BAB 13
Mereka bertemu di sebuah tea house yang tak jauh dari kantor Teressa. Marda sengaja memilih tempat itu karena tahu Teressa hanya punya waktu terbatas untuk menemuinya. Ada penawaran penting yang ingin disampaikan oleh Marda sehingga ia memerlukan persetujuan Teressa agar rencananya berjalan lancar.
"You spoiled brat," rutuk Teressa sambil melipat tangan di depan dada. "Terbiasa mendapatkan semua keinginan bikin lo begitu percaya diri kalau kali ini gue akan setuju dengan kemauan lo. No, thank's. Gue enggak akan menikah sama jodoh yang diatur papa gue." Belum apa-apa, Teressa sudah memakinya.
Marda sudah mengantisipasi hal ini. "Dengan kita menikah, lo bisa mengamankan posisi lo sebagai penerus Hagi Group."
"Gue udah cukup pusing sama tanggung jawab di sektor bisnis mendiang mama gue. Buat apa gue nambah beban pikiran dengan ngurusin bisnis Herman Hagi?"
"Dia masih papa lo." Teressa membuang muka. "Gue butuh bantuan lo," lanjut Marda.
"Terakhir kali lo minta bantuan gue, lo bikin gue tanda tangan persetujuan hibah warisan. Berurusan sama legal yang enggak gue tahu tujuan lo memiliki gedung setinggi Adinata Tower, yang butuh biaya perawatan dan pajak lebih besar dari 'gaji' lo. Dan jangan lupa udah berapa kali lo ngebohongin gue. Lo kira gue mau hidup seatap dan ngorbanin masa depan gue dengan menikahi penipu kayak lo?"
"Penipu?" Marda terkejut dengan sebutan itu. Tatapan Teressa begitu tajam. Marda bisa merasakan ratusan pisau yang dilempar ke arahnya.
"Kalau cuma pengen hidup bebas, lakuin aja apa yang lo lakuin selama ini. Jangan nyangkut-pautin gue ke rencana busuk lo!" lanjut Teressa.
"Gue enggak ngerti apa yang lo maksud dengan rencana busuk."
"Oh, ya? Biar gue jelasin." Teressa menegakkan punggungnya. "Lo akan minta gue buat bikin perjanjian pra-nikah yang salah satu klausulnya berbunyi tentang harta bersama. Karena semua aset atas nama lo udah lo jual buat biaya hidup di Jerman, sekarang lo narget aset-aset gue buat entah-apa. Iya, 'kan?"
"Dari mana lo tahu tentang Jerman?"
"Tetangga sebelah apartemen lo sewaktu di Jerman adalah mantan pacar temen sepupu kenalan gue. Syok, 'kan?" Teressa mendengkus. "Gue bisa dapat info apa pun tentang lo kalau gue mau berusaha."
"Well, tuduhan lo tentang tawaran perjanjian pra-nikah itu memang benar. Tapi isinya enggak sepicik yang lo kira. Gue enggak tertarik sama harta keluarga lo."
"Kalau begitu lo tertarik sama harta hasil jerih payah gue."
Marda jengah mendengar tuduhan-tuduhan Teressa yang memframingnya sebagai lelaki gold digger. "Ayolah, hasil jerih payah lo?" ulangnya. "Lo bisa berhasil membangun bisnis juga karena privilege lo sebagai anak tunggal mendiang mama lo. Seandainya lo bukan siapa-siapa. Bukan Teressa Hanggalini, atau Hagi, lo enggak akan bisa sampai di posisi lo saat ini dan di usia sekarang!"
Rahang Teressa mengeras. Kata-kata Marda menyakiti harga dirinya.
"Akui kalau lo berhasil menjadi seorang CEO berkat privilege yang lo punya. Sejak awal lo udah mencuri garis start." Marda melanjutkan dengan nada datar.
"Tapi gue masih lebih baik daripada lo yang lari dari tanggung jawab keluarga!"
"Memangnya lo sendiri, enggak?"
"Situasi kita enggak sama! Papa gue punya anak dari pelacur yang dia tiduri sejak mama gue masih hidup! Suatu saat semua harta warisan itu akan jatuh ke tangan dia!"
"Jadi situasi gue enggak lebih buruk dari lo?" Marda tersenyum sinis.
Teressa menggelengkan kepalanya. "Jangan mulai menarik simpati gue dengan bahasan tentang mendiang kakak lo yang bunuh diri itu."
Giliran rahang Marda yang mengeras.
"Semua orang tahu kalau lo cuma berlindung dari rasa bersalah lo."
"Lo keterlaluan, Tess." Marda berusaha menekan emosinya yang tersulut gara-gara mulut ketus wanita itu. "Jangan pakai kelemahan gue sesuka hati lo."
Teressa tetap meneruskan. "Lo pasti mikir kalau seandainya kakak tiri lo itu enggak berusaha diakui oleh keluarga lo, dia enggak akan berakhir bunuh diri karena enggak mampu mencapai ekspektasi keluarga lo!"
"Tessa!"
