BAB 18
"Gue merasa perlu menjelaskan beberapa hal," ujar Marda ketika keduanya sudah masuk ke apartemen Teressa yang minimalis. Karena tinggal sendirian, dia memilih unit yang tidak terlalu luas supaya mudah dibersihkan. Semua ruangannya tak bersekat kecuali toilet, kamar mandi, dan sebuah walk in closet tempat dia menyimpan baju, perhiasan, sepatu, dan aksesoris lainnya.
Marda dapat melihat pemandangan kota dari balik tirai putih tipis yang menutupi dinding kaca besar di seberang ruangan. Tanpa lampu pun, apartemen ini tetap mendapat cahaya dari luar. Dan matahari tidak langsung menghadap ke arah sini, sehingga penghuninya tidak akan merasa kepanasan pada siang hari.
Teressa berjalan lurus menuju dapur untuk mengambil minuman dari lemari pendingin. Wajah datarnya membuat kepala Marda bekerja ekstra keras untuk memilih kata dengan hati-hati agar tidak memicu pertengkaran yang lain.
"Tentang apa?" tanya Teressa. "Tentang lo yang ninggalin gue tanpa kabar selama dua minggu setelah lo nidurin gue?"
Here we go. Marda mengembuskan napas berat lewat mulut, lalu berkata, "Lo mabuk."
"Justru karena gue mabuk, bisa-bisanya lo begitu!" Teressa menggebrak meja makan. Sekilas, raut Marda tampak terluka. Dia hampir kesulitan berkata-kata.
"Lo berpikir kalau itu kesalahan?" tanyanya.
Teressa membalikkan punggung.
"Tessa, jawab gue. Waktu itu lo mabuk, dan gue enggak maksa lo. Gue berani sumpah. Gue cuma pengen tahu, apa menurut lo itu kesalahan? Karena buat gue, itu salah satu malam terbaik yang pernah gue alami."
"You left, Marda!" seru Teressa seraya membalikkan tubuhnya ke arah Marda. "You left me there alone like I was a slut!"
"Nyokap gue jatuh sakit, Tessa!"
Raut Teressa berubah. "Apa?"
"Tentu lo enggak tahu karena lo enggak pernah mau tahu urusan gue. Gue keluar dari hotel jam setengah enam pagi karena dapat telepon dari Papa. Mama gue jatuh pingsan di kamar mandi, dan harus dibawa ke rumah sakit untuk operasi pengangkatan tumor otak. Karena itu gue enggak ngehubungin lo. Gue enggak sempat. Bukan berarti gue enggak peduli sama lo apalagi nganggap lo kayak yang lo bilang!"
"Setidaknya lo kasih tahu gue." Nada Teressa melembut. Ia berjalan menghampiri Marda. "Gue kenal nyokap lo. Gue bukan orang lain. Kenapa hal yang kayak begini harus gue minta dulu dari lo?" Teressa mendesah pelan. "Gimana keadaan nyokap lo?"
"Membaik. Masih di Singapur ditemenin keluarga."
"Syukurlah."
"Gue resign dari kerjaan gue."
Keheningan melingkupi mereka selama beberapa waktu. Teressa mengamati ekspresi Marda yang cukup serius. Dia belum percaya Marda sepenuhnya, tapi tidak menyangkal kalau dia sudah membuka hatinya.
"Sudah waktunya gue ngambil alih perusahaan." Marda tersenyum miris. "Gue enggak bisa hidup kayak yang gue mau. Baru sekarang gue sadar kalau keinginan gue begitu... egois." Dia mengangkat kepala. "Maaf gue enggak berhenti, padahal tahu kalau lo lagi mabuk dan mungkin akan melupakannya. I should have known better, but I don't regret that it happened."
"I enjoyed it too." Teressa menundukkan kepalanya. Wajahnya seketika memanas ketika mengakui itu.
"Glad to know." Marda tersenyum simpul.
"It was my first time." Bukan waktu yang tepat untuk membahas malam itu setelah mendengar kabar buruk tentang mama Marda, tapi entah mengapa Teressa merasa perlu mengatakannya.
"I know." Marda merogoh kantong jaketnya dan meletakkan sesuatu di atas meja makan. Sebuah kotak kecil yang Teressa kenali sebagai wadah cincin. "Gue bukan laki-laki berengsek seperti yang elo bayangkan. Sebelum gue memulai, gue udah bertekad untuk menjadikan lo istri gue. So, Tessa... let me be your first and last." Ia membuka kotak itu untuk menunjukkan cincin bertakhtakan berlian pear shaped yang didesain oleh perancang Cartier. Ia menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "will you marry me?"
Teressa menatap cincin itu tanpa berkedip selagi otaknya berputar ke sana-kemari.
"Lo bilang malam itu adalah salah satu malam terbaik yang pernah lo alami. Ada apa di malam-malam lainnya? Gue bukan yang pertama?"
"Does it matter?"
"Bagi gue, tentu penting. Siapa yang jamin saat lo sama gue, lo enggak mikirin cewek lain?"
"Ternyata lo tipe pencemburu, ya?"
Teressa mendekat selangkah. Ia menyunggingkan senyum kecil misterius. "Banyak yang bilang kalau gue bossy, angkuh, dan ambisius. When it comes to love, I'm that possesive type."
"Not surprising. It suits you best."
"Lo enggak merasa terintimidasi?"
