BAB 14

Gio Tjokroadinoto memiliki anak haram sebelum menikahi istri sahnya dan mendapatkan Marda. Itu rahasia umum yang tak pernah terbukti. Hanya orang-orang dari kalangan inner circle saja yang tahu kebenarannya, termasuk keluarga Teressa. Jadi, Marda pernah punya kakak. Usianya lebih tua empat tahun dari dirinya. Papa pernah mengenalkan mereka pada suatu hari saat mereka mengunjungi rumah liburan di kota kecil yang tak pernah Marda dengar sebelumnya. Tempatnya begitu terpencil dan rumah liburan mereka menjadi satu-satunya bangunan mewah yang ada di sana.

Kakaknya itu bernama Reynold. Usia Marda delapan tahun saat itu dan Reynold sudah berusia dua belas. Mereka cepat akrab. Reynold mengajarinya naik sepeda, berburu kadal di pinggir sungai, memanjat pohon, serta bermain ayunan. Saat mereka sedang tidak bersama, Reynold kelihatan berusaha untuk mengesankan papanya agar mau berkunjung lebih sering atau mengajaknya tinggal bersama di kota. Dia belajar lebih giat dari semua teman sekelasnya sehingga selalu mendapat urutan pertama di sekolah. Dia juga mempelajari segala hal tentang bisnis keluarga Tjokroadinoto yang dapat dibacanya dari majalah bisnis atau artikel di internet, berharap suatu hari... keluarga papanya akan menerima dirinya dalam keluarga besar.

Lalu pada suatu malam, Reynold dan Marda -yang sedang berkunjung, tak sengaja mendengar percakapan antara mama Reynold dan Papa. Marda terlalu kecil untuk dapat memahami maksud percakapan mereka.

"Keluargaku tidak akan pernah menerimamu dan Reynold meski dia anak kandungku. Aku sudah menikah. Aku tidak bisa membawamu pulang. Tinggalah di sini dan jangan menarik perhatian."

"Setidaknya bawa Reynold. Dia bisa mendapat pendidikan terbaik di kota."

"Lalu mengenalkannya sebagai anak haram di hadapan keluarga besarku? Jangan gila!"

Esoknya Marda menemukan jasad Reynold di kamar dengan mulut penuh busa. Tangannya masih menggenggam botol racun serangga. Marda baru tahu alasan Reynold melakukan itu setelah ia cukup dewasa untuk memahami arti anak haram. Sampai sekarang, Marda masih sering memimpikan Reynold. Dia merasa kalau dia dan keluarganya lah penyebab Reynold mengakhiri hidup.

Setelah kepergian Reynold, Marda sering mengurung diri di kamar dan jarang mau bicara kecuali kalau Teressa berkunjung, lalu mengajaknya bertengkar. Sesekali ia memberitahu perempuan itu apa yang sedang dirasakannya. Namun, Teressa tak pernah menghibur atau menyalahkan. Dia hanya tinggal untuk mendengarkan lalu mengajaknya bermain seperti tak pernah mendengar apa-apa.

***

Sebenarnya tidak ada pekerjaan yang mudah. Namun, berkarir sebagai Aircraft Maintenance Engineer atau AME menjadi salah satu yang tersulit. Bertanggung jawab terhadap keselamatan penumpang dan awak pesawat memberi beban mental tersendiri bagi para engineer, termasuk Marda. Tanggung jawabnya sangat besar karena dia yang memastikan kelayakan pesawat untuk mengudara. Matematika dan sains menjadi modal dasar bagi mereka yang ingin berkarir di bidang ini.

Setelah seminggu mengambil cuti, Marda kembali bekerja dengan semangat baru. Dia -mungkin- telah berhasil meyakinkan Teressa untuk menikahinya. Yang jelas, Teressa sudah tidak bersikap judes padanya, meski sepanjang hari dia tidak menerima pesan atau telepon dari wanita itu. Dihitung perkembangan, 'kan?

Setelah pesawat yang baru mendarat dibawa ke hanggar atau towing, Marda melakukan visual check pesawat yang menjadi tanggung jawabnya. Dia telah menerima laporan dari awak kabin dan pilot mengenai kondisi pesawat sebelum, selama, dan setelah penerbangan. Karena penerbangan selanjutnya masih berselang lama, Marda melakukan pengecekan dalam untuk memastikan pesawat benar-benar dalam kondisi aman atau malah membutuhkan maintenance khusus.

Jam kerjanya baru berakhir saat hampir tengah malam. Seluruh tubuhnya lumayan pegal, tapi suasana hatinya tetap bagus. Beberapa engineer yang mendapat giliran kerja setelah dirinya menyapa di ruang loker.

"Yang habis cuti panjang kelihatan seger bener nih kayaknya." Pak Guntur, rekan sesama engineer yang lebih senior menyapanya.

"Lumayan habis healing, Pak. Langsung refreshed," sahut Marda dan membuat Pak Guntur tertawa.

"Oh, iya, Pak. Saya mau menanyakan sesuatu. Pak Marda ini masih single?"

