BAB 15
Di mata Marda, senyuman simpul Teressa lebih mirip seringaian kecil sebelum ia menyantap seseorang.
"Tunangan?" ulang Gracia sambil memandang mereka secara bergantian. "Saya kira kamu belum punya pasangan." Dia terlihat sangat terkejut.
Marda berdiri sambil menggaruk pelipisnya dengan raut tak nyaman. Hati kecilnya girang karena Teressa -dengan sikapnya yang kelihatan angkuh, arogan, jumawa- memperkenalkan diri sebagai tunangannya. Itu berarti dia sedang menandai teritorinya sebagai si pemilik hati. Gila, jantung Marda berdebar tak karuan karenanya. Sampai-sampai dia menurunkan kewaspadaan. Padahal Teressa sudah siap menyerang kapan saja. "Maaf sudah membuat salah paham." Entah dia berujar pada Gracia atau Teressa.
"Wait a minute," Teressa mengangkat satu jarinya di depan Marda, menyuruhnya diam. "Apa pengaruhnya dia punya pasangan atau tidak. Memangnya kalian lagi kencan?"
"Tessa," bisik Marda. "Jangan memperkeruh! She knows nothing," tegurnya.
"Oh, she knows nothing?" Tessa menyeringai tipis. "So, let me tell you one thing, then. He is engaged to me. You should know that before taking him to a romantic breakfast like this."
Marda mengulum senyum. Di telinganya itu terdengar seperti he is mine!
Gracia bangkit berdiri. Dia tidak diterima dipojokkan begini. "Asal Mbak tahu, yang ngajak saya sarapan di sini itu Mas Marda."
Teressa menoleh ke arah Marda dalam gerak lambat. Lelaki itu menelan ludah. "I can explain." Dia menggeleng samar, berharap supaya Teressa tidak membuat keributan yang menarik perhatian orang. Ini masih pagi.
"Saya enggak nyangka Mas Marda lebih suka perempuan tanpa attitude kayak kamu!" Gracia menarik kopernya lalu pergi meninggalkan mereka.
1 : 0
Teressa kehabisan kata-kata. "Tanpa attitude, katanya?"
"Soalnya elo datang-datang asal negur orang. Enggak nanya dulu itu siapa," timpal Marda.
"Emang dia siapa?"
"Cewek comblangan dari senior."
"Ya, wajar dong gue negur! Emang dia enggak tahu lo udah ada tunangan?"
"Belum resmi, 'kan?"
Teressa menendang tulang kering Marda dengan ujung stilettonya. Lelaki itu langsung membungkuk dan mengaduh. "Jadi, begini kelakuan lo di luar? Mau berlagak jadi playboy?" Teressa semakin naik pitam. "Mentang-mentang belum diacarain jadi seenaknya nerima comblangan sana-sini!"
"Tenang dulu, astaga!"
"Bu, kita belum check-in, nanti ketinggalan pesawat." Nana menengahi. Dia tak tega melihat raut kesakitan Marda sambil memegangi kakinya.
"Elo berutang penjelasan!" ujar Teressa.
"Flight sepagi ini, mau ke mana?"
"New York."
"Berapa lama?"
"Couple days."
"Ngapain?"
"Nonton konser Scavenger."
Marda mengernyit. "Bukannya lagi hiatus?" Setelah menatap ekspresi Teressa selama beberapa lama, barulah dia mengerti. "For your information, gue ngajak dia ketemu demi sopan santun ke senior. Gue enggak ada niatan selingkuh dari lo."
"Mau selingkuh, kek. Enggak, kek. Gue enggak peduli!"
"Of course you care. Kalau enggak, buat apa lo ngakuin kalau lo tunangan gue ke cewek tadi?" Marda tersenyum tipis. "Gue senang ternyata lo bisa cemburu."
"Cemburu-"
"Bu, nama kita sudah dipanggil buat check-in," potong Nana sekali lagi.
Teressa menahan kekesalannya. Sambil memasang kacamatanya kembali, dia menghirup napas dalam-dalam. Cukup membantu karena sekarang dia sudah jauh lebih rileks. "Gue pergi dulu," pamitnya.
Marda maju ke depan untuk membisikkan sesuatu ke telinga Teressa. "Take care, Fiancé."
Teressa mendengkus lalu pergi tanpa menoleh lagi. Nana setia mengekor di belakangnya.