Marda ikut maju selangkah hingga keduanya hanya berjarak sejengkal dari satu sama lain. "Kita tumbuh bersama sejak kecil. Dulu lo memang mengintimidasi meski usia lo di bawah gue. Tapi, sekarang... no more. You're just... that woman I want to marry so bad."
Teressa tersenyum. "Well, mau bagaimana lagi? Segitu pengennya lo nikah sama gue."
"Bagaimana dengan bokap lo?"
"I don't care. Dengan lo menikahi gue, berarti lo akan menjadi supporter gue nomor satu. Lo ngejanjiin itu kemarin."
"We get married, then?"
"Alright."
"Should we seal it with a kiss?" Entah sejak kapan jarak sejengkal tadi sudah terkikis. Marda menundukkan kepalanya hingga bibir mereka hampir bersentuhan. Tiba-tiba Teressa menarik kepalanya menjauh.
"Yang betul pakein dulu cincinnya. Nyosor aja yang diduluin!"
Marda tertawa. Ia meraih kotak cincin, mengeluarkan isinya, lalu mengulurkan tangan ke depan agar Teressa memberikan tangannya untuk dipakaikan cincin. Cincin berkilau itu tampak pas di jari manisnya.
"Dari mana lo tahu ukuran jari gue?"
"I asked your stepmother," jawab Marda sambil menahan tawa.
Teressa tahu Marda hanya membual. Dia hampir memukul Marda ketika lelaki itu justru meringis kecil saat hendak menghindar. "Kenapa?"
"Masih sakit abis lo banting. Lo belajar bela diri?"
Teressa mengangguk. "Kebetulan tadi baru pulang waktu kita ketemu di lobi."
"I don't think you will ever need my suppport. You can handle everything on your own." Marda mendengkus saat merasakan pinggangnya lebih nyeri daripada tadi.
"Biar gue kompresin. Atau perlu ke dokter?"
Marda langsung menolak. "Kalau dokter nanya, gue jawab apa? Abis dibanting tunangan sendiri? Mau ditaruh mana muka gue sebagai laki-laki, Tess?"
Benar saja, dari bagian pinggang sampai pinggung atas sebelah kiri Marda langsung memar akibat bantingan tadi. Teressa merasa amat bersalah. Akhirnya ia memaksa Marda untuk tinggal agar dia bisa mengompresnya dengan air es. Teressa juga memberikan sebutir ibuprofen supaya Marda tidak terlalu kesakitan.
"Gue juga pernah memar begini waktu awal-awal latihan di dojo," ujar Teressa sambil memberengut karena Marda tidak berhenti ngomel sejak tadi. Lelaki itu duduk memunggunginya selagi Teressa menjalankan tugas untuk mengompres.
"Lo jatuh di matras, Tess. Gue di lantai marmer."
"Kan gue udah minta maaf."
"Udah gue maafin. Masa gue enggak boleh ngeluh, sih? Namanya orang sakit."
"Ya, udah. Makanya kita ke rumah sakit."
"Enggak usah."
"Malu?"
"Udah tahu, masih nanya."
"Kalau ada yang retak gimana?"
Mara meraba permukaan kulitnya yang memar. "Cuma nyeri, kok. Kayaknya enggak ada retak atau patah." Dia berbalik tiba-tiba. "Ada yang lupa gue tanya ke elo."
Teressa yang dapat melihat dengan jelas bagian dada dan perut lelaki itu langsung tersipu. Alhasil, dia harus menundukkan kepala sambil berpura-pura memeras kain untuk kompres. "Apa?"
"Gallery mendiang nyokap lo yang ada di Bali, sekarang dimanage sama siapa?"
"Gallery?" Teressa coba mengingat-ingat. "Kayaknya masih di bawah Hanggalini Group. Kenapa?"
"Aneh. Kemarin temen gue yang di Singapore bilang, kalau gallery itu lagi dilelang."
"Yang dilelang apanya?"
"Semuanya. Koleksi, gedung, lahan. Koleksinya doang nembus 500 miliar. Lo enggak tahu?"
Darah Teressa serasa ditarik dari kepalanya. "Gue enggak tahu." Tangannya segera meraih ponsel dari atas meja. Apa yang diucapkan Marda nyata terbukti. Ketika Teressa memeriksa laman tentang gallery yang dimaksud, terdapat artikel yang memberitakan kalau lahan bangunan tersebut sedang dalam tahap sengketa dan diambil alih oleh Hagi Group. Nama Linda Priscilla dicantumkan sebagai penanggungjawab sementara.
Wajah Teressa yang tadinya pucat pasi, kini menjadi merah karena amarah.
"Berani-beraninya pelacur itu menjual kenangan Mama!" Rahang Teressa mengeras.
Sebelum Teressa dapat menghubungi papanya, tangan Marda mencegah. Ia mengambil alih ponsel itu dari tangan Teressa. "Sebelum lo mengonfrontasi mereka, sebaiknya lo tanya dulu ke pihak yang seharusnya bertanggungjawab."
"Tapi-"
"Terkadang apa yang disampaikan di berita enggak sesuai sama realita. Enggak mungkin gallery itu berganti kepemilikan tanpa setahu pewarisnya yang enggak lain adalah elo. Pasti ada sesuatu."
"Gue cemas kalau gallery itu cuma jadi tempat pencucian uang bisnis Papa nantinya."
Marda mengernyit.
"Ini bukan yang pertama kali," lanjut Teressa menjelaskan.
***
.
.
.
.
Udah berapa kali Marda bikin kalian berprasangka jelek? XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top