"Don't Tessa me!" Teressa menggebrak meja sampai membuat pengunjung restoran menoleh ke arah mereka yang berada dalam ruang VIP terlindung kaca kedap suara. "You brought me into this mess!"
"Lo enggak berhak melampiaskan kemarahan lo ke gue. Yang menginginkan perjodohan ini bukan gue."
"Tapi semuanya terjadi gara-gara lo! Sampai kapan lo akan mengelak, sih?"
Setiap kalimat yang terucap dari bibir Teressa menggores ego Marda. Dia bahkan belum menyampaikan penawarannya pada wanita itu dan kini mereka sudah bertengkar.
"Kalau lo begini karena satu kesalahan gue-"
"Satu kesalahan, kepala lo! Lo udah ngebohongin gue berkali-kali! Lo bilang gaji lo dua belas juta! Ternyata lo jadi teknisi pesawat di maskapai anak kenalannya Aunty Ira! Gue tahu semuanya!"
"Fuck." Marda menyisir rambutnya kasar dengan jari. Wanita itu benar-benar sulit diajak berkomunikasi dua arah secara beradab. "Gue bahkan enggak tahu kalau tempat kerja gue masih ada koneksi sama Aunty Ira."
"Jangan sekali-kali lo bahas privilege sama gue. Padahal lo sendiri juga sama!"
Marda menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan lewat mulut. Harus ada yang waras di antara mereka berdua. Dia memilih menjadi lebih bijak kali ini. Apa yang Teressa pikirkan tentang pekerjaan yang ia dapat dari hasil koneksi adalah sebuah kesalahpahaman. Marda mendapatkannya secara jujur. Jika memang benar Aunty Ira membantunya masuk perusahaan itu lewat koneksi, mustahil dia berkali-kali gagal dalam tes sebelum bekerja di sana.
"Apa lo enggak akan mau dengar penawaran gue?"
Teressa menyandarkan punggungnya ke kursi. Dia capek marah-marah. Perdebatan ini juga tidak akan ada ujungnya jika diteruskan. Nasib mereka sudah diatur. Mau bertingkah gila pun tidak akan membuat pertunangan mereka batal karena terlanjur diumumkan ke semua orang. Banyak kenalan, serta kolega bisnis Teressa yang mengirimkan bunga atau ucapan selamat ke kantor. Berita menyebar dari mulut ke mulut dengan kecepatan turbo. Jika pernikahan ini mustahil dihindari, maka Teressa masih punya kebebasan untuk menjalani dengan caranya.
Setelah pergolakan batin yang cukup rumit, akhirnya Teressa buka suara. "So, what's your proposal?"
"Kasih gue kesempatan buat bikin lo jatuh cinta sama gue."
Teressa menatap Marda seperti sedang melihat ayam bertanduk. "Apa?"
"Lo belum budeg, 'kan?" Marda bertanya balik.
"Tapi, kenapa?"
"Karena gue mau hubungan kita berhasil."
"Lo udah gila, ya?"
Marda menggeleng. "Gue merasa lebih waras daripada kemarin-kemarin. Kalau pernikahan kita bikin keluarga gue berhenti ngusik hidup gue dan lo mendapat kebebasan dari pengaruh papa lo, gue lebih dari bersedia buat menjalaninya. Sama lo."
"Tahu dari mana kalau dengan menikah papa gue enggak akan ngusik gue lagi?"
"Setelah menikah, istri jadi tanggung jawab suami."
"Sesimpel itu?"
Marda mengangguk. "Kalau lo mau ngeributin warisan juga bakal gue bantu. Gue supporter lo nomor satu."
Teressa tak sanggup menahan kekehannya. Tak berapa lama, ekspresinya kembali serius. "Kalau gue enggak single, gimana?"
"Orang seperti elo enggak akan ada waktu buat mikir cinta."
"Sok tahu!"
"Kemungkinan lainnya... cowok-cowok enggak ada yang berani ngedeketin lo karena mereka terintimidasi sama karir lo, isi kepala lo, dan latar belakang keluarga lo."
Teressa terdiam karena bertanya-tanya apakah benar yang dikatakan Marda? Apakah dia sebegitu mengintimidasinya bagi orang lain?
"Apa itu hinaan berbalut pujian?" tanya Teressa dengan mata menyipit.
"Sebenarnya... gue ngikutin perkembangan elo selama ini."
Bibir Teressa membentuk garis tipis. Marda adalah laki-laki pertama yang berani menatapnya setajam ini. "Kenapa lo bersikeras?"
Marda mengedikkan bahu. "We are made for each other. Don't you think so?"
Ada sesuatu yang mengganjal di benak Teressa, tapi dia belum tahu apa. Menyetujui tawaran Marda sama saja dengan berjudi dan mempertaruhkan masa depannya. Teressa memperhitungkan untung-rugi bagi hidupnya kelak. Sayang, otaknya belum bisa diajak berpikir jernih saat ini. Dia menggelengkan kepala sambil mendesah pelan. "Now you're making me feel guilty for saying those horrible things about your late brother."
"Udah gue maafin." Dia menyeringai tipis.
Wanita itu membuang muka karena tidak ingin Marda melihat rautnya yang gelisah.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top