BAB 20
Ini pertama kalinya bagi Teressa untuk menghadapi ibu tirinya secara langsung sejak hari pernikahan papanya. Linda dan Herman sudah memiliki Stevie saat keduanya melangsungkan pernikahan. Teressa tak pernah mengakui remaja itu sebagai adiknya. Atau Linda sebagai ibunya. Selain karena usia mereka yang hanya berjarak tiga tahun, tindakan menjijikkan Linda sebagai wanita simpanan sang papa sejak mendiang mama sedang sekarat di rumah sakit tak pernah bisa ia maafkan sepenuhnya.
Setelah pengumuman perjodohan di acara ulang tahun pernikahan pasangan itu, Linda merasa berkewajiban untuk berpartisipasi mengatur acara sangjit sampai pernikahan Teressa. Kalau bukan demi membuat Teressa kesal setengah mati, entah apalagi tujuannya.
"What do you want?" Di tengah kesibukannya hari itu, Teressa memutuskan untuk menerima undangan makan siang dari Linda di sebuah restoran hotel bintang lima tempat dia biasa menjadi tamu VIP di sana.
Linda memotong daging tenderloin medium rare di piringnya dengan anggun. Teressa jadi bertanya-tanya berapa jumlah uang yang digelontorkan Herman Hagi untuk mengirim Lina ke sekolah kepribadian.
"Rilekslah sedikit. Orang-orang memperhatikan sikapmu yang judes pada saya." Linda menyahut sebelum memasukkan potongan daging ke dalam mulut.
Teressa melipat kedua tangannya di depan dada. "Kalau elo ngincar warisan papa gue, berarti lo salah sasaran dengan menjadikan gue musuh lo, Lin. Gue enggak pernah berminat jadi pewarisnya."
"Saya enggak pernah menganggap kamu sebagai musuh. Lagipula, kamu terdengar sangat vulgar karena membahas warisan suami saya padahal dia masih sehat dan bugar."
Teressa mendengkus sinis.
Linda terkekeh kecil seraya membersihkan ujung mulutnya dengan serbet. Lagi-lagi dengan sikap yang kelewat anggun. "Belakangan ini suami saya sering mengeluh sakit kepala." Ia mendongak untuk menatap Teressa. "Karena putri tertuanya banyak bertingkah sejak ditinggal mati oleh ibunya."
Rahang Teressa mengeras.
"Kamu angkuh, Teressa. Berpikir kalau selama ini kamu mandiri. Tidak membutuhkan pertolongan siapa-siapa seolah kamu hanya perlu berterima kasih pada dirimu sendiri karena telah membangun bisnis kecil yang mungkin tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan suami saya untuk menyekolahkanmu ke universitas mahal."
"Kayaknya lo lupa kalau sebelum jadi suami lo, Herman Hagi sudah jadi papa gue."
Lina tidak mengindahkannya. "Kamu pikir siapa yang meyakinkan investor-investormu untuk menanam modal pada bisnismu?"
Teressa menatapnya tanpa berkedip. Dalam hati, ia menantang Linda untuk mengucapkannya keras-keras.
"Semuanya karena suami saya," lanjut Linda.
"Jadi, dia meyakinkan para investor gue secara diam-diam untuk berinvestasi ke bisnis 'murahan' gue?" Teressa menahan senyumnya. "Gue berterima kasih kalau memang benar itu yang terjadi."
"Bagaimana jika itu benar?" tantang Linda. "Bagaimana jika para investormu sebenarnya percaya sama kamu karena kamu putrinya Herman Hagi?"
"Terus kenapa?" Teressa menantang balik. "Mereka sudah memetik hasilnya secara konstan sejak perusahaan gue menghasilkan profit di atas ekspektasi mereka. Mau gue pake nama Hagi, kek, enggak, kek, perek kayak elo enggak berhak menghakimi gue karena gue bekerja keras untuk itu semua."
"Jaga bicaramu!" tegur Linda dengan wajah berkerut.
"Baju mahal, perhiasan mewah, dan tas limited edition yang elo pakai enggak bisa menutupi jati diri lo sesungguhnya, Linda. Lo cuma pelacur di mata gue. Sejak dulu sampai sekarang, belum berubah."
"Saya bilang, jaga bicaramu!"
"Sori kalau gue muntahin brutal truth ke muka lo secara langsung. Karena memang itulah kenyataannya." Teressa tersenyum sinis. "Jangan harap lo bisa bikin gue tunduk ke Herman Hagi apalagi elo, dengan cara-cara murahan seperti yang lo lakukan barusan. Mau mengintimidasi gue? Enggak akan bisa."