***
Berguling ke kanan dan ke kiri buktinya tidak menghentikan kegelisahan Teressa. Ruang gerak yang terbatas di dalam kabin kelas pertama tetap menyesakkan baginya. Nana yang ikut merasakan kegelisahan Ibu Bos, langsung bertanya dengan hati-hati. "Bantalnya enggak nyaman, Bu?"
Teressa melepas penutup matanya. "Saya enggak bisa tidur."
"Mau diambilkan handuk hangat?"
Dia menggeleng. "Na, saya mau nanya sesuatu."
Asistennya mengangguk, bersedia menjawab apa saja. "Sama pramugari yang tadi, lebih cantik mana sama saya?"
"Pramugari yang mana?"
Di saat bersamaan, pramugari kabin mereka berjalan melewati kursi Teressa sambil mengulas senyum ramah.
"Yang tadi. Yang di bandara."
"Oh..." Nana mengangguk-angguk setelah ingat. "Dia cantik, tapi Bu Tessa lebih menarik."
"Menurutmu, apa yang bikin saya menarik?"
"Umm... kalau saya jawab jujur, nanti Ibu marah."
"Saya capek marah-marah, Na. Lagian kamu bilang saya menarik, jadi jawabanmu nanti enggak akan bikin saya marah."
Nana membetulkan duduknya agar bisa berhadapan dengan Teressa yang penasaran. "Sepanjang karir saya jadi asisten Ibu, ada hal yang bikin saya betah. Bu Tessa dari luar kelihatan kaku, tegas, terlalu profesional, sampai saya sering melihat beberapa klien yang... apa istilahnya? Mati kutu karena tempo kerjanya kalah cepat dari kebiasaan Ibu. Padahal aslinya, kalau orang-orang tahu keseharian Ibu, mereka pasti kaget sama kepribadian Ibu yang sebenarnya."
"Emang aslinya saya kayak gimana?"
"Baik, perhatian, tanggung jawab, dan enggak pernah menyepelekan orang. Jarang lho, Bu, ada atasan yang punya kombinasi kepribadian itu."
"Tapi, itu kan karena kamu sudah lama ikut saya."
Nana mengangguk mengiakan. "Saya sering dengar kalau banyak orang yang ketemu Bu Tessa merasa terintimidasi sama aura Ibu yang... gimana ya ngomongnya?"
"Aura saya bagaimana?" Teressa makin mendekatkan dirinya ke arah Nana.
"Auranya warna merah."
"Hah?" Teressa tampak berpikir. "Biasanya yang punya aura merah, libidonya lagi tinggi. Lagi bergairah."
Nana mengernyit. "Saya baru dengar yang kayak gitu."
"Memang aura merah versi kamu yang kayak gimana?"
"Enerjik, pekerja keras, aktif, kompetitif, aura yang memancarkan kemauan keras."
"Ahhh, begitu, ya?" Teressa memegangi kedua pipinya yang bersemu. "Saya kok senang disebut pekerja keras?"
Nana mengangguk. "Karena memang Bu Tessa pekerja keras."
"Kalau masalah penampilan? Dibandingin sama pramugari yang kita lihat di bandara, cantik mana? Kalau menarik doang saya enggak puas."
"Sebelum saya jawab pertanyaan Bu Tessa, saya nanya dulu, boleh?"
"Boleh, dong!"
"Koko-koko yang cakep tadi, tunangannya Bu Tessa?"
"Iya, tapi belum diresmikan. Mungkin nanti... seminggu sebelum pernikahan."
"Kalau begitu, pendapat saya enggak penting, Bu."
"Kenapa begitu?"
"Bu Tessa sebenarnya enggak penasaran sama pendapat saya. Ibu cuma mau memastikan, apa tunangan Bu Tessa menilai mbak-mbak pramugari itu lebih menarik atau tidak."
Teressa mengerutkan bibir.
"Yang saya lihat, koko-koko yang tadi-"
"Namanya Marda. Dia teman masa kecil saya."
"Oke. Jadi, yang saya lihat, Pak Marda lebih tertarik sama Bu Tessa. Saya bisa lihat pupilnya melebar waktu lihat Bu Tessa. Senyumnya juga enggak hilang saat bicara dengan Ibu meski Bu Tessa nendang kakinya. He is fascinating yet so lively."
Cinta yang dahulu pernah bersemi di hati Teressa selama bertahun-tahun nyatanya tidak bertepuk sebelah tangan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top