BAB 17
Berita baiknya, Teressa tidak terpapar virus HPV atau Human Papiloma Virus atau virus yang menyebabkan kutil kelamin dan kanker serviks, yang biasanya ditularkan melalui aktivitas seksual. Dia juga tidak mengalami ISK atau Infeksi Saluran Kemih, gonore, sifilis, dan lainnya. Itu melegakan. Benar-benar melegakan.
Berita buruknya, himen atau selaput dara Teressa tidak utuh lagi -Teressa rutin memeriksakan kesehatan seksualnya meski dia belum pernah berhubungan intim demi ketenangan batinnya sendiri. Artinya, malam itu memang terjadi persenggamaan seperti yang Teressa bayangkan selama dua minggu terakhir ini.
Fuck. Fuck. Fuck. Teressa akhirnya mengumpat puas-puas dalam kepalanya.
"Sampai saat ini belum ada indikator tampilan himen yang terbukti secara ilmiah bisa mengonfirmasi terjadinya penetrasi. Tapi, karena anda mengalami sedikit pendarahan ringan waktu itu, maka besar kemungkinan kalau penetrasi memang terjadi." Dokternya menjelaskan. "Anda benar-benar tidak ingat apa-apa?"
"Sejujurnya, saya hanya ingat samar-samar. Tapi karena wine, saya cemas ingatan saya itu bercampur dengan halusinasi."
"Anda sering mengalami halusinasi sebelumnya?"
Teressa menggeleng. Hanya perasaan saja. Seperti halnya dia merasa perlu berkonsultasi dengan ginekolog untuk meminta antibiotik, siapa tahu Marda punya penyakit kelamin. Semacam ketakutan dengan dasar yang kuat, mengingat Marda pernah ketahuan sok playboy mengajak seorang pramugari sarapan di bandara.
"Anda yakin kalau saat itu anda tidak sedang dipaksa?"
Teressa mengangguk yakin. "Dia melakukannya atas persetujuan saya. Saya hanya tidak ingat sampai di mana kami... melakukannya. Lalu ada ketakutan karena saya tidak ingat kami menggunakan pengaman atau tidak."
Dokter itu mengangguk. "Lain kali lebih hati-hati, ya. Saya senang anda sangat aware dengan kesehatan seksual. Kalau begitu, antibiotik tidak diperlukan saat ini karena anda tidak mengalami keluhan apa-apa. Semua hasil labnya negatif. Dan anda juga tidak hamil." Dokter itu tersenyum.
Teressa lega karena kesehatannya baik. Tinggal hatinya yang kacau karena Marda tidak menghubunginya sama sekali sejak Teressa dibangunkan oleh room service hotel yang menyiapkan bak mandi air hangat serta sarapan yang layak hari itu. Sedangkan Marda absen dari hotel sejak ia bangun. Teressa ditinggal sendirian tanpa pesan, telepon, atau pertemuan mendadak yang biasanya terjadi saat dia sendiri tidak menginginkannya.
Siang itu dia kembali ke kantor dengan perasaan kacau. Suasana hatinya yang berantakan dapat dirasakan pula oleh Juliette. Dia sengaja mengajak Teressa makan siang di ruangan Ibu Bos agar bisa mengobrol lebih leluasa.
Benar saja, usai Teressa bercerita, Juliette langsung memekik, "What the fuck?"
Teressa memegangi kepalanya. Pusing karena kecerobohannya sendiri.
"Lo enggak mau dijodohin sama cowok yang lo suka, tapi lo enggak sengaja tidur sama dia?" Juliette merangkum cerita Teressa dalam satu kalimat. "Sis, yang namanya HS, kagak ada yang enggak sengaja meski dua-duanya mabuk. Sama-sama pengen, terus keenakan, ya jadi."
"Masalahnya, gue bingung. Harus nikah sama dia atau enggak."
"Pertama-tama dulu, kenapa elo ngerasa kalau elo harus menikah?"
"Gue... sebenarnya enggak terlalu pengen juga, sih. Tauk ah, plin-plan banget gue belakangan." Lagi-lagi Teressa memegangi kepala. Dunia hendak runtuh di atas bahunya.
"Lo menolak mengakui kalau hati lo condong ke Marda karena elo enggak mau papa lo menang. Begitu, 'kan?"
Teressa mengangguk. "Gue juga enggak percaya sama Marda. Enggak tahu isi hatinya."
"Kenapa lo enggak nanya?"
"Jul, please... lo enggak kenal dia orang macam apa. Setiap kata yang keluar dari mulutnya sulit dipercaya."
"Pembohong?"