"Saya bisa bikin bisnis kamu hancur-"
"Hancurin aja kalau berani." Teressa menggenggam tangkai gelas berisi air putih di tangannya, seolah bersiap untuk menumpahkannya ke wajah Linda. "Gue bisa bikin elo menyesal sepanjang hidup."
Linda memandang gelas di tangan Teressa.
"Jangan ikut campur masalah galeri karena itu urusan keluarga gue. Elo cuma orang luar yang dimanfaatin papa gue buat menghasilkan uang dari lelang," lanjut Teressa. Teressa berubah pikiran. Dia tak jadi menyiram wajah Linda dengan air, dan malah bangkit berdiri. "Oh, iya. Jangan juga lo campuri urusan pernikahan gue. Gue enggak butuh bantuan lo. Bilang ke papa gue kalau gue tetap akan menikahi Marda, tapi dengan cara gue sendiri."
Kemudian dia bergegas pergi, meninggalkan Linda yang menggertakkan gigi di balik pulasan lipstick mahal yang ia baru dibelinya di luar negeri.
Sebelum keluar dari lobi menuju area parkir, Teressa menghubungi Marda. Teleponnya diangkat setelah dering pertama.
"Lo di mana?"
"Adinata Tower. Kenapa?"
"Sejam lagi gue jemput. Kita nikah hari ini juga."
Sebelum Marda sempat menyahut, Teressa memutus panggilan dan berlari menuju di mana mobilnya diparkir.
***
"What is this about?" Marda menuntut jawaban sebelum ia bersedia masuk ke mobil Teressa. Wanita itu turun dan berjalan memutar agar bisa berhadapan langsung dengannya di depan gedung Adinata Tower.
"You said you can love me. Is that true?" Teressa balik bertanya. Nadanya sedikit mendesak.
"Yes."
"You said you would be my number one supporter. Is that true?"
"Yes." Marda tetap menjawab meski dirinya bingung.
"No matter what happens?"
"No matter what happens."
"Marry me, then. Today."
"I can't!"
"Why not?"
"Ada adat istiadat yang harus dihormati dan diikuti."
"You can't love me then."
Sebelum Teressa sempat berbalik, Marda mencekal lengannya. "Ada apa ini sebenarnya? Kenapa tiba-tiba ingin menikah hari ini?"
"Gue cuma minta satu hal dari lo dan gagal lo turutin."
Rahang Marda mengeras. "Gue nanya, ada apa ini sebenarnya, bukan berarti gue batal menikahi lo, Tessa!"
"Gue udah bicara dengan Tante Lana. Dia bilang, gue baru bisa mewarisi galeri itu kalau gue sudah menikah. Ada pasal yang menyebutkan itu di surat wasiat Mama. Papa gue berencana untuk membeli lahannya sebelum kita menikah. Makanya dia menyuruh Linda buat segera melelang koleksi di sana tanpa sepengetahuan gue."
"Bukannya lo udah jadi pewaris sah?"
Teressa menggeleng. "Untuk masalah galeri, mama gue menulis pasal khusus. Gue belum tahu alasannya."
"Tapi, tetap aja... bukan gini caranya. Gue mau kita menikah secara resmi di mata hukum dan agama."
"Kita cuma perlu melakukan pemberkatan di gereja. Selama perjalanan ke sini, asisten gue udah ngatur semuanya. Aunty Ira bersedia jadi saksi kita berdua. Just say yes, I'll do the rest." Ada keputus-asaan yang terpancar dari mata Teressa. Marda dapat melihatnya.
"Lo yakin?"
Teressa mengangguk tanpa ragu. "Gue butuh elo, Da."
"Bagaimana dengan perjanjian pra-nikah?"
"Notaris juga udah gue undang sebagai saksi. Dia bisa mengesahkan perjanjian yang sewaktu-waktu bisa kita tambahkan."
Marda geleng-geleng kepala. "You are the craziest person I've ever met in my life."
"Do you want to spend the rest of your life with this crazy person?"
Lelaki itu mendesah panjang sebelum menyahut, "Fine."
***
Gegara masalah warisan, genrenya berubah jadi drama anjrot. Komedia romantisnya nyicil. Salahku sendiri karena nyiptain karakter Linda Priscilla ke cerita yang harusnya romcom.
Ga usah kondangan, gais. Pengantinnya aja kawin pake baju kerja. Akibat quick tempernya Tessa + ngalahnya Marda. Moga samawa dah. Happy wedding.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top