudnya, kelompok sosialita yang sering kumpul arisan permata berharga yang harganya bisa sampai miliaran rupiah.

Teressa melihat jam tangannya. Ada tempat yang harus ditujunya hari ini sebelum pulang ke rumah untuk beristirahat.

"Gotta go, Tan." Ia memeluk singkat Tante Lana sekaligus berpamitan.

"Nice to see you here, Tessa. Dan, selamat atas pernikahanmu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top