"Memangnya kenapa, Pak?" Marda mengernyit.

"Ada teman istri yang minta kenalan. Pramugari di maskapai ini juga. Katanya beberapa kali ketemu sama Pak Marda. Penasaran. Di tangannya kok belum ada cincin kawin?"

Marda mengusap lehernya. "Saya memang belum menikah, Pak. Tapi-"

"Nah, bagus itu! Dicoba dulu. Orangnya manis, baik pula. Siapa tahu jodoh, 'kan?" Pak Guntur menepuk pundak Marda ringan.

"Terima kasih, Pak. Sayangnya, dengan berat hati harus saya tolak. Saya memang belum menikah, tapi orang tua saya sudah mengatur perjodohan buat saya."

"Wah, sayang sekali. Kapan acaranya?"

"Belum tahu." Marda berpikir apakah masih perlu acara sangjit untuk meresmikan hubungan mereka sebelum pernikahan.

"Sudah sreg sama calon yang dijodohkan?"

Marda garuk-garuk kepala. Dia sih sreg-sreg saja. Yang jadi pertanyaan justru Teressa. Apa dia rela jadi calon istrinya? Toh, dia belum pernah menyatakan persetujuannya meski tidak menolak juga. Sungguh membingungkan.

"Dijodoh-jodohkan seperti zaman Siti Nurbaya saja. Selagi belum sah jadi milik orang, masih bisa 'kan dikenalin ke teman saya ini. Ajak makan sekali saja. Ketemu. Lihat orangnya."

Marda tak enak kalau langsung menolak dua kali tawaran Pak Guntur yang sering membantunya selama dia masih menjadi junior. Akhirnya ia menyetujui saran Pak Guntur. Pertemuan sekali tentu tak akan menyakiti siapa-siapa. Setelah itu ia akan mengatakan terus terang kalau dirinya sudah terikat dengan wanita lain. Dia bertekad untuk tidak akan membuat wanita kenalan Pak Guntur terlanjur berharap.

Pertemuan mereka terjadi pada esok harinya. Sekitar jam tujuh pagi. Pak Guntur memberikan nomor Gracia, si Pramugari, kepada Marda. Ternyata Gracia harus bertugas pada penerbangan pertama pukul sembilan, sedangkan Marda harus bekerja pada shift siang. Mereka sama-sama sibuk sepanjang minggu. Untuk itu, mereka bertemu di bandara untuk memudahkan mobilitas Gracia daripada terburu-buru harus pulang dulu. Mereka memilih sebuah coffee house yang terkenal punya kopi terenak.

Marda memesan espresso sedangkan Gracia memilih latte dingin. Seperti kata Pak Guntur, Gracia adalah wanita anggun yang manis. Dengan seragam pramugari dan riasan on-point, sulit untuk mengalihkan pandangan darinya. Sebaliknya, menurut Marda, Gracia adalah wanita yang biasa-biasa saja. Semua pramugari yang hilir-mudik di bandara banyak yang punya penampilan sama. Sulit untuk menemukan hal yang mengesankan dari Gracia selain tutur katanya yang halus.

"Saya harus panggil kamu apa? Koko? Mas?" tanya Gracia sambil tersenyum.

"Marda saja. Gimana lattenya?"

"Enak. Mau coba?"

Marda menggeleng. "Saya enggak pandai basa-basi."

"Saya juga." Wanita itu meminum lattenya lewat sedotan. Beberapa kali mereka terjebak dalam keheningan canggung.

"Saya dengar dari Pak Guntur kalau kamu beberapa kali bertemu saya."

Gracia mengangguk. "Waktu kamu lagi towing, saya sering lihat waktu turun dari pesawat."

"Oh, begitu."

"Ngomong-ngomong, kamu ada target menikah di usia berapa?"

Marda cukup kaget dengan pertanyaan blak-blakan itu. Dia tak perlu berpikir untuk menjawabnya. "Saya tidak ada target, sih. Tapi, karena kita sedang membahasnya-"

Di saat bersamaan, seseorang menghampiri meja mereka. Seseorang yang mudah ditemukan Marda di mana-mana, bahkan di tengah pertunjukan konser sekali pun. Wanita itu melepas kacamata hitamnya lalu melipat tangan di depan dada sambil menatapnya dengan raut datar.

"Bu, ini tehnya, tadi ketinggalan di mobil." Seseorang lagi menghampiri mereka. Kalau dilihat dari penampilan dan caranya bicara, sepertinya dia adalah seorang asisten.

"Makasih, Na." Wanita pertama bergumam tanpa menoleh selagi tangannya menerima tumbler berisi teh Lapsang Souchong panas.

"Maaf, Mbak ini siapa, ya?" tanya Gracia dengan senyum risi.

"Saya Tessa." Teressa mengulurkan tangan kanan yang bebas. "Tunangannya," lanjutnya dengan senyum simpul.

***

Pak Marda, tolong ditowing dulu itu pesawatnya...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top