"Enggak bisa disebut bohong juga. Lebih ke... sering menutup-nutupi hal. Waktu ketahuan, baru dia jelasin semuanya. Gue enggak bisa ber-partner sama orang yang kayak gitu."
"Ini masalah komunikasi aja, bukan, sih?"
"Gue sih mau aja memperbaiki komunikasi sama dia, tapi itu berarti gue membuka hati juga dong buat Marda. Sedangkan gue enggak sudi lihat papa gue merasa menang karena akhirnya gue yang mengalah."
"Pening pala gue, Tess."
"Gue juga. Gimana, dong?"
"Nikah sama orang lain aja."
"Ide itu juga sempet lewat di kepala gue, tapi gue enggak punya calonnya."
"Gue kenalin ke temen gue, mau?"
"Lo sendiri juga jomlo, masa mau ngenalin stok cowok single ke gue?"
"Iya juga, ya. Mending buat gue sendiri." Juliette menggeser tempat duduknya agar lebih dekat dengan Teressa. "Ngomong-ngomong, yang waktu itu gimana rasanya?"
"Yang mana?"
Juliette menarik turunkan alisnya. "Waktu kalian gituan. Dia jago, enggak?"
Pipi Teressa memanas. "Enggak tahu. Enggak inget!" Otaknya bekerja keras untuk tidak mengenang memori itu di dalam kepala karena setiap kali memikirkannya, perut Teressa otomatis bergelenyar, napasnya memburu, dan wajahnya bersemu. Itu bukan kombinasi bagus untuk diperlihatkan ke orang lain.
"Dia juga mabuk?"
Teressa menggeleng. "Kayaknya sih gue yang... menginisiasi."
"Pake pengaman?"
Nah... itu dia. Teressa tak ingat. "Dia bersih, kok. Paginya gue minum after pills. Terus gue sempet juga ke ginekolog."
Juliette geleng-geleng kepala. "Top banget otak lo kalau udah masalah pencegahan. Terus, dia ada ngehubungin lo lagi, nggak?"
"Enggak ada sama sekali."
"Udah coba ngontak duluan?"
"Enggak mau lah! Gengsi!"
"Gengsi aja terus, noh sampe emas di Monas luntur kena hujan."
Bibir Teressa merengut mendengarnya.
***
Untuk menyalurkan energi berlebih di dalam dirinya akhir-akhir ini, Teressa pergi ke dojo sepulangnya dari kantor untuk berlatih jujitsu. Pilates sedang tidak menarik bagi pikirannya yang bercabang ke mana-mana. Pelatihnya menyambut dengan senang hati ketika Teressa tiba. Setelah berganti baju dan melakukan pemanasan, ia menghabiskan seluruh energi pada teknik serangan dan kuncian. Dalam waktu singkat, tubuhnya sudah dibanjiri keringat. Ketika lelah, ia mengakhiri latihan dan membersihkan diri sebelum pulang ke rumah untuk beristirahat.
Pak Yono mengantarkannya sampai depan lobi apartemen. Sewaktu ia sedang menunggu lift, seseorang menepuk bahunya. Respon Teressa di luar dugaan. Ia menarik tangan laki-laki yang menyentuhnya, lalu membanting tubuh orang itu ke lantai sampai berbunyi BUGH lumayan kencang.
"Aw!"
"Marda?"
Lelaki itu meringis kesakitan seraya bangkit duduk dengan memegangi pinggangnya yang nyeri luar biasa.
"Oh, I'm so sorry!" Teressa membantunya berdiri.
"Gue kagum sama respon lo," sindir Marda masih sambil meringis.
"Siapa suruh lo nepuk pundak gue diem-diem?!"
"Lo dipanggil enggak nyahut-nyahut!"
"Masa?" Teressa mengusap lehernya bingung. Sejak tadi ia melamun, jadi mungkin dia tidak mendengar panggilan Marda. "Ngapain lo ke sini?"
"Gue khawatir. Lo enggak ngehubungin gue selama dua minggu."
"Kenapa lo nunggu gue yang ngehubungin lo duluan?"
"Karena gue pikir lo lagi marah dan butuh waktu buat sendiri setelah... you know." Marda mengusap belakang lehernya, kelihatan canggung sendiri.
Ting. Lift terbuka. Teressa masuk tanpa merespon ucapan Marda.
"Lo belum pernah lihat apartemen gue, 'kan?" Wanita itu mengedikkan kepalanya, memberi isyarat Marda untuk masuk juga ke lift.
***
.
.
.
.
Diundang ke apartemen mau ngapain, Tess?
Sebelum otak kalian bercabang ke mana-mana, mari sudahi dulu babnya. Muahahaha...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top